Kamis, 16 Maret 2006

newsonline

The Hidden Dragons dari Ujung Sumatera

 

Diam-diam banyak pengusaha keturunan Cina asal Medan yang memiliki kekuatan dan jejaring bisnis yang dahsyat. Siapa saja tokohnya, seperti apa karakter khas mereka, dan bagaimana mereka berkembang? Inilah potretnya.

('Nowhere in the world are there to be found people richer than the Chinese.) (Ibn Batuta, abad ke-14)

Jumat, 13 Mei 2005. Pagi itu, sekitar pukul 09.30 WIB, suasana kawasan pertokoan -- yang lebih pantas disebut pasar -- di Jl. Sambas, Medan, mulai ramai dengan aktivitas jual-beli ataupun bongkar-muat. Begitu pula yang terjadi di bangunan bertingkat nomor 37. Beberapa pekerja hanya dengan berkaus oblong tampak keluar-masuk menaikkan kardus-kardus berisi sirup dan jus botolan ke mobil truk berukuran sedang yang parkir di depannya. Ada pula pekerja yang membawa tumpukan kardus itu keluar dengan menarik lori sederhana yang kayunya tampak dekil.

Masuk ke dalam bangunan tersebut, melewati gang sempit, kita menjumpai semacam gudang tempat puluhan -- mungkin sampai ratusan -- kardus berisi sirup markisa dan terong Belanda ditumpuk. Di sebelah ruang yang dijadikan gudang mini ini, tampak lift sederhana -- dengan baknya yang terbuka dan kelihatan tambang besi pengikatnya -- yang sepertinya tak lelah menaik-turunkan barang dan juga orang. Masih di lantai bawah bangunan ini, tak jauh dari lift ada ruangan berukuran sekitar 2,5 x 2,5 meter yang difungsikan sebagai kantor. Ruangan tanpa AC ini tak kalah sumpek, karena disesaki dua meja, lemari showcase produk, dan beberapa kursi. Agaknya, hanya wajah cantik Tamara Blezinsky yang menghiasi kemasan kardus-kardus sirup tadi yang bisa sedikit membiaskan kesumpekan tersebut.

Sekilas, tak ada yang tampak istimewa dari bangunan yang cat putihnya sudah kusam itu. Dari luar, lebih mirip toko atau gudang barang, yang tak banyak berbeda dari beberapa bangunan lain di sepanjang kawasan pertokoan itu. Padahal -- inilah yang tak banyak diketahui orang -- dari bangunan tua itulah bisnis sirup bernilai miliaran rupiah PT Majujaya Pohonpinang digelindingkan. Di toko yang dijadikan kantor pusat ini, Rajali Chuwardi (Chow Sin Sien) sang pendiri yang kini berusia 64 tahun dan masih menjabat direktur utama, bersama anak lelakinya Gunawan Chuwardi (Chow the Wie) yang berperan sebagai direktur pengelola, bahu-membahu mengelola perputaran bisnis sirup dan jus merek Pohon Pinang ke pelbagai daerah di Sumatera, Jawa dan Bali. Toko ini juga berfungsi melayani pelanggan sirup dan jus Pohon Pinang dari wilayah sekitarnya. Ya, merek yang terkenal dengan produk sirup markisanya - walaupun ada pula produk lain yakni sirup terong Belanda, kiwi, dan sirsak (durian Arab) -- itu, kini memang makin populer. Tidak hanya bisa dijumpai di pasar tradisional, tapi juga di gerai modern. Setiap tahunnya sekitar 3 ribu lusin sirup dan jus Pohon Pinang diproduksi pabriknya yang berada di kawasan Tanjung Morawa, pinggiran Kota Medan.

Agak berdesakan di ruang kantor bangunan yang rupanya dulu tempat tinggal Rajali itulah, bapak-anak pengusaha keturunan Cina asal Medan itu menerima tim SWA untuk wawancara -- ditemani Tjokro Suminto, GM Pohon Pinang, yang masih keponakan Rajali. Wawancara seputar perkembangan bisnis Pohon Pinang yang semula rada kaku lama-kelamaan mencair menjadi obrolan ngalor-ngidul berbagai hal, khususnya mengenai kultur, tradisi, dan kebiasaan komunitas mereka - sebut saja warga Cina Medan -- soal shio, feng shui, Imlek, Ceng Beng (ziarah ke makam para leluhur), dan sebagainya.

Nyatanya, kebersahajaan fisik kantor milik pengusaha Cina Medan seperti itu -- walaupun belum tentu begitu dalam hal gaya hidup -- gampang ditemukan. Bangunan dan ruang kantor sederhana, dengan interior seadanya dan peralatan kantor tak bisa dibilang mutakhir, serta pengelolaan administrasi yang lebih mengesankan usaha pertokoan, juga bisa dijumpai di perusahaan lain yang berskala (omset) lebih besar seperti Grup Capella dan PT SariMakmur Tunggal Mandiri (Opal Coffee). Padahal, asal tahu saja, omset tahunan Capella yang punya bisnis inti di otomotif (kendaraan roda empat dan sepeda motor) dengan total 2 ribu karyawan, ditaksir lebih dari Rp 2 triliun. Setiap bulannya, 350-400 ribu unit mobil Daihatsu - salah satu merek yang dipegangnya selain BMW, Peugeot, Nissan Diesel dan truk Isuzu -- berhasil dijual. Sementara penjualan sepeda motornya 8-9 ribu unit/bulan.

