Pertama, serangan Israel ke Iran membuktikan bahwa sebuah isu besar dapat ditutupi dengan isu lainnya. Ketika dunia mulai menyoroti genosida di Gaza dan kekejaman di Tepi Barat, Israel justru membuka front baru ke Iran untuk mengalihkan perhatian global. Strategi ini berhasil menggiring opini dunia menjauh dari Palestina dan kembali ke narasi “perang regional” yang lebih kabur.
Kedua, serangan ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya tidak serius dalam menegakkan prinsip hak asasi manusia, terutama jika menyangkut korban dari masyarakat lemah. Dukungan diam-diam hingga keterlibatan aktif AS dalam serangan Israel ke Iran memperlihatkan bahwa HAM hanya dijadikan alat politik, bukan komitmen moral yang universal.
Ketiga, sikap AS yang awalnya menyatakan tidak terlibat dalam serangan ke Iran, lalu kemudian ikut serta, mencerminkan moralitas yang rendah. Keputusan mereka untuk terlibat justru membongkar hipokrisi dan manipulasi informasi yang selama ini dijadikan senjata diplomasi publik mereka.
Keempat, serangan ke Iran juga dijadikan instrumen untuk menutupi berbagai krisis dalam negeri di AS, termasuk demonstrasi terkait ekonomi, rasisme, dan dukungan terhadap Palestina. Politik luar negeri kembali digunakan sebagai alat pengalihan perhatian domestik, bukan untuk membela nilai-nilai keadilan global.
Kelima, pernyataan pemimpin Jerman yang memuji langkah serangan Isael ke Iran sebagai sebuah kesuksesan dari “kerja kotor (dirty work) yang seharusnya dilakukan Barat” menunjukkan adanya ketegangan moral di dalam kubu Eropa sendiri. Pernyataan ini dianggap membuka borok yang selama ini ditutupi Barat, termasuk membongkar kebusukan operasi-operasi rahasia yang dilakukan oleh AS dan sekutunya di wilayah Timur Tengah.
Keenam, tekanan Amerika kepada Iran agar tidak membalas serangan Israel adalah bentuk pelanggaran terhadap Piagam PBB. Setiap negara berhak mempertahankan diri atas serangan militer dari pihak lain. Permintaan agar Iran tidak merespons menunjukkan bahwa kekuatan besar ingin memonopoli hak untuk menyerang tanpa konsekuensi.
Ketujuh, alasan Amerika bahwa serangannya terhadap Iran sah dan legal, namun pada saat yang sama meminta Iran tidak membalas, ibarat perampok yang menyatakan aksinya sah dan meminta korban untuk tidak melawan. Dunia melihat kontradiksi ini sebagai bentuk arogansi dan kehilangan kredibilitas moral AS di panggung internasional.
Kedelapan, para pendukung Israel di media sosial sering melontarkan ejekan bahwa umat Islam, meski berjumlah miliaran, tidak mampu menghentikan genosida yang dilakukan Israel. Ini pernyataan tak bermoral karena tak seharusnya sebuah kejahatan dibangga-banggakan. Meski itu hanya bermaksud untuk meledek tak ada perwakilan negara Islam di anggota tetap DK PBB yang punya hak veto. AS memang sampai saat ini selalu menggunakan hak veto menolak jika ada keputusan untuk menghentikan genosida Gaza di Israel.
Kesembilan, klaim bahwa negara-negara Islam tertinggal, tidak menguasai teknologi, dan tak punya kemampuan intelektual, menjadi gugur. Iran telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan teknologi tinggi dengan ilmuwan-ilmuwan terkemuka di bidang nuklir, drone, dan pertahanan siber. Banyak di antara mereka justru menjadi target pembunuhan oleh Mossad, yang takut dominasi di Timur Tengah tak dianggap lagi.
Kesepuluh, negara-negara Barat seperti AS, Inggris, Perancis, dan sebagian besar Eropa yang selama ini mengaku paling demokratis, paling menjunjung HAM, dan paling beradab, justru terungkap sebagai kekuatan yang paling kotor secara moral. Dukungan mereka terhadap serangan ilegal dan pembunuhan pejabat Iran memperlihatkan bahwa prinsip yang mereka bawa selama ini hanya kosmetik, bukan nilai sejati.
Sepuluh pelajaran ini bukan hanya menjadi refleksi bagi Iran atau Palestina, tetapi juga bagi masyarakat global yang masih percaya pada narasi tunggal media Barat. Serangan ke Iran telah mengangkat tirai kepalsuan dan membongkar wajah asli aktor-aktor besar dalam politik internasional. Dalam krisis ini, yang terbuka bukan hanya kehancuran fisik, tetapi juga kehancuran moral.
Pergeseran opini publik internasional pun mulai tampak. Banyak kelompok masyarakat sipil, termasuk di Barat, yang kini mulai mempertanyakan narasi resmi pemerintah mereka. Solidaritas untuk Palestina justru semakin besar setelah serangan ke Iran, karena masyarakat menyadari bahwa sumber kekacauan berasal dari Israel dan pendukungnya, negara-negara dengan politik luar negeri yang penuh standar ganda.
Iran, terlepas dari segala keterbatasannya, kini menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi sepihak yang selama ini dijalankan oleh AS dan sekutunya. Negara ini tidak lagi hanya berbicara soal pertahanan, tapi juga kehormatan dan harga diri. Di mata sebagian dunia, Iran bukan sekadar negara yang diserang, tetapi juga negara yang berani berkata "tidak" kepada hegemoni global.
Pelajaran-pelajaran ini penting untuk dicatat dalam sejarah. Ketika satu negara besar menginvasi yang lain tanpa konsekuensi, dan saat dunia diam karena pelakunya adalah sekutu lama, maka itu adalah tanda bahwa sistem internasional sedang rusak. Dan dalam kerusakan itu, muncul kebenaran-kebenaran kecil yang selama ini tertutup oleh propaganda dan retorika palsu.
Masyarakat dunia, terutama generasi mudanya, kini melihat dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan. Serangan ke Iran membuka mata mereka bahwa kekuatan bukan soal jumlah, tapi soal keberanian untuk bertindak dan keteguhan untuk berdiri di pihak yang benar, bahkan saat dunia memalingkan muka. Pelajaran ini akan terus bergema, jauh lebih lama dari dentuman rudal di langit Teheran.
Dibuat oleh AI