Tahun 2025 menjadi catatan kelam bagi intelijen Iran ketika serangkaian pembunuhan pejabat tinggi kembali mengguncang jantung kekuasaan di Teheran. Beberapa tokoh penting yang terlibat dalam program nuklir, rudal balistik, dan pertahanan strategis Iran tewas dalam rentetan serangan yang diduga kuat dilakukan oleh agen-agen Israel. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin negara sebesar Iran, dengan struktur keamanan dan intelijen yang kompleks, bisa kecolongan hingga musuh utama mereka mengeksekusi operasi di jantung wilayahnya sendiri?
Salah satu korban paling mencolok adalah pejabat tinggi yang terlibat dalam program rudal dan sistem pertahanan udara, yang tewas dalam ledakan di sebuah barak militer dekat Teheran. Beberapa hari kemudian, seorang ilmuwan nuklir yang sebelumnya dijaga ketat juga dibunuh dalam situasi mencurigakan. Pembunuhan ini menyusul jejak panjang operasi pembunuhan serupa, termasuk kematian Mohsen Fakhrizadeh pada 2020, ilmuwan utama program nuklir Iran, yang dibunuh di pinggiran kota dengan cara yang sangat canggih.
Lebih ironis lagi, setelah pembunuhan Fakhrizadeh, juru bicara Organisasi Energi Atom Iran, Behrouz Kamalvandi, mengungkapkan bahwa tim pembunuh yang sama juga bertanggung jawab atas sabotase di fasilitas nuklir Natanz. Pernyataan ini membuat publik mempertanyakan kredibilitas intelijen Iran. Jika sudah diketahui ada tim pembunuh aktif di Iran, mengapa mereka tidak bisa ditangkap selama enam bulan antara dua serangan besar itu?
Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak hanya ada kelemahan struktural dalam sistem intelijen Iran, tapi juga potensi infiltrasi yang mengkhawatirkan. Bahkan mantan Menteri Pertahanan, Jenderal Hossein Dehghan, secara terbuka mengakui adanya bahaya infiltrasi di dalam institusi intelijen. Tokoh senior lainnya, Mohsen Rezaei, menuntut Presiden agar mengambil langkah serius untuk mengungkap siapa sebenarnya agen-agen yang menyusup ke dalam tubuh keamanan Iran.
Pembunuhan ini juga mengguncang psikologi politik internal. Rakyat Iran mulai kehilangan kepercayaan pada kemampuan negara melindungi para pemimpinnya. Jika tokoh-tokoh utama militer dan ilmiah bisa dibunuh dengan mudah, maka bukan tidak mungkin para pemimpin politik sipil, bahkan ulama tinggi, juga berada dalam bahaya serupa. Muncul kekhawatiran bahwa serangan berikutnya bisa menargetkan simbol-simbol negara, seperti kantor presiden atau parlemen.
Israel sendiri tidak pernah mengakui secara langsung operasi-operasi ini, namun berbagai indikasi dan pola menunjukkan keterlibatan Mossad. Metode serangan yang canggih, penggunaan teknologi jarak jauh, infiltrasi, dan serangan senyap adalah ciri khas operasi Mossad selama ini. Dalam kasus Fakhrizadeh, misalnya, laporan menyebutkan bahwa senapan mesin otomatis dikendalikan dari jarak jauh menggunakan teknologi pengenalan wajah.
Iran bukan pertama kalinya mengalami serangan seperti ini. Pada awal 2010-an, setidaknya lima ilmuwan nuklir Iran dibunuh dalam periode singkat. Hingga kini, tidak satu pun pelaku berhasil diadili di pengadilan Iran. Bahkan, dalam banyak kasus, negara harus menerima bahwa serangan tersebut terjadi tanpa bisa dicegah sedikit pun. Hal ini menunjukkan adanya lubang besar dalam sistem pertahanan dalam negeri mereka.
Kelemahan ini makin terasa di saat Teheran berada di bawah tekanan internasional dan dalam ketegangan militer terbuka dengan Israel. Dalam kondisi seperti itu, seharusnya tingkat kewaspadaan justru meningkat. Namun kenyataannya, Israel justru lebih leluasa bergerak dan menunjukkan superioritas intelijen yang memalukan bagi Iran. Fakta bahwa serangan bisa dilakukan hingga ke dalam instalasi militer adalah alarm keras bagi sistem pertahanan mereka.
Pihak berwenang Iran memang berkali-kali berjanji melakukan reformasi keamanan. Namun tidak terlihat langkah signifikan untuk memperbaiki koordinasi antar lembaga intelijen dan memperkuat proteksi terhadap personel strategis negara. Koordinasi antara Garda Revolusi, Kementerian Intelijen, dan pasukan elit seperti Quds Force tampaknya belum cukup kuat untuk menghadapi operasi senyap musuh.
Kondisi ini juga memunculkan spekulasi adanya elemen-elemen di dalam sistem keamanan Iran yang menjadi kaki tangan asing. Beberapa analis menyebut bahwa keberadaan sel tidur atau kolaborator lokal telah memberi akses vital kepada musuh. Inilah yang menjadi kelemahan terbesar Iran: serangan tidak selalu datang dari luar, tapi juga dari dalam.
Di sisi lain, ketidakmampuan Iran menuntut pertanggungjawaban global atas serangan-serangan ini menunjukkan lemahnya posisi diplomatik negara tersebut. Meski berulang kali mengangkat isu ini di forum internasional, tak ada mekanisme efektif yang dapat menjerat pelaku pembunuhan secara hukum internasional. Dunia tampaknya diam ketika satu negara melakukan pembunuhan politik terhadap tokoh penting negara lain.
Lebih dari sekadar kelemahan teknis, serangkaian pembunuhan ini menandai kegagalan struktural dalam pertahanan negara. Sebuah negara yang tidak mampu melindungi tokoh-tokoh strategisnya, cepat atau lambat akan kehilangan kontrol atas kebijakannya sendiri. Intelijen yang bocor, aparat yang tertembus, dan pemimpin yang dibunuh menunjukkan tanda-tanda rapuhnya fondasi kekuasaan.
Jika kondisi ini tidak segera dibenahi, Iran akan terus menjadi medan permainan intelijen asing. Dan bukan tidak mungkin, skenario seperti yang terjadi di Irak dan Suriah—di mana negara terfragmentasi akibat infiltrasi dan intervensi asing—akan kembali terulang, dengan hasil akhir yang sama: kehancuran sistematis dari dalam.
Kematian para pejabat tinggi Iran di tahun 2025 adalah cerminan dari keunggulan operasi asing dan kegagalan keamanan dalam negeri. Ini bukan sekadar kejadian tragis, tapi sinyal keras akan pentingnya reformasi menyeluruh dalam struktur intelijen, transparansi, dan penguatan loyalitas internal terhadap negara.
Dalam dunia intelijen, kelemahan kecil bisa berujung pada kehancuran besar. Jika Iran terus abai, maka daftar korban akan bertambah, dan mimpi kemandirian negara bisa hancur perlahan oleh tangan-tangan tak terlihat dari luar—dan dari dalam.