Jika Republik Islam Iran mengalami kehancuran seperti yang terjadi pada Irak pada 2003 dan Suriah dalam dekade terakhir, dunia akan menyaksikan salah satu babak penjarahan sumber daya negara terbesar dalam sejarah modern. Pengalaman pahit Irak, di mana puluhan miliar dolar kekayaan negara dilenyapkan dalam waktu singkat oleh invasi, milisi, dan aktor non-negara, menjadi gambaran jelas bagaimana kehancuran sebuah negara bisa menjadi ladang emas bagi para penjarah—baik resmi maupun tidak.
Salah satu aset utama yang menjadi incaran adalah cadangan emas. Bank Sentral Iran pernah mengklaim memiliki hingga 500 ton emas pada 2012, meski angka ini kemudian direvisi turun menjadi sekitar 90 ton akibat barter perdagangan pasca sanksi ekonomi. Jika kekuasaan pusat runtuh, cadangan emas ini menjadi sasaran utama yang akan diperebutkan oleh pihak-pihak dengan akses ke gedung bank sentral dan jaringan militer atau milisi yang menguasai ibu kota.
Namun emas hanya bagian kecil dari kekayaan Iran yang rentan dijarah. Seperti halnya di Irak, kantor-kantor bank nasional dan cabang regional menjadi target berikutnya. Brankas berisi mata uang lokal, dolar AS, dan mata uang asing lainnya bisa menjadi sasaran empuk bagi siapa pun yang memiliki senjata dan akses ke dalam gedung. Iran, dengan lebih dari 20 bank besar dan ribuan cabang, menyimpan uang tunai dalam jumlah besar yang tersebar di berbagai provinsi.
Koleksi seni dan barang antik juga tak kalah penting. Museum Nasional Iran, Museum Permadani, serta berbagai pusat kebudayaan menyimpan artefak ribuan tahun dari era Persia kuno. Barang-barang ini sangat diminati oleh pasar gelap internasional. Dalam kekacauan yang sama di Irak, ribuan artefak berharga lenyap dan berakhir di lelang-lelang gelap Eropa dan Asia.
Rokok emas atau emas batangan non-bank yang tersimpan di berbagai lembaga swasta, rumah pejabat, serta individu kaya juga menjadi incaran. Dalam situasi negara runtuh, aparat keamanan bubar, dan hukum tidak berjalan, maka rumah-rumah mewah pun akan menjadi sasaran penjarahan seperti yang terjadi di Mosul dan Tikrit saat ISIS berkuasa.
Pusat-pusat perbelanjaan, mall, dan toko-toko mewah di Teheran, Mashhad, Shiraz, dan kota-kota besar lainnya juga berpotensi mengalami penjarahan massal. Produk-produk elektronik, perhiasan, pakaian bermerek, hingga makanan dan obat-obatan akan dijarah dan dijual kembali di pasar gelap, sebagaimana pernah terjadi di Aleppo dan Baghdad.
Iran juga menyimpan kekayaan dalam bentuk sumber daya energi dan infrastruktur pendukungnya. Jika pemerintahan runtuh, kilang minyak, stasiun pembangkit listrik, dan jaringan pipa gas bisa saja diambil alih oleh kelompok bersenjata untuk dieksploitasi demi keuntungan ekonomi maupun taktis. Data intelijen menunjukkan Iran memiliki ratusan depot bahan bakar, gudang amunisi, dan fasilitas ekspor yang sangat strategis.
Selain harta fisik, sistem keuangan digital juga menjadi sasaran. Jika sistem perlindungan TI negara lumpuh, rekening-rekening bank swasta dan pemerintah bisa diretas. Dalam kondisi kacau, pencurian digital dalam skala besar dapat terjadi tanpa ada yang mampu menelusuri atau menghentikannya.
