Selasa, 01 Juli 2025

    newsonline

    Kabul Desak Tehran Permudah Pengembalian Aset Pengungsi Afghanistan


    Pemerintah Kabul menegaskan bahwa mereka tengah melakukan pembicaraan serius dengan otoritas Iran mengenai pengembalian dana milik para pengungsi Afghanistan yang telah tinggal bertahun-tahun di Iran. Wakil Perdana Menteri Imarah Islam Afghanistan, Maulawi Abdul Salam Hanafi, menyatakan bahwa pembahasan ini meliputi hak-hak ekonomi para pengungsi, termasuk dana pribadi, tabungan, serta berbagai aset yang dimiliki selama tinggal di Iran. Pernyataan ini disampaikan di tengah meningkatnya arus kepulangan pengungsi ke Afghanistan dalam beberapa bulan terakhir.

    Isu pengembalian dana pengungsi menjadi salah satu titik krusial dalam hubungan bilateral Afghanistan dan Iran, mengingat ratusan ribu warga Afghanistan telah hidup, bekerja, dan membangun kehidupan di Iran selama puluhan tahun, baik secara legal maupun tidak. Banyak dari mereka memiliki simpanan di lembaga keuangan, menerima gaji dari pekerjaan informal, atau bahkan memiliki aset usaha kecil dan properti. Namun, status hukum yang tidak pasti kerap membuat mereka kesulitan mengakses atau membawa pulang kekayaan mereka saat kembali ke tanah air.

    Hingga kini, konektivitas sistem keuangan antara Iran dan Afghanistan masih terbatas. Meski kedua negara secara geografis berdekatan dan memiliki hubungan ekonomi historis, sistem perbankan mereka tidak sepenuhnya terintegrasi, terlebih sejak perubahan kekuasaan di Kabul pada Agustus 2021. Pemerintah Iran tetap menjalin hubungan pragmatis dengan pemerintahan Kabul saat ini, namun sanksi internasional terhadap Iran serta ketidakjelasan status pemerintahan Afghanistan di forum internasional menjadi hambatan utama.

    Ketiadaan sistem perbankan yang terkoneksi menyebabkan pengungsi kerap membawa uang secara fisik ketika kembali ke Afghanistan, yang meningkatkan risiko pencurian, pemerasan, atau kehilangan. Di sisi lain, pengiriman uang secara elektronik antarbank belum bisa berjalan mulus karena Afghanistan belum kembali terhubung dengan sistem pembayaran global seperti SWIFT, dan infrastruktur finansialnya masih dalam tahap pemulihan. Iran sendiri menghadapi kendala serupa akibat sanksi Barat atas program nuklirnya.

    Meski demikian, kedua negara mulai menunjukkan itikad memperbaiki saluran komunikasi keuangan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bank-bank lokal di perbatasan, terutama di wilayah Herat dan Nimroz di Afghanistan, serta di provinsi Sistan-Baluchestan di Iran, mulai mencari skema lokal untuk memfasilitasi transaksi lintas batas secara terbatas. Pembahasan lebih lanjut soal kerja sama antarbank di bawah otoritas lokal menjadi bagian dari upaya Kabul agar pengungsi bisa menarik kembali dana mereka secara sah dan aman.

    Menurut sejumlah pejabat di Kabul, pembahasan dengan Iran tak hanya soal uang yang masih tersimpan di rekening, tetapi juga mencakup gaji tertunda, pembayaran proyek, dan kompensasi atas kerugian usaha pengungsi yang terpaksa ditinggalkan saat eksodus terjadi. Banyak pengungsi Afghanistan, khususnya yang sudah tinggal sejak era 1980-an, telah mendirikan usaha seperti toko kelontong, restoran, atau berdagang di pasar tradisional di kota-kota Iran. Namun, sebagian besar usaha ini tidak didaftarkan secara resmi karena keterbatasan status hukum.

    Pihak Kabul juga menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah ini. Mereka meminta agar Iran memberikan kelonggaran dalam pencairan dana, tidak semata-mata berdasarkan dokumen formal yang sulit dimiliki oleh pengungsi. Di sisi lain, pemerintah Iran juga memiliki kekhawatiran terkait kemungkinan pencucian uang atau penyalahgunaan dana jika tidak diatur dengan ketat. Oleh karena itu, diskusi teknis antara otoritas keuangan kedua negara menjadi sangat krusial untuk menjembatani kepentingan ini.

