Gelar Sultan berasal dari bahasa Arab sulṭān (سلطان) yang berarti kekuasaan atau otoritas. Dalam sejarah dunia Islam, gelar ini digunakan untuk menyebut penguasa monarki Muslim yang memerintah suatu wilayah. Meski kerap disamakan dengan raja (malik) atau khalifah, sultan lebih mencerminkan penguasa wilayah tertentu dan bukan pemimpin seluruh umat Islam seperti khalifah. Gelar ini memiliki nuansa agama yang kuat dan hanya digunakan oleh penguasa yang beragama Islam.
Asal-usul penggunaan gelar sultan secara resmi dalam sejarah Islam dapat dilacak ke abad ke-10 Masehi, ketika Mahmud dari Ghazni (bergelar Yamin Al Dawla/Daulay) menjadi salah satu penguasa Muslim pertama yang menyebut dirinya dengan gelar Sultan. Setelah itu, gelar ini menyebar luas ke berbagai belahan dunia Islam, termasuk ke kawasan Turki, Persia, Asia Tengah, India, dan kemudian ke Nusantara. Dalam Kekaisaran Utsmaniyah, para penguasanya menyandang gelar Sultan sekaligus Khalifah, menjadikan gelar ini simbol religius dan politik tertinggi selama lebih dari empat abad.
Di wilayah Nusantara, gelar Sultan mulai digunakan secara luas setelah masuknya Islam khususnya sekitar abad ke-13 hingga 15. Kosa kata sultan dalam arti kekuatan/kekuasaan sudah ada dalam Alquran. Kesultanan Samudera Pasai di Aceh menjadi kesultanan Islam pertama yang berdiri di Indonesia. Setelah itu, gelar sultan digunakan pula di Kesultanan Malaka, Aceh Darussalam, Demak, Banten, Ternate, Tidore, hingga Gowa dan Bone di Sulawesi. Gelar ini menjadi simbol bahwa penguasa wilayah tersebut menganut Islam dan menegakkan hukum-hukum Islam di wilayahnya.
Di Sumatera Utara, jejak kesultanan bisa ditemukan di beberapa daerah yang wilayahnya terkadang termasuk Tanah Batak tergantung periodenya. Salah satunya adalah Kesultanan Barus yang dulunya memiliki dua cabang: Barus Hulu dan Barus Hilir. Barus Hulu, yang bisa disebut sebagai 'Sultan Batak' merupakan leluhur dari tokoh nasional KH Zainul Arifin Pohan, sementara Barus Hilir, yang bisa disebut sebagai 'Sultan Melayu', menelusuri garis keturunan dari Tuan Ibrahimsyah, bangsawan dari Tarusan, Inderapura, Sumatera Barat dan berhubungan ke Bakkara, menurut Sejarah Raja-raja Barus, dengan perbatasannya sekitar Samosir dengan Kerajaan Aru.
Selain Barus, Kesultanan Aru Barumun yang berada di wilayah Padang Lawas juga memiliki ciri kesultanan dan pernah menjadi bagian dari jaringan kekuasaan Samudera Pasai. Kesultanan ini dikenal dalam sejarah Islam di pesisir timur Sumatera bahkan di periode tertentu sampai Rokan dan Kampar. Kerajaan ini juga terkait dengan masyarakat Karo dan warga Batak di Pusuk Buhit menurut sejarah Melayu.
Akibatnya, warga di Tanah Batak di masa lalu, ada yang ber-Sultan ke Minangkabau, Aceh atau Barus, tergantung periodenya.
Seiring waktu, gelar Sultan atau Sutan meresap ke struktur adat dalam bentuk gelar-gelar seperti Raja, Ompu, Patuan, Mangaraja, dan Sutan. Gelar Sutan di sini maksudnya adalah gelar adat atau gelar kehormatan dalam tarombo (silsilah marga). Gelar ini sering diwariskan atau ditabalkan untuk menandai status sosial atau kebangsawanan leluhur.
Namun, penggunaan gelar Sutan sejatinya tidak sepenuhnya lepas dari pengaruh Islam dan kesultanan. Di wilayah Mandailing, Angkola, hingga Barus, banyak gelar Sutan yang berasal dari gelar Sultan masa lalu. Dalam banyak kasus, nama Sutan diberikan kepada anak untuk menandakan bahwa keluarga mereka kemungkinan berasal dari keturunan Sultan, sebagaimana nama "Syarif" yang digunakan di dunia Islam untuk keturunan Nabi Muhammad SAW. Nama seperti tokoh bernama "Syarif Anwar" di Mandailing menunjukkan bagaimana simbol-simbol keluhuran masa lalu masih hidup dalam nama dan kebanggaan keluarga.
Meski begitu kemungkinan pemberian nama Sultan atau Syarif oleh orang tua ke anaknya hanya bentuk doa, agar anaknya sukses dan mulia di masa depan, juga besar.
Dengan demikian, menyebut tidak ada Sultan di tanah Batak tidak sepenuhnya benar karena secara historis dan genealogis, masyarakat Batak tidak terpisah dari dunia kesultanan.
Apalagi kini gelar Sultan atau Sutan kini terus hidup sebagai bagian dari narasi identitas, meski tidak sebagai struktur pemerintahan. Maka, ketika kita melihat gelar “Sutan” di Tanah Batak hari ini, kita sedang melihat jejak warisan kesultanan yang telah melebur dalam adat Batak, Mandailing, Angkola dll yang khas dan unik.
Tema terkait:
juga:
1. https://vt.tiktok.com/ZShJ7Qevt/
2. https://vt.tiktok.com/ZShJvNSFX/
3. https://www.facebook.com/share/19vFgxycyu/
4. https://pemberitaatjeh.blogspot.com/2025/03/helman-sitohang-masuk-dalam-anggota.html?m=1
5. https://www.instagram.com/p/DGUUKXTSCiQ/?img_index=4&igsh=dDJidzZ2emJ0Y25r
6. https://www.facebook.com/share/p/1BnYLBA13d/
7. https://vt.tiktok.com/ZShPPa1Kh/
8. http://www.khazanahbendaharaserimaharaja.com/uploads/9/7/5/8/9758343/terombo_silsilah_deli_serdang.pdf
9. https://repositori.kemdikbud.go.id/19963/1/2016-Booklet-Kronologis%20para%20sultan%20di%20aceh.pdf
10. http://www.khazanahbendaharaserimaharaja.com/uploads/9/7/5/8/9758343/silsilah_raja_islam_nusantara.pdf
11. https://vt.tiktok.com/ZShUU1hP8/