Bisnis SariMakmur yang punya produk kopi roasted bean (biji gongsengan) - terutama dengan merek Opal Coffee -- tak kalah mengagumkan. Meski baru berdiri pada 1995, setiap bulannya perusahaan yang punya pabrik di Binjai, Lampung dan Makassar ini mengekspor sekitar 3 ribu ton kopi ke berbagai negara di Asia (termasuk Jepang), Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, dan sebagian dilempar ke pasar domestik. Suryo Pranoto (58 tahun), pendiri, pemilik sekaligus presdirnya, mengaku omset tahunan perusahaannya mencapai US$ 40 juta. Namun, seorang teman pengusaha dari Medan yang mengenalnya - kebetulan satu marga dan mengambil pendidikan master yang sama dengan Suryo -- menaksir omset perusahaan yang memiliki total 1.200 karyawan ini, lebih besar dari angka itu.

Diam-diam -- karena memang tak banyak diekspose media massa dan mereka biasanya enggan diwawancarai -- ternyata banyak pengusaha keturunan Tionghoa asal Medan yang skala dan langkah bisnisnya tak lagi bisa disepelekan. SWA yang menelusuri langsung kiprah para pengusaha Cina Medan ke jantung aktivitasnya (dibantu seorang teman pengusaha asal kota ini yang juga orang Tionghoa), menemukan cukup banyak pengusaha yang kelasnya tak kalah dari pengusaha sejawat di kota besar lain seperti Jakarta dan Surabaya.

Karena hampir seluruhnya bukan perusahaan yang telah go public, memang agak susah memetakan mana saja perusahaan/grup usaha kakap dengan omset tahunan triliunan rupiah, dan mana yang omsetnya masih ratusan, puluhan atau beberapa miliar rupiah. Terus terang, mereka memang penuh misteri. Sebelumnya hampir tak pernah ada riset ilmiah ataupun reportase khusus yang memotret siapa, bagaimana, dan seberapa besar kekuatan bisnis dan jejaring mereka. Mungkin hanya di antara mereka yang saling tahu. Itu pun kalau kebetulan mereka saling kenal atau punya jejaring sama. Dan informasinya pun tak jarang masih sepotong-sepotong, lantaran beredar layaknya gosip bisnis yang sering sulit dikonfirmasi.

Berdasarkan penelusuran SWA dengan mengumpulkan serpihan informasi dari diskusi dan wawancara dengan kalangan pelaku usaha di Medan, pengamat bisnis, serta riset pendukung, petanya cukup bisa terbayangkan. Dari upaya bergaya "pemulung" plus sedikit gocekan investigatif, antara lain bisa diketahui cukup banyak perusahaan kelas kakap -- anggaplah ini kelompok yang omsetnya sudah triliunan rupiah -- di Medan, yang bahkan skala bisnisnya lebih besar dari perusahaan macam Capella. Sebagai contoh ada nama Grup Karya Prajona Nelayan (KPN) yang didirikan oleh Martua Sitorus (Thio Seng Hap) pada 28 Oktober 1978, salah satu pemain besar di industri crude palm oil (CPO) nasional, yang punya terminal CPO sendiri (yang dibangun dengan dana investasi Rp 15 miliar) di Sabak, Jambi. Bidang bisnis yang ditekuni KPN meliputi perkebunan sawit, minyak goreng (bermerek Sania dan Fortune), ekspedisi, pupuk, dan sebagainya.

Selevel dengan kelompok bisnis di atas adalah Grup Musim Mas (MM) yang didirikan pada 1972 oleh Anwar Karim (almarhum), salah seorang perintis industri sawit di Indonesia. Kini, MM dikendalikan oleh kedua anak Anwar, yakni Bachtiar Karim dan Bahari Karim. Bidang bisnisnya mencakup perkebunan dan industri kelapa sawit, oleokimia, specialty fats, margarin, dan sabun. Salah satu anak usahanya yang cukup beken adalah PT Bina Karya Prima yang juga merupakan pemain nasional di pasar minyak goreng instan dengan merek Tropical dan sabun mandi Shinzui. Grup ini juga membawahkan PT Megasurya Mas yang cukup inovatif meluncurkan berbagai produk sabun, seperti Harmony, Liesel, dan Eve.

Masih di kelas ini, adalah usaha milik keluarga Bingei, yakni Grup Sumatera Tobacco Trading Company (STTC), yang didirikan oleh Ng Chin Tan pada 1952, memproduksi dan memasarkan rokok putih bermerek Union, Hero, Johnson, West, Kennedy, Winston, dan Salem. Total kapasitas produksinya mencapai 14 miliar batang per tahun, dengan pasar utama di Sumatera dan Kalimantan. Menariknya, STTC juga piawai di bisnis consumer goods khususnya kopi instan lewat PT Sari Incofood (sejak 1986), dengan merek Indocafe dan Express Cafe. Kini STTC dikelola oleh Bingei bersaudara, yakni Edwin Bingei (Ng Ti Boon), Sendi Bingei (Ng Ti Sen), dan Timin Bingei (Ng Ti Hin).

Nama kelompok usaha kakap milik pengusaha Cina Medan di Tanah Batak yang tidak bisa diabaikan adalah Growth Sumatera Group (GSG). Bidang usaha GSG yang beroperasi sejak 1970 meliputi industri baja, perkapalan dan perikanan. GSG yang punya pabrik baja seluas 7 ha dan memiliki 900-an karyawan tetap ini dikomandani oleh Fajar Suhendra. Ada pula nama Ahli Tehnik Group yang berbisnis baja/besi dan kaca, dengan pentolannya Tansri Candra (Tan Beng Cong).

Mungkin saja, masih ada nama-nama kelompok usaha lainnya milik warga Cina Medan (berbasis di Medan) yang sebenarnya masuk kelas kakap, tapi belum disebutkan. Basis bisnis mereka (termasuk kantor pusat) memang masih di Medan, tapi dari skala ataupun kiprah bisnisnya tak kalah dari pebisnis-pebisnis di Jakarta yang sudah dikategorikan pengusaha (skala) nasional, antara lain karena memang garapan pasarnya sudah ke mancanegara.