    Di tengah keterbatasan kerja sama antarbank, muncul alternatif jalur informal seperti sistem hawala, yang selama ini memang menjadi sarana utama transfer dana di Asia Selatan dan Timur Tengah. Namun, Kabul menyatakan bahwa mereka ingin menghindari ketergantungan pada sistem ini karena rawan manipulasi, sulit ditelusuri, dan tidak memberi perlindungan hukum kepada pengirim maupun penerima. Kabul berupaya mendorong pembentukan mekanisme formal meski dengan keterbatasan teknologi dan pengakuan internasional.

    Jika pembicaraan ini berhasil, maka ini akan menjadi tonggak baru dalam hubungan ekonomi Iran-Afghanistan. Selain memberi kepastian kepada pengungsi, pengembalian dana ini juga bisa menghidupkan kembali roda ekonomi lokal di Afghanistan yang masih terpukul akibat pembekuan aset luar negeri dan terhentinya sebagian besar bantuan internasional. Kabul berharap, dana yang dibawa pulang oleh pengungsi bisa digunakan untuk membangun usaha kecil, membeli lahan pertanian, atau menyekolahkan anak-anak mereka.

    Bagi Iran sendiri, penyelesaian isu ini dapat memperkuat posisinya sebagai mitra regional yang bertanggung jawab, sekaligus memperingan beban sosial akibat penampungan pengungsi yang telah berlangsung puluhan tahun. Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah pengungsi Afghanistan terbesar, dan tantangan ekonomi domestik membuat tekanan publik terhadap kehadiran pengungsi semakin tinggi. Mendorong repatriasi sukarela dan terhormat menjadi solusi jangka panjang yang kini mulai dibicarakan secara konkret.

    Dukungan internasional dalam bentuk teknis dan diplomatik dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan proses ini. Lembaga seperti UNHCR dan IOM bisa memainkan peran sebagai mediator atau fasilitator untuk membantu verifikasi data pengungsi dan penyusunan mekanisme pembayaran lintas batas. Selain itu, negara-negara seperti Qatar dan Turki, yang memiliki hubungan baik dengan kedua pihak, bisa menjadi sponsor politik atau teknis dalam mewujudkan sistem keuangan bilateral yang aman.

    Jika skema ini terbentuk, maka kemungkinan Afghanistan dan Iran bisa mengembangkan sistem settlement regional berbasis mata uang lokal atau dinar digital. Beberapa ekonom menyebutkan bahwa peluang untuk menciptakan sistem pembiayaan Islam antar negara tetangga dapat dimulai dari kasus ini. Kabul sendiri sebelumnya pernah menyatakan niat untuk membangun sistem keuangan syariah yang independen dari pengaruh Barat, dan Iran memiliki infrastruktur perbankan syariah yang lebih matang.

    Namun, semua ini masih berada pada tahap negosiasi awal. Sejauh ini, belum ada rincian resmi mengenai skema teknis atau batas waktu yang disepakati. Akan tetapi, pernyataan terbuka dari pejabat tinggi Kabul menunjukkan bahwa isu ini mulai menjadi prioritas. Di tengah tekanan ekonomi yang dihadapi warga Afghanistan, setiap dana yang bisa dipulangkan dari luar negeri akan sangat berarti dalam menstabilkan situasi sosial dan mendukung proses reintegrasi warga yang pulang.

    Penting juga dicatat bahwa repatriasi pengungsi Afghanistan dari Iran tidak hanya persoalan ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan dan hak asasi. Para pengungsi yang selama ini hidup dalam keterbatasan dan diskriminasi berharap kepulangan mereka tidak hanya membawa trauma, tetapi juga membawa harapan. Dana yang berhasil mereka kumpulkan selama bekerja di Iran adalah hasil jerih payah bertahun-tahun, dan menjadi bagian penting dalam membangun masa depan yang lebih baik di tanah kelahiran.

    Pemerintah Kabul juga berharap bahwa penyelesaian isu dana pengungsi ini dapat membuka jalan kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan Iran. Mulai dari perdagangan lintas batas, pembangunan jalur transportasi, hingga kolaborasi sektor energi. Kedua negara memiliki sejarah hubungan panjang dan potensi ekonomi yang besar jika mampu menempatkan isu-isu kemanusiaan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.

