Sejak pecahnya konflik terbaru di Jalur Gaza, laporan dari lembaga hak asasi internasional dan pemantauan perang mengungkap bahwa Israel telah menjatuhkan lebih dari 1,5 kali tonase bom yang setara dengan bom atom Hiroshima ke wilayah Gaza. Dalam catatan sejarah, bom atom "Little Boy" yang dijatuhkan Amerika Serikat ke Hiroshima pada 1945 memiliki kekuatan sekitar 15 kiloton.
Jika dihitung kasar, berarti Israel telah mengguyur Gaza dengan lebih dari 22,5 kiloton kekuatan ledakan dari udara, sebagian besar dalam bentuk bom konvensional presisi tinggi dan amunisi bunker-buster.
Fakta ini memunculkan pertanyaan serius tentang kapasitas destruktif yang disiapkan Israel untuk target berikutnya, yakni Iran. Beberapa tokoh militer dan politik di Tel Aviv secara terbuka menyatakan bahwa kehancuran total atas infrastruktur nuklir dan kekuatan strategis Iran menjadi tujuan jangka panjang Israel. Dalam simulasi militer yang sering dilakukan Israel bersama sekutunya, serangan terhadap Teheran dan kota-kota besar Iran lainnya tidak hanya melibatkan rudal jarak jauh, tetapi juga armada jet tempur dengan bom berpemandu laser serta rudal balistik yang disiapkan dari kapal selam.
Jika skala kehancuran di Gaza dijadikan tolok ukur, maka untuk menghancurkan Teheran, sebuah kota metropolitan dengan populasi lebih dari 9 juta jiwa dan infrastruktur pertahanan berlapis, diperlukan minimal lima kali lipat kekuatan ledak dari yang digunakan di Gaza. Ini berarti setidaknya 100 hingga 120 kiloton tonase bom atau amunisi presisi harus dijatuhkan dalam skenario perang total. Jumlah ini tentu belum mencakup kota-kota strategis lain seperti Isfahan, Natanz, dan Qom yang menjadi pusat kegiatan nuklir dan militer Iran.
Sementara Israel didukung penuh oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dalam hal suplai senjata canggih dan amunisi tanpa batas, Iran berada dalam posisi yang jauh lebih menantang. Iran harus mengandalkan produksi dalam negerinya untuk semua jenis persenjataan, mulai dari peluru, drone kamikaze, hingga rudal balistik jarak menengah. Menurut laporan intelijen terbuka, total persediaan bom dan rudal konvensional Iran diperkirakan hanya berkisar 25% dari total kemampuan tempur Israel yang terus disuplai.
Dalam skenario balasan total, Iran diprediksi hanya mampu meluncurkan serangan awal dengan sekitar 20 hingga 30 kiloton tonase ledak yang tersebar dalam bentuk rudal balistik, drone, dan roket yang diarahkan ke pangkalan AS dan Israel di Timur Tengah. Jumlah ini masih sangat jauh dibandingkan kekuatan gabungan yang dimiliki oleh blok Barat. Artinya, retaliasi Iran bersifat terbatas dan lebih bersandar pada strategi gangguan jangka panjang serta perang asimetris melalui proksi di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman.
Ketimpangan ini semakin diperparah oleh posisi Dewan Keamanan PBB yang didominasi oleh sekutu Israel. Jika Amerika Serikat dan negara-negara Eropa terus menggunakan hak veto mereka untuk menggagalkan upaya menghentikan agresi militer Israel terhadap Iran, dampak geopolitik yang lebih luas akan segera terasa. Negara-negara nonblok, termasuk beberapa anggota BRICS seperti Rusia, Tiongkok, dan India, bisa mempercepat pembentukan sistem global alternatif di luar kendali Barat.
Konstelasi baru ini kemungkinan akan mendorong peningkatan kerja sama militer di antara negara-negara yang merasa terancam oleh dominasi blok Barat. Sistem pertahanan udara seperti S-400 dan sistem radar peringatan dini buatan Rusia atau Tiongkok akan menjadi barang paling dicari di pasar global. Iran sendiri sudah memperkuat hubungannya dengan Tiongkok dan Rusia dalam berbagai latihan militer bersama dan transfer teknologi.
