Sabtu, 20 September 2025

newsonline

Suriah Gelar Pemilu Parlemen Transisi 2025

Suriah bersiap menggelar pemilu parlemen pertama pasca kejatuhan Bashar al‑Assad, dijadwalkan berlangsung antara 15 hingga 20 September 2025 (jika tak diundur). Pemerintahan transisi yang dipimpin Presiden sementara Ahmed al‑Sharaa dan Perdana Menteri Muhammad al‑Bashir menegaskan pemilu ini menjadi tonggak penting untuk membangun kembali legitimasi politik negara.

Pemilu kali ini berbeda dari masa lalu. Sebagian kursi parlemen akan dipilih secara tidak langsung melalui “electoral colleges” di tiap provinsi, sementara sepertiga kursi lainnya ditunjuk langsung oleh Presiden transisi. Langkah ini diambil karena kondisi keamanan dan administrasi kependudukan yang belum sepenuhnya pulih.

Jumlah kursi parlemen ditetapkan sebanyak 210. Dari jumlah itu, 70 kursi ditunjuk oleh Presiden transisi, sedangkan 140 kursi dipilih melalui mekanisme electoral colleges yang terdiri dari badan pemilih lokal di tiap provinsi. Sistem ini bertujuan menjaga keseimbangan antara representasi publik dan kendali administratif pemerintah transisi.

Syarat bagi warga untuk memilih tetap mengikuti standar minimal usia 18 tahun. Artinya, mayoritas warga dewasa Suriah masih memiliki hak suara, meski pemilu dilakukan sebagian tidak langsung. Sedangkan calon anggota parlemen harus berusia minimal 25 tahun, memenuhi standar integritas, dan tidak terlibat kejahatan berat atau kelompok terlarang.

Wilayah yang dikendalikan pemerintahan transisi akan menjadi pusat pemilu. Sementara itu, provinsi yang masih berada di bawah kendali SDF atau AANES di timur laut, termasuk Hasakah dan Raqqa, serta provinsi Suwayda, tidak ikut serta karena faktor keamanan dan kontrol administratif. Pemerintah transisi menegaskan hanya wilayah yang bisa membentuk electoral colleges yang akan ikut.

Di sisi lain, wilayah timur laut Suriah yang dikelola SDF menjalankan sistem legislatif sendiri melalui Dewan Legislatif Demokratik. Pemilu di sana bersifat lokal dan berbasis komune, mirip dengan sistem electoral colleges tapi diatur internal AANES. Damaskus belum mengakui hasil legislatif mereka, sehingga integrasi penuh masih tergantung negosiasi politik.

Pemerintah transisi beralasan bahwa pemilihan tidak langsung menjadi solusi pragmatis untuk kondisi darurat. Data kependudukan yang belum lengkap, ribuan warga mengungsi, dan keamanan yang tidak merata membuat pemilu langsung menyeluruh sulit dilakukan. Dengan electoral colleges, pemerintah bisa tetap membentuk parlemen sementara.

Partai politik yang bisa ikut harus memenuhi syarat tertentu. Mereka harus resmi terdaftar dan diakui oleh pemerintah transisi. Calon anggota parlemen dari partai tersebut harus memiliki reputasi baik, tidak pernah terlibat kejahatan berat, dan tidak aktif di militer atau badan keamanan. Sistem ini juga membatasi eks-kroni rezim lama yang pernah menjabat setelah 2011, kecuali telah “mendefeksikan diri”.

Pemerintah juga menetapkan kuota tertentu untuk representasi perempuan dan kelompok minoritas. Tujuannya agar parlemen transisi bisa mencerminkan keberagaman masyarakat Suriah, meski keterwakilan ini masih terbatas. Upaya ini menjadi salah satu indikator reformasi politik dalam transisi negara.

Wilayah SDF dan Suwayda dipastikan tidak ikut pemilu. AANES menegaskan wilayah mereka tetap menjalankan mekanisme legislatif internal, sementara Suwayda menghadapi isu sektarian yang membuat pemilu tidak memungkinkan. Pemerintah transisi pun menyatakan bahwa integrasi wilayah-wilayah ini akan dipertimbangkan setelah stabilitas dan kesepakatan politik tercapai.

Pemilu ini juga menjadi ujian pertama bagi pemerintahan transisi dalam menegakkan hukum dan tata kelola administrasi. Subkomite lokal yang membentuk electoral colleges harus memastikan transparansi dan akuntabilitas agar pemilu mendapat legitimasi publik dan internasional.

Meski sistem tidak langsung menimbulkan kritik, pemerintah berargumen bahwa ini adalah solusi realistis. Dengan membatasi cakupan langsung pemilih, mereka berharap mengurangi risiko konflik dan mempermudah logistik penyelenggaraan pemilu di tengah kondisi pasca-konflik.