Nah, sedikit di bawah mereka - mungkin dengan omset ratusan-puluhan miliar rupiah (setahun) - juga cukup banyak nama lain, selain SariMakmur dan Majujaya PohonPinang. Sebut saja PT Mabar Feed Indonesia (pemain terbesar di Sum-Ut di bidang pakan ternak), PT Selekta Horticulture Indonesia (terbesar di Sum-Ut di bidang agrobisnis), Grup Multatuli/PT Alfinky Binamitra Sejahtera (perusahaan properti yang merintis gedung jangkung di Medan), PT Olagafood (produsen mi instan Alhami yang kini merangsek ke pasar nasional), Grup Trophy Tour (terbesar di bisnis travel se-Sum-Ut yang juga memiliki Jatayu Airlines), Macan Yaohan (pemilik 8 gerai supermarket di Medan), Grup Kota Baru (perusahaan properti yang aktif bermain di perumahan dan pusat perdagangan kelas atas yang baru beroperasi tahun 1999), dan sebagainya.

Nama-nama yang kita masukkan ke "level kedua" itu pun ternyata tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini bisa kita tilik dari keterangan singkat prestasi bisnis mereka - meski sebagian menurut klaim mereka sendiri -- yakni banyak yang merupakan pemain terbesar (atau setidaknya pemain berpengaruh) di Sum-Ut. Bahkan, nama seperti Grup Trophy Tour pun tak bisa dibilang hanya sebagai pemain daerah, sebab di Jakarta, kiprah biro travel Trophy Tour dan Jatayu juga cukup disegani. Lagi, SariMakmur dan Selekta sejak beberapa tahun lalu juga menggarap pasar ekspor, bahkan untuk sebagian besar produk mereka.

Di luar mereka yang masih "setia" bercokol di Medan, rupanya ada beberapa grup usaha besar asal Medan (yang dimiliki warga Cina Medan) sudah memindahkan kantor pusatnya ke kota lain. Nama yang paling beken dari kelompok ini adalah Grup ABC, salah satu raksasa bisnis consumer goods dan F&B nasional. Perusahaan yang didirikan oleh Chandra Djojonegoro (Chu Sam Yak) dan Chu Sok Sam pada 1948 di Medan ini sekarang punya lebih dari 50 anak perusahaan dan segudang merek. Perusahaan yang sudah dianggap konglomerat nasional dan berkantor pusat di bilangan Palmerah, Jakarta ini dikelola oleh keturunan sang pendiri, yakni Hamid Djojonegoro, Husain Djojonegoro, dan Kogan Mandala.

Masih di Jakarta, ada nama Grup Wicaksana Overseas International yang dipimpin Djajadi Djaja. Bisnis utamanya bidang distribusi, dengan beberapa prinsipal top yang dipegangnya, yakni Mead Johnson, Siantar Top, P&G Indonesia dan Effem Food Inc. Grup bisnis ini memiliki anak usaha yang bergerak di bidang makanan olahan, yakni PT Jakarana Tama, dengan beberapa produknya yakni mi instan GaGaMie dan StarMie, serta produk sambal dan ikan kaleng merek GaGa.

Nama lain di Jakarta yang belum terlalu populer tapi bisnisnya relatif besar adalah PT Probesco Disatama. Perusahaan yang didirikan Saripin Taidy pada 1980 itu kini mengageni beberapa merek alat berat asing seperti Case, Liebherr, Tigercat, dan Husqvarna. Perusahaan yang memiliki 20 cabang di wilayah Indonesia dengan total 400 karyawan ini merupakan salah satu pesaing serius beberapa nama besar seperti Trakindo, United Tractors, Intraco Penta dan Hexindo. Pada 2004, Saripin diganjar penghargaan Entrepreneurial Spirit dari Ernst & Young.

Kelompok usaha milik pengusaha keturunan asal Medan yang juga cukup berjaya di Jakarta adalah Grup Kompak. Kerajaan bisnis yang dikomandani Wendy Hermanto ini menggarap berbagai bidang bisnis consumer goods, distribusi, properti dan perikanan. Bidang terakhir malah digarap oleh salah satu anak usahanya yang sudah go public (sejak 1999), yakni PT Bahtera Adimina Sejahtera Tbk.

Perusahaan milik pengusaha Cina Medan yang juga keluar kandang adalah PT Siantar Top. Pemain yang namanya cukup beken di industri makanan ringan di Indonesia yang dipimpin oleh Shindo Sumidomo (Hong Hok Soei) ini berdiri pada 1978, dan memilih membesarkan bisnisnya dari Surabaya. Produknya mulai dari mi instan, biskuit, permen hingga kudapan (sneck).

Di luar nama-nama itu, tentu saja kita tidak bisa mengabaikan nama Grup Raja Garuda Mas (RGM) yang kini dikendalikan Sukanto Tanoto (Tan Kang Hoo) dari holding-nya di Singapura. Salah satu konglomerat nasional - yang kreditnya di Bank Mandiri ditengarai bermasalah -- ini berdiri pada 1973 dan menggarap berbagai bidang industri seperti perkayuan, perkebunan (kelapa sawit), perbankan, properti, dan lain-lain. Sukanto -yang merupakan salah satu pengusaha yang "dituakan" di Medan dan termasuk sebagai anggota MWA Universitas Sumatera Utara bersama dengan Edwin Bingei -- boleh dibilang masuk jajaran pengusaha internasional, karena selain berkantor di Singapura, juga memiliki aset bisnis di Cina lewat Asia Pacific Resources Holding Ltd.