    Situasi ini sekaligus menjadi ujian bagi Kabul dalam menunjukkan kapasitasnya sebagai otoritas yang mampu melindungi warganya, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika mereka berhasil membawa pulang hak-hak ekonomi pengungsi dengan selamat dan adil, maka kepercayaan publik terhadap pemerintahan Kabul juga akan meningkat. Di sisi lain, Iran pun bisa menunjukkan bahwa di tengah tekanan internasional, ia tetap mampu menjalin hubungan yang bertanggung jawab dengan tetangganya.

    Dengan semua dinamika ini, pembicaraan antara Kabul dan Iran mengenai pengembalian dana pengungsi menjadi lebih dari sekadar isu keuangan. Ia menjadi simbol kerja sama regional di tengah keterbatasan global. Dunia akan menanti, apakah diplomasi ekonomi ini akan membuahkan hasil konkret atau sekadar janji di tengah kabut geopolitik yang tak kunjung sirna.

    Minggu, 29 Juni 2025

    newsonline

    Menuju Kemandirian Ekonomi Rohingya



    Pulau Bhasan Char dan kawasan Cox’s Bazar yang selama ini dikenal sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Rohingya dari Myanmar, kini memasuki babak baru dalam sejarah kemanusiaan dan pembangunan kawasan. Dengan dukungan dari Asian Development Bank (ADB), dua kawasan tersebut sebenarnya dapat dirancang untuk bertransformasi menjadi komunitas mandiri yang tidak hanya tangguh dari sisi infrastruktur dasar, tetapi juga unggul dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) serta Internet of Things (IoT).

    Langkah besar ini, ditandai dengan persetujuan bantuan hibah senilai US$58,6 juta dari Dana Pembangunan Asia (ADF) dan pinjaman lunak sebesar US$28,1 juta. Bantuan ini bertujuan untuk memperkuat layanan dasar dan membangun kapasitas masyarakat pengungsi serta komunitas lokal yang menjadi tuan rumah. Lebih dari sekadar pembangunan fisik, proyek ini juga merancang masa depan digital yang inklusif dan berbasis teknologi tinggi.

    ADB menyatakan bahwa proyek ini akan memberikan layanan terintegrasi dan peningkatan mata pencaharian bagi para pengungsi dan masyarakat lokal, melalui penyediaan air bersih, sanitasi, drainase, keamanan, serta pembangunan jalan dan jembatan. Namun yang paling menjanjikan adalah komitmen untuk membuka akses digital dan konektivitas di wilayah terpencil ini, menjadikannya kawasan percontohan integrasi teknologi dengan pengungsi.

    Di Bhasan Char dan Cox’s Bazar, infrastruktur digital akan menjadi salah satu prioritas jangka menengah. Rencana pembangunan pusat pelatihan teknologi, jaringan internet berbasis satelit, serta integrasi aplikasi IoT untuk manajemen air, energi terbarukan, dan keamanan komunitas, menunjukkan bahwa pengungsi tidak lagi dipandang sebagai beban, tetapi sebagai potensi sumber daya manusia masa depan.

    Kawasan ini akan menjadi ladang eksperimen sosial sekaligus inkubator teknologi. Anak-anak dan remaja dari kalangan pengungsi akan mendapatkan pelatihan di bidang coding, penggunaan perangkat pintar, dan pengelolaan data untuk pengembangan komunitas mereka sendiri. Dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang, Bhasan Char berpeluang menjadi contoh komunitas digital berbasis solidaritas.

    Salah satu komponen penting proyek ini adalah rehabilitasi sistem drainase dengan pendekatan berbasis alam serta instalasi lampu jalan tenaga surya. Di samping manfaat ekologis dan efisiensi energi, sistem ini akan dipadukan dengan sensor-sensor IoT untuk mendeteksi genangan, cuaca ekstrem, serta pergerakan penduduk pada malam hari, menciptakan ekosistem teknologi yang adaptif.

    Kebutuhan pangan, air bersih, dan energi akan dikelola melalui sistem berbasis data. Produksi biogas di Bhasan Char akan ditingkatkan dengan sistem otomatisasi, sehingga dapur umum pengungsi dapat beroperasi secara efisien dan berkelanjutan. Di saat yang sama, pusat distribusi pangan yang dibangun akan menggunakan pemindai biometrik dan sistem digital untuk menghindari ketimpangan distribusi.
    Untuk menjamin keberlanjutan, pelatihan-pelatihan teknis akan digelar di dalam komunitas, menggandeng mitra teknologi dari dalam dan luar negeri. Para pemuda dari kalangan pengungsi akan dilibatkan langsung dalam pengelolaan sistem ICT dan IoT. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan penjaga sistem yang menopang kehidupan komunitas mereka.