Rakyat Suriah menanggapi dengan beragam reaksi. Sebagian berharap pemilu ini menjadi awal stabilitas baru, sementara sebagian lain skeptis terhadap keterwakilan yang terbatas dan kemungkinan manipulasi politik. Diskusi publik pun muncul mengenai keabsahan pemilu tidak langsung dan dampaknya bagi demokratisasi Suriah.

Calon anggota parlemen dituntut memenuhi standar integritas tinggi. Selain usia minimal 25 tahun, mereka harus memiliki rekam jejak bersih dan tidak terlibat dalam aktivitas yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Pemerintah menekankan pentingnya menjaga moral dan legitimasi legislatif transisi.

Mekanisme electoral colleges juga menuntut warga untuk berpartisipasi aktif melalui perantara. Warga memilih perwakilan lokal yang kemudian memilih anggota parlemen. Sistem ini bertujuan memastikan keterlibatan publik tetap ada meski tidak langsung, sambil menjaga keamanan dan administrasi pemilu.

Sejumlah pengamat menilai pemilu ini sebagai kompromi antara idealisme demokrasi dan realitas pasca-konflik. Pemilihan langsung penuh sulit diterapkan karena infrastruktur administrasi yang rusak dan fragmentasi wilayah. Electoral colleges dianggap solusi sementara yang pragmatis.

Pemerintah transisi menekankan bahwa kursi yang ditunjuk langsung presiden hanya sebagian kecil. Dua pertiga kursi tetap dipilih melalui electoral colleges, sehingga ada keseimbangan antara kontrol pemerintah dan partisipasi rakyat.

Pemilu ini menjadi percobaan penting bagi pemerintahan transisi. Hasilnya akan menentukan legitimasi parlemen sementara dan arah kebijakan politik serta ekonomi selama periode transisi lima tahun yang telah ditetapkan Ahmed al-Sharaa.

Di luar itu, pemilu juga menjadi simbol perubahan struktur politik Suriah. Dari dominasi rezim Assad dan kroninya, kini Suriah mencoba membangun representasi yang lebih luas dengan melibatkan partai baru dan aktor lokal yang bertahan di masa konflik.

Meski belum sempurna, langkah ini menandai upaya pemerintah transisi untuk menghadirkan legislatif yang mampu mengawal stabilitas dan rekonstruksi. Integrasi wilayah yang belum ikut pemilu tetap menjadi pekerjaan rumah penting bagi masa depan politik Suriah.

Pemilu parlemen Suriah September 2025 menunjukkan tantangan besar dalam transisi politik. Dari mekanisme electoral colleges, syarat calon anggota parlemen, hingga keterbatasan wilayah yang ikut serta, semua menjadi refleksi kompleksitas membangun demokrasi pasca-konflik di tengah kerentanan negara.

newsonline

About newsonline

Terkenal dengan ragam kulinernya yang lezat, ibu kota Sumatera Utara ini juga merupakan kota terbesar yang berada di luar Pulau Jawa. Memiliki luas 265,1 kilometer persegi, letak Medan yang berada dekat dengan Selat Malaka menjadikannya sebagai kota perdagangan, bisnis, dan industri yang sangat penting di Indonesia.

Subscribe to this Blog via Email :
Perumahan Islami |   • Bisnis Bakrie |   • Bisnis Kalla |   • Rancang Ulang |   • Bisnis Khairul Tanjung |   • Chow Kit |   • Pengusaha |   • Ayo Buka Toko |   • Wisata |   • Medco |   • Fansur |   • Autopart |   • Rumpin |   • Berita Aja |   • SWPD |   • Polemik |   • Perkebunan |   • Trumon |   • Legenda Putri Hijau |   • Ambalat conflictTerumbu Karang |   • Budidaya Ikan Hias Air Tawar |   • Budidaya Sawit |   • FlyDubai |   • PT Skunk Engineering Jakarta |   • Sejarah |   • They Rape Aour Grandma |   • Museum Sumut |   • Sorkam |   • Study |   • Indonesian University |   • Scholarship in Indonesia |   • Arabian InvestorsD-8 |   • BRIC-MIT |   • Negeriads-ku |   • Panen Iklan |   • PPC Indo |   • Adsensecamp |   • PPCMuslim |   • Iklan-ku |   • Iklan Buku |   • Internet Desa |   • Lowongan Kerja |   • Cari Uang Online |   • Pengusaha Indonesia |   • Indonesia Defense |   • Directory Bisnis |   • Inpire |   • Biofuel |   • Innovation |  
loading...