Menilik bidang bisnis yang digarap para pengusaha Cina Medan, baik yang masih bercokol di Medan maupun yang sudah keluar kandang (lihat Tabel), tampak jelas sumber daya alam Sum-Ut memberi sumbangan penting bagi kemunculan mereka sebagai pengusaha. Itulah mengapa banyak dari mereka yang punya tulang punggung bisnis perkebunan dan industri kelapa sawit. Bahkan, Jahja B. Soenarjo, pengamat dan praktisi bisnis, meyakini 10 pengusaha besar industri kelapa sawit berasal dari Medan. Lalu, karena terkait dengan berbagai pengaturan (berbau politis) dari pemerintah terhadap etnis Cina di Medan, banyak pula mereka yang memilih berbisnis di bidang perdagangan (khususnya hasil bumi). Namun belakangan, seperti disebutkan Jhon Tafbu Ritonga, ekonom dan pengamat bisnis dari USU, bidang yang digarap para pengusaha Cina Medan jauh lebih beragam, termasuk juga yang membutuhkan profesionalisme dan intelektualitas lebih tinggi, seperti perbankan, properti, otomotif, jasa kesehatan, pendidikan, hingga media massa.

Hebatnya lagi, meski magnitude bisnis para pengusaha Cina Medan - seperti diungkap di atas -- tak bisa dianggap enteng, masih banyak dari mereka yang berekspansi tanpa bantuan dari lembaga pembiayaan modern seperti perbankan. Ini diamini oleh Darmin, pengamat dan konsultan keuangan dari Panin Sekuritas Medan. Pasalnya, banyak dari mereka yang memang punya kondisi finansial amat likuid. "Ada pandangan di kalangan mereka, kalau bisnis ini menguntungkan buat apa dibagi dengan orang lain," ungkapnya. Itu pula yang menjelaskan mengapa meskipun kinerja bisnis mereka bagus dan prospektif, hanya sedikit yang bersedia masuk pasar modal (go public, misalnya).

Di Medan, kota ketiga terbesar di Indonesia (seperti halnya kota-kota besar di Indonesia lainnya), peran pengusaha keturunan Cina memang amat signifikan dan dominan. Dari segi populasi, menurut data Biro Pusat Statistik hasil sensus tahun 2000, etnis Cina merupakan etnis ketiga terbesar (dengan 10,65% total penduduk Medan yang berjumlah 1,9 juta jiwa), setelah etnis Batak (33,28%, yang terbagi dalam beberapa subkultur), dan etnis Jawa (33,03%).

Sedikit menengok sejarahnya, seperti diungkap Jhon Ritonga, orang Cina memasuki Medan di abad ke-15 untuk berdagang (barter). Ketika perkebunan Tembakau Deli dibuka, ribuan orang Cina didatangkan sebagai buruh oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Buku Sejarah Medan Tempo Doeloe (ditulis Tengku Lucman Sinar) menyebutkan keturunan Cina pertama yang merintis bisnis adalah Tjong A Fie. Bersama abangnya, Tjong membuka kedai (diberi nama Bun Yong Tjong) yang melayani kebutuhan para buruh Cina itu di Labuhan Deli, sekitar 20 km dari Medan. Dari usaha ini, ia bisa kaya raya dan ditunjuk oleh Pemerintah Belanda pada September 1885 sebagai kepala orang-orang Cina di Tanah Deli, dengan pangkat letnan. Pada 1886, Tjong memindahkan pusat bisnisnya ke Medan, yang kala itu hanya kampung kecil di antara Sungai Deli dan Sungai Babura. Di tempat yang sekarang disebut Kesawan Square (pecinannya Medan) ia membangun rumahnya (sampai sekarang masih bisa dilihat peninggalannya), hingga kemudian kawasan ini menjadi sentra bisnis. Nah, seperti terinspirasi kesuksesan Tjong, kemudian memang banyak orang Cina Medan yang terjun ke bisnis.

Dominasi warga keturunan Cina di jagat bisnis Medan diakui oleh Sabri Basyah, pengusaha etnis Melayu yang mantan Ketua Hipmi Sum-Ut. "Boleh dibilang, di bidang industri dan perdagangan ritel, Cina Medan menguasai lebih dari 90%," katanya mengakui. Adapun di bidang perkebunan, menurutnya, penguasaan pengusaha etnis Tionghoa lebih kecil, sekitar 60%.

Menurut Sofyan Tan, pengamat sosial di Medan, ada beberapa faktor mengapa warga keturunan Tionghoa bisa mendominasi bisnis di kota ini. "Sebagai perantau, yang diposisikan sebagai warga kelas dua, mereka dituntut lebih kreatif dan ulet dalam berbisnis. Pendeknya, mereka pantang menyerah demi mempertahankan eksistensinya," ujar aktivis LSM lingkungan yang juga keturunan Cina ini. Sabri pun mengakui. "Pengusaha Cina Medan ini sukses karena tekun, ulet, pantang menyerah dan sudah menekuni bisnis sejak lama," katanya. "Tetapi ini juga karena ada keberpihakan pemerintah kepada mereka di bidang bisnis, dibanding kepada pengusaha pribumi," katanya menyentil, sambil mengingatkan di masa Orde Baru para pengusaha Cina dianakemaskan pemerintah.

Adapun Wendy Hermanto, CEO Grup Kompak, menganalisis ada beberapa hal yang menyebabkan pengusaha di Medan punya keuletan dalam berbisnis. Pertama, tingginya tingkat kompetisi bisnis di kota ini. "Lihat saja, perang harga di consumer product paling hebat terjadi di Medan kan," ujarnya. Kedua, kebiasaan para pengusahanya yang kerap ikut-ikutan dalam berbisnis. Jadi, kalau ada satu bidang yang lagi naik daun di sana, banyak orang yang kemudian ikut nyemplung. Dari sana, memang hanya muncul satu-dua yang bisa sukses yang akan menjadi bibit pengusaha baru. Meski sedikit, ia menganalisis, karena pola ini terus bergulir, maka pengusaha baru terus bermunculan. Ketiga, pengaruh lingkungan dan didikan orang tua. Di daerah lain, ia menuturkan, kebanyakan orang tua menasihati anaknya bekerja dengan baik agar bisa menjadi manajer dan pemimpin di perusahaannya. "Kalau di Medan, anak yang bekerja akan dinasihati bekerja dengan baik dan belajar banyak, sehingga suatu saat nanti bisa jadi pengusaha juga," ungkapnya.

