Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang telah mengenal Islam sejak awal abad hijriyah dan Barus di Tapanuli Tengah telah ditetapkan menjadi Titik Nol Islam di Nusantara.
Melalui pedagang Arab dan India, Islam telah masuk ke pedalaman termasuk ke Tanah Karo, baik era Sriwijaya, Chola, Samudera Pasai, Kerajaan Aru, Kesultanan Aceh dan seterusnya.
Gelombang berikutnya yang ditandai dengan periode politik adalah tahun 456 H (1062 M), yaitu pada abad ke-11 (Pardosi, Baharuddin: 2007:2). Lalu gelombang migrasi orang Pagaruyung yang telah terkoneksi dengan Mekkah dan mendirikan pemukiman pertama sekitar Danau Toba yang dihikayatkan oleh Pustaka Alim Kembaren berbahasa Karo.
Lalu pada abad ke-15 (Guru Kinayan, Manang Sukka, pengangkatan Sisingamangaraja sebagai Khalifah Batak sebagaimana disebut dalam Hikayat Meukuta Alam, dan berlanjut pada abad ke-19 (Tarigan, Azhari Akmal: 2007:21), lihat makam Nini Tengku atau Tengku Lau Bahun di Simpang Empat, Karo.
Barus—sebuah pelabuhan kuno di pantai barat Sumatera—sudah dikenal sebagai kota kosmopolitan sejak abad ke-7 hingga ke-10 Masehi dan menjadi pusat pertemuan pedagang Arab, Persia, dan India yang telah memeluk Islam. Dari Barus inilah para pedagang menyebarkan ajaran Islam ke pedalaman, termasuk ke wilayah Tanah Karo. Dan di Tanah Karo juga ada Marga Barus, sampai sekarang masih ada Kejuruan Urung Senembah yang raja-rajanya Islam bergelar Saidi dan Wan di Deli Serdang.
Peran Kerajaan Haru dan Jaringan Perdagangan
Salah satu kerajaan yang sangat berperan dalam menyebarkan Islam di sekitar Tanah Karo adalah Kerajaan Haru. Sejak abad ke-10, Haru telah menjalin hubungan dagang dan politik dengan dunia Islam. Kerajaan ini, yang terletak di wilayah yang kini dikenal sebagai Deli Tua, Langkat, dan Pane, memiliki keterkaitan kultural dan genealogis yang erat dengan suku Karo. Melalui hubungan kekeluargaan dan jalur perdagangan inilah agama Islam perlahan diperkenalkan di pedalaman Karo. Para pedagang garam, ikan, dan perhiasan dari pesisir Sumatera Timur pun turut menyebarkan Islam secara informal di wilayah Karo.
Gelombang Masuknya Islam ke Tanah Karo
Menurut Azhari Akmal Tarigan, terdapat tiga teori utama mengenai dakwah Islam paling berkesan ke Tanah Karo:
Teori Barus:
Islam masuk melalui pedagang Muslim dari Barus yang telah mengenal Islam sejak abad ke-9 atau sebelumnya.
Teori Aceh:
Islam disebarkan oleh para ulama dan mubaligh dari Aceh, seperti Tengku Muda (Tiga Beringin), Tengku Lau Bahun (Lingga), dan Tengku Tambak Malem (Meriah). Usaha mereka dimulai sekitar tahun 1888 (abad ke-19), walaupun banyak mengalami penolakan pada awalnya.
Teori Perbatasan:
Islam masuk melalui pengaruh kerajaan-kerajaan Islam di perbatasan Karo seperti Haru, Langkat, dan Deli. Karena hubungan kekerabatan, Islam menyebar secara bertahap melalui keluarga dan jaringan dagang.
Dari ketiga teori tersebut, teori Aceh cenderung lebih diterima karena didukung oleh data historis mengenai peran nyata ulama Aceh dalam aktivitas dakwah, khususnya pada era Samudera Pasai, Kerajan Aru dan Kesultanan Aceh.
Guru Kinayan: Ulama atau Panglima Awal Penyebar Islam
Salah satu tokoh penting dalam sejarah awal Islam di Tanah Karo adalah Guru Kinayan, yang oleh sebagian catatan disebut pula sebagai Panglima Kinayan. Menurut Buya Hamka, Guru Kinayan adalah seorang ulama dan pejuang penyiar Islam yang cukup masyhur, yang disebut-sebut berasal dari wilayah Pase (Aceh). Ia kemungkinan besar merupakan salah satu guru agama yang menyebarkan Islam ke daerah Batak-Karo dan Alas.
Terdapat sebuah dusun di Tanah Karo yang bernama Guru Kinayan, yang diduga kuat mengambil nama dari sosok penyebar Islam ini. Hal ini menunjukkan adanya jejak dakwah Islam yang tertinggal kuat dalam budaya lokal.
Usai invasi Belanda ke Aceh dan Tanah Batak termasuk Karo termasuk misi Kristenisasi, sebagian orang Karo di pegunungan tetap mempertahankan akidah Islamnya sebagaimana di Deli Serdang, Langkat dll.
Di antara tokoh yang terkenal saat itu di Kabupaten Karo sekarang adalah Juan Tarigan dan keluarganya termasuk H. Sulaiman Tarigan dan menjadi pelopor dakwah Islam.
Pada tahun 1946, H. Sulaiman Tarigan diangkat sebagai kepala Jawatan Agama pertama di Tanah Karo oleh pemerintah. Ini menjadi tonggak penting dalam institusionalisasi Islam di daerah tersebut.
Organisasi Islam dan Puncak Perkembangan
Perkembangan Islam semakin pesat pada era 1930-an dengan berdirinya organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah (sekitar tahun 1936) dan Al-Washliyah (1930/1939). Puncak gerakan dakwah Islam terjadi pada dekade 1980–1990-an. Pada masa ini, sinergi antara para tokoh agama, organisasi kemasyarakatan Islam, serta dukungan dari lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam dari Medan sangat besar dalam memperkuat dakwah Islam di Tanah Karo.
Dibuat oleh AI, Baca info selanjutnya