    Di Cox’s Bazar, pembangunan pabrik pengolahan air permukaan dan pipanisasi menuju wilayah Teknaf menjadi tonggak lain dalam proyek transformasi ini. Sistem pengolahan air tersebut dirancang untuk dikelola dengan kendali otomatis dan sistem deteksi kualitas air berbasis IoT, menjamin efisiensi dan keamanan pasokan air untuk ribuan jiwa.

    Pendidikan juga akan mendapat porsi besar dalam pengembangan komunitas digital ini. Sekolah-sekolah darurat yang berfungsi ganda sebagai tempat pengungsian akan dilengkapi dengan fasilitas komputer, akses internet, dan modul pembelajaran digital dalam berbagai bahasa. Hal ini diharapkan mempercepat proses integrasi ilmu dan teknologi dalam kehidupan anak-anak pengungsi.

    Langkah inovatif ini tidak terlepas dari semangat ADB untuk menjadikan pembangunan sebagai proses yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Sejak 2018, ADB telah menyalurkan bantuan lebih dari US$171 juta untuk mendukung pengungsi Rohingya dan komunitas lokal, namun proyek terbaru ini menandai transisi dari bantuan darurat menuju pembangunan jangka panjang berbasis teknologi.

    Pemerintah Bangladesh juga menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung pendekatan baru ini. Dengan memperkuat kapasitas institusi lokal, proyek ini juga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola proyek berteknologi tinggi dan menjamin pemeliharaan sistem digital yang dibangun.

    Meski lebih dari satu juta pengungsi Rohingya masih berada dalam situasi tidak pasti, langkah menuju digitalisasi komunitas ini memberikan harapan baru. Di tengah keterbatasan, hadir peluang besar bagi anak-anak Rohingya untuk melangkah sejajar dalam dunia teknologi global.

    Selain memperkuat kohesi sosial antara pengungsi dan masyarakat lokal, transformasi digital ini juga membuka kemungkinan kerja sama lintas batas dalam bidang teknologi kemanusiaan. Bhasan Char dan Cox’s Bazar berpotensi menjadi lokasi studi dan replikasi di negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa.

    Dengan memanfaatkan energi terbarukan, sistem pintar, dan pelibatan komunitas, proyek ini menjawab tantangan abad ke-21 dengan solusi berkelanjutan. Bukan tidak mungkin dalam beberapa dekade mendatang, lulusan komunitas digital Rohingya akan menjadi inovator global di bidang teknologi kemanusiaan.

    Dunia kini menatap Bhasan Char dan Cox’s Bazar bukan sekadar sebagai lokasi kamp pengungsi, tetapi sebagai titik awal munculnya komunitas tangguh, adaptif, dan maju secara teknologi. Proyek ini bisa menjadi bukti bahwa masa depan yang cerah dapat dimulai dari tempat yang selama ini dipandang sebagai simbol penderitaan.

    Jika sukses, proyek ini akan menjadi preseden penting bagi bagaimana pengungsi bisa menjadi agen perubahan. ADB dan Bangladesh sedang menulis ulang narasi pengungsi—dari korban konflik menjadi pelopor teknologi. Sebuah perjalanan panjang baru saja dimulai di tengah Laut Bengal.

    Sabtu, 28 Juni 2025

    newsonline

    MoU Jet Tempur KAAN Dorong Lompatan Teknologi RI

     

    Penandatanganan nota kesepahaman antara Indonesia dan Turki untuk pengembangan jet tempur generasi kelima KAAN menjadi langkah strategis yang menjanjikan arah baru bagi kemandirian teknologi pertahanan nasional. Disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam acara Indo Defence 2025 di Jakarta, kerja sama ini menjadi bukti bahwa Indonesia serius menempatkan diri sebagai pemain aktif dalam industri dirgantara global. Proyek ini akan membuka pintu alih teknologi canggih dari Turki yang sebelumnya telah berhasil meluncurkan purwarupa KAAN pada 2023.