Perusahaan-perusahaan besar milik negara di sektor minyak, pertanian, pertambangan, dan logistik juga bisa direbut oleh pihak asing atau kelompok dalam negeri yang ingin menguasai ekonomi pasca-rezim. Di Irak, banyak BUMN yang berubah menjadi aset pribadi kelompok-kelompok bersenjata atau “pengusaha bayangan” yang didukung asing.
Sumber daya manusia juga menjadi komoditas. Insinyur nuklir, ilmuwan, teknokrat, dan ahli militer bisa dipaksa “bekerja” di bawah kendali pihak asing atau justru diekspor ke negara-negara penampung dalam bentuk suaka politik. Brain drain besar-besaran pun bisa terjadi, memperparah kehancuran negara dari sisi SDM.
Selain itu, cadangan devisa asing yang berada di luar negeri berisiko dibekukan atau bahkan dicairkan oleh negara-negara Barat sebagai bentuk “pengamanan” pasca-kejatuhan pemerintahan. Sebagaimana terjadi pada Libya dan Venezuela, miliaran dolar kekayaan negara bisa hilang karena dialihkan ke rekening transisi atau dibekukan tanpa batas waktu.
Dalam skenario ekstrem, pasar saham dan properti juga akan runtuh. Gedung-gedung pencakar langit, properti mewah, dan kawasan bisnis di Teheran dan kota lainnya bisa berubah menjadi puing atau sarang pertempuran. Investor asing akan segera menarik dananya, sementara masyarakat lokal tidak akan mampu mempertahankan nilai harta mereka.
Pusat penyimpanan cadangan logam mulia lain seperti platinum dan perak, yang sering disimpan di lembaga-lembaga riset atau universitas, juga berisiko dijarah. Laboratorium yang menyimpan bahan kimia atau teknologi penting bahkan dapat jatuh ke tangan kelompok radikal, memperbesar risiko proliferasi senjata.
Di sisi lain, lembaga-lembaga pendidikan ternama di Iran yang memiliki koleksi buku langka, manuskrip kuno, dan perangkat riset bernilai tinggi pun bisa menjadi sasaran. Benda-benda ini sangat diminati kolektor internasional, dan berpotensi menjadi salah satu harta karun intelektual yang paling mudah dijarah tanpa jejak.
Iran memiliki banyak pasar grosir besar seperti Bazaar Teheran dan pasar-pasar provinsi yang menyimpan barang dalam jumlah massal, dari karpet, permadani, hingga logam mulia. Jika tidak ada otoritas yang menjaga, kawasan ini bisa berubah menjadi medan perang ekonomi, dengan penjarahan terkoordinasi oleh kelompok kriminal atau milisi.
Pabrik-pabrik milik negara dan swasta juga menyimpan mesin-mesin berat, suku cadang industri, dan bahan baku bernilai tinggi. Dalam kekacauan, semua ini bisa dibongkar dan dijual ke luar negeri sebagai besi tua atau bahkan dipindahkan utuh ke wilayah lain oleh kelompok yang menguasainya.
Ladang-ladang pertanian dan hasil panen besar seperti gandum, kurma, dan kacang pistachio—yang merupakan komoditas ekspor utama Iran—bisa dijarah atau dikendalikan oleh kelompok lokal demi kepentingan pribadi. Perubahan kepemilikan atas aset produktif ini akan berdampak panjang pada ketahanan pangan nasional.
Bahkan masjid-masjid besar dan tempat ziarah religius seperti di Qom atau Mashhad, yang biasanya menerima donasi dalam bentuk uang tunai, emas, atau logam mulia dari jutaan jemaah, bisa menjadi sasaran bagi kelompok-kelompok yang ingin mengambil alih sumber pendapatan mereka.
Jika skenario kehancuran ini benar-benar terjadi, maka bukan hanya kekayaan fisik Iran yang dirampok, tapi juga warisan budaya, sumber daya manusia, dan masa depan ekonominya. Pelajaran dari Irak dan Suriah menunjukkan bahwa ketika negara tumbang, yang tertinggal hanyalah abu, puing, dan kekayaan yang berpindah tangan secara paksa.