Kota Marib kembali menjadi sorotan utama di tengah memanasnya situasi politik dan militer di Yaman. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa milisi Houthi telah mengirimkan konvoi kendaraan tempur dan pasukan bersenjata menuju pinggiran kota itu dalam beberapa pekan terakhir. Langkah ini memicu kekhawatiran akan pecahnya kembali pertempuran besar di wilayah paling strategis dan kaya sumber daya tersebut, yang selama ini menjadi benteng kuat pemerintah.
Alasan mengapa Houthi terus berusaha merebut Marib tak bisa dilepaskan dari kekayaan alam yang dimiliki provinsi ini. Marib menyimpan cadangan minyak dan gas terbesar di Yaman, dengan sumur-sumur minyak aktif dan fasilitas pemrosesan gas yang memasok energi bagi sebagian besar kawasan utara negara itu. Menguasai Marib berarti mendapatkan kendali atas sumber pendapatan vital yang bisa menghidupi operasi perang dan memperkuat posisi politik kelompok mana pun yang berhasil merebutnya.
Selain cadangan energi, Marib juga memiliki infrastruktur penting berupa jaringan pipa minyak dan pembangkit listrik yang selama ini menopang kehidupan di sejumlah provinsi sekitarnya. Bagi kelompok Houthi, keberhasilan merebut kota ini bisa menjadi kartu truf strategis untuk menekan pemerintah dan memperbesar wilayah kekuasaannya ke arah timur.
Dari sisi kekuatan militer, pasukan pemerintah di Marib saat ini berjumlah sekitar 30.000 personel aktif. Mereka terdiri dari berbagai unit militer resmi, pasukan elite Garda Republik, hingga milisi suku-suku lokal. Pasukan ini berada di bawah komando langsung Jenderal Sagheer bin Aziz, sosok komandan veteran yang dikenal berani dan memiliki jaringan kuat di kalangan suku-suku Marib.
Namun, yang tak kalah penting, Marib dipimpin oleh Gubernur Sultan Al Aradah, tokoh berpengaruh yang bukan hanya memegang kendali administratif provinsi, tetapi juga menjabat sebagai salah satu Wakil Presiden di Dewan Kepresidenan Yaman. Perannya strategis karena selain mengatur urusan sipil, ia juga aktif memobilisasi suku-suku setempat dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan Houthi.
Sultan Al Aradah dikenal sebagai pemimpin moderat yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pemerintah pusat dan aspirasi masyarakat lokal. Di bawah kepemimpinannya, Marib tidak hanya bertahan dari gempuran milisi Houthi, tapi juga berkembang pesat secara ekonomi dan infrastruktur, bahkan di tengah situasi perang.
Dulu dikenal sebagai daerah pengungsian, Marib kini menjadi kota maju di Yaman. Ribuan warga yang melarikan diri dari berbagai daerah konflik bermukim di kota ini, mendorong pertumbuhan ekonomi, berdirinya sekolah-sekolah baru, rumah sakit, pasar, dan pusat perdagangan. Kota ini perlahan menjadi pusat ekonomi baru di Yaman.
Investasi besar-besaran dalam pembangunan jalan, proyek perumahan, dan sektor energi membuat Marib bangkit sebagai salah satu kota terpenting di Yaman. Sejumlah proyek infrastruktur strategis juga mulai berjalan, termasuk perluasan jaringan listrik dan perbaikan sistem distribusi air bersih, yang sebagian besar dibiayai dari hasil produksi minyak lokal.
Kedudukan Sultan Al Aradah sebagai Wakil Presiden membuatnya memiliki akses langsung ke Dewan Kepresidenan. Namun, hal ini juga menjadi sasaran politik tersendiri, karena beberapa faksi di dalam pemerintahan menilai kekuatannya di Marib terlalu besar dan berpotensi mengganggu keseimbangan kekuasaan di tingkat nasional.
Sejumlah analis menyebutkan bahwa ketegangan antara Dewan Kepresidenan dan Houthi di sekitar Marib bisa kembali meningkat dalam waktu dekat. Terlebih, Houthi terus memanfaatkan keretakan internal di kubu pemerintah, termasuk isu-isu persaingan antar faksi di dalam Dewan Kepresidenan yang kini terdiri dari beberapa kelompok bersenjata.
Sementara itu, Sultan Al Aradah dituntut untuk tidak hanya mempertahankan Marib secara militer, tapi juga memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya. Banyak kalangan menilai, daripada terus membuka front perang baru, pemerintah dan otoritas Marib sebaiknya lebih fokus mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan para pengungsi internal (IDP) yang kini mendominasi populasi di provinsi tersebut.
Berbagai inisiatif kebijakan ekonomi menuju kemandirian tengah dirancang, termasuk program pelatihan kerja bagi pengungsi, pengembangan UMKM, serta pemulihan lahan-lahan pertanian di wilayah-wilayah yang selama ini terkena dampak konflik. Selain itu, proyek perbaikan infrastruktur jalan, listrik, dan sanitasi masih menjadi prioritas utama.
Marib saat ini menampung lebih dari dua juta penduduk, hampir setengahnya adalah pengungsi dari berbagai provinsi lain di Yaman. Kondisi ini menjadikan Marib sebagai wilayah dengan tantangan kemanusiaan terbesar di negeri itu, sekaligus titik pertahanan terakhir pemerintah di kawasan utara.
Di sisi lain, Houthi yang mengalami kesulitan ekonomi dan militer di wilayah barat, sangat berkepentingan untuk mendapatkan kendali atas Marib. Selain alasan ekonomi, kota ini merupakan gerbang ke provinsi-provinsi minyak lain seperti Shabwa dan Hadramaut, yang bisa membuka jalur logistik baru bagi Houthi.
Pemerintah pusat kini menghadapi dilema, apakah terus mempertahankan Marib dengan kekuatan militer penuh, atau mulai menawarkan solusi diplomatik yang realistis, sembari memperkuat ketahanan sosial-ekonomi wilayah tersebut. Beberapa kalangan di Dewan Kepresidenan bahkan mulai menyarankan pendekatan yang lebih mengedepankan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ketimbang hanya fokus pada strategi perang.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa meski kekuatan militer Houthi kerap mengalami kerugian, kelompok ini tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. Serangan sporadis dan upaya infiltrasi masih terus terjadi di sekitar garis pertahanan Marib, sehingga memaksa pasukan pemerintah dan suku-suku lokal selalu dalam kondisi siaga.
Dengan posisi strategis dan potensi ekonominya yang sangat besar, Marib akan terus menjadi titik panas dalam konflik Yaman. Namun, suara dari masyarakat sipil dan pengungsi di kota itu kian nyaring meminta agar pemerintah pusat dan pemimpin daerah seperti Sultan Al Aradah lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyat ketimbang kepentingan militer semata.