Di sisi lain, kepercayaan dunia khususnya negara-negara Islam yang diprediksi akan menjadi target berikutnya terhadap institusi global seperti PBB juga semakin merosot. Negara-negara mayoritas Muslim mulai mempertanyakan nasib mereka dan validitas lembaga-lembaga internasional yang seharusnya netral namun tampak tunduk pada agenda geopolitik Barat. Beberapa analis memperkirakan munculnya blok baru antar negara Islam yang menolak hegemoni Barat dan mendukung perjuangan rakyat Palestina serta kedaulatan Iran.
Kemungkinan lain yang mencuat adalah eskalasi konflik regional menjadi perang terbuka multinasional. Serangan terbuka Israel ke Iran akan memicu respons berantai dari Hizbullah di Lebanon, kelompok milisi di Irak, Houthi di Yaman, hingga Taliban di Afghanistan. Meski kekuatan mereka tidak seimbang dengan Israel dan sekutunya, gerakan mereka dapat menciptakan tekanan di berbagai front yang menguras energi dan sumber daya Barat.
Para diplomat senior memperingatkan bahwa membiarkan Israel melakukan serangan bebas tanpa batas ke Iran hanya akan mempercepat pecahnya tatanan dunia yang berbasis pada hukum internasional. Sebuah dunia di mana hukum digantikan oleh kekuatan akan memicu perlombaan senjata nuklir, termasuk di Asia Selatan, Timur Tengah, dan bahkan Amerika Latin.
Israel sendiri tidak menyatakan secara eksplisit bahwa mereka memiliki senjata nuklir, tetapi sejumlah laporan menyebutkan bahwa Tel Aviv menyimpan lebih dari 80 hingga 100 hulu ledak nuklir. Ini memberi Israel keunggulan strategis yang sangat besar dan menjadi penentu dalam kalkulasi geopolitik kawasan. Iran, yang belum memiliki senjata nuklir, semakin merasa terancam dan terdorong untuk mempercepat program pengayaan uranium.
Konflik terbuka Israel-Iran yang disahkan secara de facto oleh PBB akan menjadi preseden buruk yang mempengaruhi perilaku negara-negara besar lainnya. Jika intervensi sepihak di luar konsensus internasional dilegalkan, maka Rusia, Tiongkok, atau bahkan India bisa melakukan hal serupa di wilayah mereka masing-masing tanpa perlu khawatir akan sanksi internasional.
Di dalam negeri, tekanan terhadap pemerintah Barat yang mendukung Israel bisa meningkat tajam. Warga negara Muslim di Eropa dan Amerika Serikat bisa melakukan aksi unjuk rasa besar-besaran, yang berujung pada krisis politik domestik di banyak negara Barat. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperlemah koalisi politik pendukung agresi Israel dan membuka peluang baru bagi kekuatan progresif atau anti-perang di Barat.
Pada akhirnya, penggunaan kekuatan berskala besar oleh Israel terhadap Gaza dan potensi ekspansi ke Teheran bukan hanya isu regional. Ini adalah pertaruhan besar terhadap stabilitas global, hukum internasional, dan masa depan sistem geopolitik yang selama ini dijaga sejak Perang Dunia II. Dunia kini dihadapkan pada dua pilihan: mempertahankan sistem multilateral berbasis hukum atau jatuh dalam dominasi kekuatan militer tanpa kendali.
Perhitungan tonase bom hanyalah sebagian kecil dari realitas konflik ini. Di balik angka dan ledakan, ada jutaan nyawa yang menjadi korban dari ambisi dan balas dendam. Kemanusiaan kini berada di persimpangan jalan, dan pilihan yang diambil komunitas global hari ini akan menentukan arah sejarah abad ke-21.
Dibuat oleh AI