Yuswohadi dari MarkPlus menambahkan, latar belakang budaya di Medan mengajarkan orang untuk hidup dengan daya survival yang tinggi dan tidak gampang menyerah. "Seolah-olah hidup itu harus bisnis dan budaya Medan kondusif untuk bisnis," ujarnya. Sentakan khas "Ini Medan, Bung!" barangkali memang bisa menggambarkan kekerasan dan "kecongkakan" kota ini.

Berbagai pandangan di atas agaknya sejalan dengan temuan David C.L. Chiang beberapa tahun silam, seperti diungkap dalam buku The Overseas Chinese Entrepreneurs in East Asia (1993). Pada dasarnya memang diakui kebudayaan Cina (dari negeri leluhurnya) mempunyai etos kerja yang menekankan pada keuletan dan kerajinan. Setidaknya, seperti diungkap David Chiang, ada tiga hal yang bisa menjelaskan etos kerja orang Cina. Pertama, mereka dibesarkan dengan nilai positif tentang kerja keras yang ditanamkan sejak usia dini. Bagi komunitas Cina perantauan, kerja dihubungkan dengan kumpulan nilai yang kompleks, yang mencakup pengorbanan diri, saling ketergantungan, rasa percaya, dan hemat, yang dipandang sebagai dasar terakumulasinya kekayaan. Kedua, etos kerja orang Cina mempunyai orientasi kelompok. Maksudnya, individu tidak bekerja semata-mata untuk keuntungan pribadi, melainkan untuk peningkatan kesejahteraan keluarga dan kelompoknya. Ketiga, orang Cina bekerja keras untuk mendapatkan imbalan materi. Dalam komunitas Cina perantauan, kemakmuran serta perasaan nyaman dan aman dalam usia lanjut merupakan harapan utama mereka.

Keuletan warga Cina Medan bisa dilihat dari bagaimana mereka berbisnis. Menurut Anton Chen Tjia, pengusaha keturunan di kota ini yang memiliki Grup Kota Baru, orang Cina Medanlah yang bersedia buka toko lebih pagi, tutup toko lebih malam, bahkan mengantarkan barang pesanan ke tempat si pelanggan. Jenis pelayanan seperti ini memang bisa dilihat pada bisnis orang-orang Cina di kawasan Muara Karang dan Pluit, Jakarta, yang kebanyakan berasal dari Medan. "Buat pengusaha keturunan di Medan, margin sedikit tidak masalah, yang penting bisnis terus berjalan," timpal Sudjono Karim, bos Grup Capella.

Tak bisa disangkal, etos kerja etnis Cina dinilai berperanan penting dalam keberhasilan mereka mendominasi bisnis. Di pelosok mana pun di dunia, ajaran Konfusiusme (Konghucu) yang telah berusia sekitar 2 ribu tahun, cukup berpengaruh signifikan terhadap kekokohan etos kerja ini. Orang Cina perantauan umumnya tidak menganggap diri mereka sebagai penganut Konfusiusme, tetapi tradisi alami orang Cina biasanya amat dipengaruhi filsafatnya. Inilah yang kemudian terlihat dalam kehidupan sosial, dalam hubungan antaranggota keluarga dan antarteman, keinginan memperoleh pendidikan, dan ketika mereka berbisnis. Jadi, boleh dibilang, ajaran Konfusiusme tetap merupakan jantung kultural orang Cina meskipun banyak dari mereka yang secara formal menganut agama Buddha atau Kristen, misalnya.

Analisis seperti itu diiyakan Anton, pengusaha berusia 30-an tahun. Menurutnya, apa pun agama yang dianut orang Cina Medan, pada dasarnya ajaran yang melekat dan dipakai sehari-hari oleh mereka adalah Konfusiusme. Bahkan, ia mengklaim dalam hal mengikuti tradisi kecinaan (maksudnya Konfusiusme), orang Cina Medan itu bisa "lebih Cina" dibanding orang Cina daratan di RRC, apalagi cuma dibanding Cina perantauan lainnya di Indonesia (Cina Kalimantan, Cina Makassar, Cina Surabaya, Cina Semarang, Cina Jakarta, dan sebagainya). Anton mencontohkan, tradisi kecinaan yang berbasis Konfusiusme itu amat melekat dalam keseharian orang Cina Medan, semisal ketika hendak menikah (mau bayar berapa untuk tanda jadinya, shio-nya cocok tidak) atau hendak membuka bisnis. Di zaman Orde Baru, menurut pria kelahiran Medan 15 Oktober 1971 ini, tradisi ini mereka pelajari secara sembunyi-sembunyi (karena masih dilarang pemerintah) di sekolah-sekolah khusus.

Bapak-anak Rajali dan Gunawan Chuwardi membenarkan masih banyak keluarga pebisnis Cina Medan yang menjaga tradisi Konfusiusme ini, termasuk keluarganya sendiri. Keluarga Rajali misalnya amat memperhatikan faktor feng shui dan kecocokan shio ketika hendak menjalin kerja sama bisnis, memulai usaha baru, atau mengadakan hajatan pernikahan. Namun, Anton mengakui belakangan orang Cina seusia dirinya, apalagi yang sudah mengenyam pendidikan Barat, praktik tradisi seperti itu mulai luntur, kecuali kalau di keluarganya terus dibiasakan.