    Kerja sama ini memiliki nilai strategis lebih dari sekadar pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Indonesia memiliki peluang untuk mempercepat pengembangan kapasitas teknis dalam bidang avionik, stealth design, kontrol penerbangan, hingga radar generasi terbaru. Melalui KAAN, Indonesia akan memperoleh akses ke laboratorium, peralatan dan perangkat lunak mutakhir yang sebelumnya hanya dimiliki negara-negara elite militer dunia.

    Dalam dua dekade terakhir, Indonesia sudah menapaki jalur kerja sama teknologi pertahanan, termasuk dengan Korea Selatan dalam proyek jet tempur KF-21 Boramae. Kolaborasi itu menumbuhkan kepercayaan diri industri dalam negeri, khususnya PT Dirgantara Indonesia. Kini, dengan masuknya Turki dalam lingkaran kerja sama, Indonesia berpotensi memperkaya pengalaman serta memperluas jejaring diplomasi industri pertahanan.

    Indonesia juga sempat mengandalkan kerja sama dengan Prancis melalui pembelian pesawat tempur Rafale. Walau bernilai taktis, pembelian tersebut lebih bersifat konsumtif. Kontras dengan itu, kerja sama dengan Turki pada proyek KAAN bersifat produktif dan transformatif karena memungkinkan partisipasi aktif dan pengembangan teknologi secara simultan.

    MoU ini juga menjadi titik balik dalam peta kebijakan pertahanan Indonesia yang sebelumnya lebih banyak berorientasi pada pembelian jadi. Kini Indonesia mulai berani melibatkan diri sejak tahap desain dan integrasi sistem senjata, membuka jalan bagi talenta lokal untuk berkembang. Dengan kehadiran lembaga-lembaga pendidikan teknik seperti ITB dan STT Adisutjipto, ekosistem teknologi pertahanan nasional siap menyambut transformasi besar ini.

    Langkah ini tak hanya berdampak pada sektor pertahanan, tetapi juga berimbas ke industri sipil. Teknologi turbofan, sistem kendali digital, dan material komposit yang dikembangkan dalam proyek jet tempur bisa ditransfer ke industri transportasi dan manufaktur nasional, menciptakan efek domino positif bagi ekonomi.

    Bagi Indonesia, keikutsertaan dalam proyek jet tempur KAAN adalah juga bentuk pernyataan bahwa bangsa ini tak ingin selamanya menjadi konsumen teknologi asing. Proyek ini menjadi peluang langka untuk menciptakan transfer ilmu dan teknologi dari mitra strategis yang tidak segan berbagi, sebagaimana ditunjukkan oleh Turki yang kini menjelma menjadi kekuatan baru industri pertahanan dunia.

    Bersama Turki, Indonesia juga akan memperkuat posisi tawar dalam kerjasama multilateral bidang pertahanan. Dengan keterlibatan dalam program KAAN, Indonesia bisa membangun model kerja sama regional di ASEAN yang berbasis pada produksi bersama, bukan sekadar perdagangan senjata.

    Pemerintah pun diharapkan membangun infrastruktur penunjang, termasuk laboratorium uji material, jalur produksi modular, serta sistem pelatihan terpadu bagi tenaga ahli dan teknisi muda. Dengan arah kebijakan yang jelas, Indonesia dapat mengembangkan BUMN pertahanan menjadi ujung tombak kemandirian teknologi nasional.

    Presiden Prabowo, yang hadir langsung dalam penandatanganan ini, tampaknya hendak mengirimkan sinyal kuat bahwa era baru industri pertahanan nasional telah dimulai. Di tangan pemerintahan barunya, kerja sama ini diharapkan bukan hanya menjadi MoU simbolik, melainkan proyek strategis jangka panjang yang konkret dan terukur.

    Turki sendiri dikenal sebagai mitra strategis yang andal dan adaptif. Mereka berhasil mengembangkan UAV Bayraktar, rudal udara-ke-udara, serta berbagai sistem elektronik pertahanan lainnya dalam waktu relatif singkat. Dengan pengalaman ini, Turki menjadi mitra ideal bagi Indonesia dalam menempuh jalur akselerasi teknologi militer.

    Di masa depan, keterlibatan Indonesia dalam pengembangan KAAN juga dapat membuka peluang ekspor pesawat versi produksi bersama ke negara-negara non-blok atau mitra Asia-Afrika yang ingin alternatif dari produk Barat dan Rusia. Dengan demikian, kerja sama ini tidak hanya menciptakan ketahanan nasional, tetapi juga potensi keuntungan ekonomi.