Selain etos kerja yang berwujud pada keuletan, menurut Sofyan, keberhasilan pengusaha Cina Medan di panggung bisnis juga karena mereka mampu membangun kepercayaan (trust/sing yong) yang tinggi antarsesamanya, sekaligus mampu merajut jejaring (networking/hopeng) yang kuat. Buat kebanyakan pengusaha Cina Medan yang ditemui SWA, faktor trust ternyata menjadi unsur yang punya prioritas tinggi. "Orang Cina (Medan) kalau bisnis yang dipegang hanya mulutnya. Mereka bisa melakukan deal bisnis tanpa MoU," ujar Hansen Theo, pemilik ET.45, jaringan toko kaset dan CD terbesar di Medan. "Kami bisa bertransaksi cukup menggunakan kertas bungkus rokok atau kalender, tidak perlu nota pernyataan di notaris," sambut Wirnardi Lie, pemilik Trophy Tour, sambil tertawa.

Menurut Sudjono Karim, komitmen dan trust telah menjadi prinsip yang dipegang para pengusaha Cina Medan umumnya. Ia mencontohkan, untuk membeli mobil seharga ratusan juta rupiah pun -- kendati gironya belum cair -- kalau sudah ada trust, mobilnya bisa dikirim kepada si pemesan. Jelas, amat berbeda dengan di Jakarta, misalnya. Toh, ia menekankan, sekali saja tidak jujur, akan sulit mendapat kepercayaan lagi. "Maklum, komunitas pengusaha Medan masih kecil," ujarnya.

Darmin membenarkan. "Walaupun Medan kota ketiga terbesar, lingkungan bisnisnya masih dari itu ke itu saja, sehingga kalau nama seseorang sudah rusak, akan sulit mendapat kepercayaan," ungkapnya. Komunitas pebisnis yang saling kenal memang bisa dirasakan tim SWA ketika melihat bagaimana teman pengusaha tadi mengontak sesama pengusaha lainnya. Bagaimana dengan orang di luar mereka, atau yang tidak dikenal, untuk masuk ke jaringan mereka, atau sekadar membuat appointment? Seperti dialami tim SWA di lapangan, bisa dipastikan agak sulit kecuali ada referensi yang kuat. Persis yang dibilang Sofyan, di antara sesama mereka memang terbentuk jejaring yang kuat.

Jejaring itu bisa terbentuk karena berbagai hal, yakni: ikatan keluarga, marga, sekolah/pendidikan, perkawinan, perkumpulan/klub, ataupun hubungan pertemanan lainnya. Sebagai contoh, di hadapan tim SWA, Sudjono Karim dari Grup Capella dengan gampang bisa mengontak Bachtiar Karim, bos Grup Musim Mas, dan mengobrol layaknya bersaudara, karena keduanya memang sama-sama bermarga Lim.

Sofyan menyebutkan, secara keseluruhan di Medan - juga di Indonesia -- dari sekian banyak marga, ada tiga marga yang dominan menguasai panggung bisnis, yakni: Tan, Lim, dan Wijaya/Huang. Biasanya sesama marga membentuk semacam ikatan atau yayasan, yang bahkan punya koneksi dengan ikatan satu marga di luar negeri. Tahun ini dalam waktu dekat akan ada pertemuan marga Tan sedunia bertempat di Medan. Tahun depan, giliran marga Ang yang bakal menggelar acara semacam itu, juga di Medan. "Acaranya berbagai kegiatan sosial, walau mungkin saja ada deal bisnis di antara peserta," kata Nurni Angsana, pemilik Olagafood, yang mengaku didaulat sebagai ketua panitia pertemuan marga Ang sedunia itu. "Hubungan dengan sesama marga memang memberi rasa percaya lebih besar ketimbang kalau berhubungan dengan marga berbeda," Sofyan mengakui.

Namun, mengaku berdasarkan pengalamannya, Darmin kurang sependapat jika disebutkan pengusaha Cina Medan hanya menjalin kerja sama bisnis dengan sesama komunitas atau marganya. "Di bisnis berlaku pemeo, bahwa burung yang sama cenderung terbang bersama-sama. Jadi, marganya sama tapi kalau tidak selevel, agak susah," ungkapnya. Karena itu, ia melihat praktik kerja sama bisnis tidak akan terbatas pada satu etnis atau marga, melainkan berlaku prinsip: saling percaya, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan. "Kalau ketiga hal itu dipenuhi, tidak akan memandang orang itu datang dari mana. Tapi, trust memang menjadi unsur penting," ia menambahkan.

Selain kesamaan marga, jejaring bisnis para tauke Medan juga bisa terbentuk dari faktor lainnya seperti pendidikan dan perkumpulan. Di Medan, ada Perguruan Sutomo yang ternyata menetaskan banyak pengusaha Cina Medan sukses ataupun orang penting lainnya di kota ini. Sementara perkumpulan kalangan pengusaha Cina Medan yang cukup populer adalah Medan Tea Club. Di sini bergabung ratusan pengusaha Cina Medan, yang kegiatannya tidak hanya kongko-kongko minum teh, tapi juga tak jarang melakukan deal bisnis. Klub sosial lainnya yang juga populer adalah Rotary dan Lion Club, terutama diminati oleh kalangan pengusaha Cina Medan yang lebih muda.

Sebenarnya, banyak juga pengusaha Cina Medan yang mampu membangun jejaring ataupun lobi bukan hanya dengan sesama pengusaha keturunan Tionghoa, tapi juga dengan "orang-orang kuat". Contohnya, Rajali Chuwardi berkawan erat dengan Abdillah Wali Kota Medan yang baru saja demisioner dan kini tengah bertarung kembali -- yang memang satu almamater di Perguruan Sutomo. Hansen Theo, pemilik jaringan toko ET.45 cukup dekat dengan Wiranto, mantan capres dari Partai Golkar, lantaran Hansen menjadi pengurus organisasi pendukungnya. Tak kalah menarik, Hendro Basuki, pemilik dan pendiri Selekta Horticulture, yang lobinya tidak cuma ke level Menteri Pertanian, tapi juga bisa mendatangkan RI-1 - sejak era Soeharto -- dalam acara yang diselenggarakannya.

Karakter khas Cina Medan lainnya, termasuk juga kalangan pengusahanya, selalu menggunakan bahasa Hokkian dalam berkomunikasi. Mereka tidak menggunakan bahasa Indonesia, Melayu, ataupun bahasa daerah tempat mereka tinggal seperti halnya orang Cina Jawa, misalnya. Boleh jadi, itu memberikan kesan para pengusaha Cina Medan tertutup dan eksklusif. "Tapi, dengan menggunakan bahasa Hokkian, kami merasa lebih familier dengan yang lainnya," tutur Anton Chen Tjia.

Kesan eksklusif ini juga muncul karena banyak pengusaha Cina Medan yang dinilai enggan berbaur dengan komunitas pengusaha lainnya. Tudingan ini diungkapkan Sabri Basyah yang menyebutkan jarang pengusaha Cina Medan yang mau menjadi anggota Hipmi atau Kadin. "Memang ada yang menjadi anggota, tapi itu pengusaha-pengusaha kecil, sedangkan yang sudah besar tidak mau," ujarnya.
Bukan itu saja stigma yang melekat pada pengusaha Cina Medan. Banyak kalangan pengusaha lainnya yang pernah ditanyakan kesan mereka, menuding pengusaha Cina Medan suka main kasar, cenderung tricky, serta oportunis dan chauvinist -- seperti berani tabrak kanan-kiri dan menyuap.

Tentu saja, kebanyakan mereka menyangkal. "Orang Jakarta kalau dengar orang Medan itu tukang tipu. Padahal tidak semuanya begitu. Kalau dikatakan pengusaha keturunan di Medan tricky, tidak semua. Bukan stereotipe. Kalau ada satu-dua orang, di mana pun pasti ada, bukan hanya di Medan," ucap Sudjono Karim. Menurutnya, lebih pas bahwa pengusaha keturunan di Medan to the point kalau berbicara, lebih keras dan lebih berani. "Justru kita jangan sekali-kali berbuat licik, karena akan sangat sulit mendapat kepercayaan," tambah Rachman, pemilik Mabar Feed Indonesia.

Soal stigma suka menyuap, Suryo Pranoto, bos SariMakmur (Opal Coffee), merespons mestinya hal itu tidak cuma dialamatkan ke kalangan pengusaha etnis Cina. "Di Medan kebiasaan menyuap sudah menjadi semacam tradisi," ujarnya sambil tertawa. Kalau pun praktik (menyuap) itu berjalan, menurutnya, karena dua hal: memuluskan rencana bisnis dan keterpaksaan. "Ini seperti buah simalakama, kami terpaksa harus melakukan itu," tandasnya. Ia menambahkan bahwa secara rutin terpaksa memberi semacam "upeti" ke Organisasi Kemasyarakatan Pemuda -- yang bagi kebanyakan pengusaha Medan identik dengan preman -- yang sering menyatroni kantor dan pabriknya di Binjai.

Sofyan membenarkan bahwa kalangan pengusaha Cina Medan memang seperti dikondisikan untuk menyuap. "Sebenarnya mereka bukan mau melakukan, tapi dikondisikan. Sebab, di Medan, apa pun harus membayar. Begitu lahir sudah diganggu dengan berbagai kutipan," ujarnya, sambil menyinggung beberapa peraturan daerah yang sangat birokratis dan menuntut "upeti". Penilaian ini memang sama persis dengan pendapat Jhon Ritonga, bahwa kalau pun benar ada karakter negatif pengusaha Cina Medan, seperti tricky dan terbiasa menyuap, itu juga karena produk dari lingkungan yang koruptif dan kolutif.

Ada lagi bisik-bisik yang menyebutkan pengusaha Cina Medan tak segan menggarap bidang yang bagi kebanyakan pengusaha lain agak riskan. Contohnya, konon pengusaha Cina Medan pula yang menguasai bisnis hiburan malam -- seperti pub, diskotek, karaoke, dan amusement centrer -- di kota ini. Praktisi bisnis di Medan seperti Anton tidak menyangkalnya, karena menurutnya tradisi orang Cina memang tidak melarang seperti minum minuman keras. Anton sendiri mengaku dulu pernah punya pub dan diskotek, tapi sudah dijual semua, dengan alasan melelahkan. "Ini kan ada karena memang sudah saling membutuhkan dan perputaran uangnya tinggi," komentar Sofyan. Ada yang memperkirakan perputaran uangnya sekitar Rp 1 miliar per hari.

Masih ada fenomena menarik lainnya di kalangan tauke-tauke Medan ini. Cukup banyak perusahaan besar milik pengusaha keturunan Cina yang kini dikomandani oleh generasi kedua yang umumnya relatif masih muda, berusia 30-40 tahun. Sebut saja Sudjono Karim (Grup Capella), Bobby Leong (Supermarket Macan Yaohan), Gunawan Chuwardi (Majujaya Pohonpinang), Daniel Basuki (Selekta Horticulture), dan Henry Marpauli (Red Ribbon). Di luar mereka, juga ada kalangan pengusaha Cina Medan muda usia yang berani merintis usaha sendiri seperti halnya dilakukan Anton Chen Tjia dan Hansen Theo. Berbeda dari generasi tua yang cenderung bersahaja, generasi muda pebisnis Cina Medan ini juga punya gaya hidup yang trendy dan terkesan modern. Mobil sporty mewah, rumah keren mentereng, plus busana dan aksesori modis merupakan sebagian gambaran gaya hidup mereka. Mereka pun menyukai kongko di kafe-kafe top seperti Starbucks di Sun Plaza Medan, yang tak jarang dari sana muncul kesepakatan bisnis pula.

Nah, menariknya lagi, agak berbeda dari generasi kedua pengusaha besar di kota-kota lain, para orang tua dari tauke muda di Medan ini tampaknya lebih pede memberi mereka kepercayaan untuk lebih berkiprah memimpin bisnis. Ini kelihatan dari signifikannya peran mereka dalam membuat keputusan bisnis. Sebagai contoh, di tangan Gunawan Chuwardi sebagai Direktur Pengelola Majujaya Pohonpinang, perusahaan ini makin sadar mengenai brand awareness produk sirup Pohon Pinang. Wujudnya antara lain dengan menganggarkan biaya promosi 10%-15% hasil penjualan, termasuk di antaranya untuk mengontrak artis mahal sekelas Tamara Blezinsky sebagai endorser. Boleh jadi, atas peran Daniel Basuki pula yang menjabat sebagai direktur pengelola di Selekta, perusahaan yang didirikan ayahnya ini makin ekspansif. Langkahnya adalah akan segera membuka perkebunan hortikultura di Kalimantan dan Sulawesi. Supermarket Macan Yaohan di tangan Bobby Leong sebagai direktur pengelola, juga bak macan yang lebih mengaum. Selain target mengejar pertumbuhan di atas 7% per tahun, rencananya dalam beberapa tahun ke depan cukup agresif, yakni membuka warehouse, mewaralabakan gerai Macan Yaohan, dan menggiring jaringan supermarket ini ke lantai bursa di Jakarta.

Bagusnya, umumnya tauke-tauke muda ini memang punya bekal pendidikan yang baik, bahkan banyak yang mengenyamnya di sekolah ternama di luar negeri. "Ini tentunya akan menjadi prospek jaringan bisnis mereka di masa depan," ujar Jhon Ritonga berkomentar.

Seperti diungkap Wendy Hermanto, keistimewaan pengusaha generasi pertama di Medan lebih pada keuletan dan instingnya. "Nah, generasi kedua yang mulai banyak menggunakan tenaga profesional di perusahaannya," kata pendiri dan pemilik Grup Kompak ini. Pengamatan Darmin juga menguatkan, yakni mulai banyak perusahaan di Medan yang mengarah ke modernisasi, terutama setelah tongkat kepemimpinan dipegang generasi kedua. Misalnya, sudah banyak yang peduli dengan audit ISO. "Ini menunjukkan mereka mau memodernisasi secara sistematis manajemennya. Tampaknya sudah ada kesadaran mereka mesti mengedepankan mutu dan manajemen yang bagus," katanya.

Yuswohadi dari MarkPlus menambahkan, para pengusaha Cina Medan ini, khususnya generasi mudanya, sangatlah potensial. "Mereka itu punya komunitas dan habitat yang bagus untuk berbisnis, berbeda dari orang Jawa," katanya membandingkan. Agar makin bagus lagi, ia menyarankan, supaya mereka bisa menyeimbangkan insting bisnis yang sudah kuat itu dengan knowledge bisnis yang kuat pula.

Bicara potensi mereka, rasanya memang sulit disangkal. Sebagian dari mereka - meski terkesan tak banyak cincong -- sudah mewujudkannya dalam langkah-langkah bisnis yang progresif, bahkan ekspansif. Sepak terjang Grup ABC selama ini di pasar consumer goods nasional, atau Probesco di pasar alat-alat berat, mungkin bisa mewakili. Bisa juga kita lihat dari kiprah Grup Kompak yang diam-diam - termasuk juga enggan diwawancarai media massa -- terus berekspansi. Dalam skala berbeda, juga bisa kita saksikan dari jurus ciamik yang diperagakan produk sirup Pohon Pinang (dari Majujaya Pohonpinang) dan mi instan Alhami (dari Olagafood), sehingga bisa merangsek gerai-gerai modern di kota-kota besar.

Ya, kekuatan tersembunyi para pengusaha Cina Medan memang bisa diibaratkan seperti magma, yang sewaktu-waktu bisa saja menggelegarkan kancah bisnis nasional, atau siapa tahu juga dalam skala internasional. Apalagi, berbeda dari kebanyakan konglomerat nasional yang kini sedang bermasalah dengan timbunan utangnya, banyak pengusaha Cina Medan yang justru isi pundi-pundinya amat likuid.

newsonline

About newsonline

Terkenal dengan ragam kulinernya yang lezat, ibu kota Sumatera Utara ini juga merupakan kota terbesar yang berada di luar Pulau Jawa. Memiliki luas 265,1 kilometer persegi, letak Medan yang berada dekat dengan Selat Malaka menjadikannya sebagai kota perdagangan, bisnis, dan industri yang sangat penting di Indonesia.

Subscribe to this Blog via Email :
Perumahan Islami |   • Bisnis Bakrie |   • Bisnis Kalla |   • Rancang Ulang |   • Bisnis Khairul Tanjung |   • Chow Kit |   • Pengusaha |   • Ayo Buka Toko |   • Wisata |   • Medco |   • Fansur |   • Autopart |   • Rumpin |   • Berita Aja |   • SWPD |   • Polemik |   • Perkebunan |   • Trumon |   • Legenda Putri Hijau |   • Ambalat conflictTerumbu Karang |   • Budidaya Ikan Hias Air Tawar |   • Budidaya Sawit |   • FlyDubai |   • PT Skunk Engineering Jakarta |   • Sejarah |   • They Rape Aour Grandma |   • Museum Sumut |   • Sorkam |   • Study |   • Indonesian University |   • Scholarship in Indonesia |   • Arabian InvestorsD-8 |   • BRIC-MIT |   • Negeriads-ku |   • Panen Iklan |   • PPC Indo |   • Adsensecamp |   • PPCMuslim |   • Iklan-ku |   • Iklan Buku |   • Internet Desa |   • Lowongan Kerja |   • Cari Uang Online |   • Pengusaha Indonesia |   • Indonesia Defense |   • Directory Bisnis |   • Inpire |   • Biofuel |   • Innovation |  
loading...