    Dari sisi anggaran, pemerintah Indonesia harus menyiapkan skema pembiayaan berkelanjutan. Namun, keuntungan jangka panjang berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia dan substitusi impor alutsista akan mengimbangi investasi awal yang besar tersebut.

    Partisipasi dalam proyek KAAN juga akan mendorong lahirnya generasi baru insinyur dan teknokrat Indonesia yang mumpuni dalam teknologi penerbangan tempur. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengangkat citra Indonesia sebagai negara dengan basis teknologi pertahanan yang kompetitif di kawasan Asia-Pasifik.

    Kerja sama ini juga akan mendorong pembentukan pusat riset dan inkubator teknologi militer di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini dapat memicu pertumbuhan kawasan industri baru yang berorientasi pada teknologi tinggi dan daya saing global.

    Dengan ekosistem industri dan dukungan kebijakan yang kuat, Indonesia dapat menjadikan KAAN bukan hanya sebagai proyek bersama, tetapi sebagai simbol kebangkitan dan harga diri nasional di bidang teknologi. Inilah momentum emas untuk keluar dari ketergantungan dan membangun masa depan pertahanan Indonesia yang mandiri dan berkelas dunia.

    Melalui kolaborasi ini, Indonesia menegaskan bahwa jalur kemajuan bukan sekadar dengan membeli, melainkan menciptakan dan memiliki. KAAN adalah batu loncatan menuju lompatan besar kemandirian teknologi bangsa.

    Sebagaimana disampaikan dalam siaran pers Kementerian Pertahanan, nota kesepahaman ini tidak hanya mencerminkan semangat kerja sama bilateral, tetapi juga menjadi cermin dari visi Indonesia untuk membangun kekuatan udara masa depan yang tidak lagi ditentukan oleh negara lain.

    Dengan tekad, kerja sama, dan investasi yang konsisten, Indonesia bukan tidak mungkin akan menjadi salah satu negara yang memiliki jet tempur buatan sendiri dalam dua dekade mendatang. KAAN hanyalah awal dari perjalanan panjang menuju langit teknologi pertahanan.

    newsonline

    Warga Suriah Pulang, Ekonomi Diharap Pulih

    Ribuan warga Suriah tampak mengantre di sepanjang pos perbatasan Bab al-Hawa yang memisahkan wilayah Turkiye dan Suriah. Suasana padat terlihat sejak pagi hari, ketika warga Suriah yang selama ini bermukim di Turkiye berbondong-bondong hendak kembali ke tanah air mereka. Meski harus bersabar dalam antrean panjang dan menghadapi pemeriksaan administratif yang ketat, semangat para pengantre tidak surut. Bagi mereka, kepulangan ini bukan sekadar rindu kampung halaman, melainkan juga penanda munculnya harapan baru atas kondisi Suriah yang perlahan menunjukkan perbaikan.

    Gelombang kepulangan ini banyak yang bersifat sukarela. Warga yang sebelumnya menjadi pengungsi kini merasa ada peluang untuk memulai kembali kehidupan mereka di negeri asal. Kabar mengenai menurunnya tekanan ekonomi, berkurangnya pungutan liar, dan pengurangan pajak di beberapa wilayah, menjadi angin segar yang mendorong mereka untuk pulang. Meski tantangan masih ada, banyak yang yakin bahwa Suriah hari ini tidak sama dengan Suriah lima tahun lalu.

    Antrean di Bab al-Hawa juga menjadi cermin dinamika hubungan Turkiye dan Suriah yang terus berubah. Pemerintah Turkiye, yang selama bertahun-tahun menampung jutaan pengungsi, mulai mendorong repatriasi sukarela. Kebijakan ini pun bertemu dengan niat warga Suriah sendiri yang mulai melihat adanya prospek ekonomi yang lebih baik di kampung halaman. Sementara itu, otoritas Suriah mulai mengambil langkah-langkah konkrit untuk menunjukkan keseriusan dalam membangun kembali negeri yang telah hancur oleh konflik lebih dari satu dekade.

    Beberapa reformasi kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah Suriah termasuk menghapus sejumlah pungutan pajak yang selama ini memberatkan warga. Kutipan liar dari aparat yang sebelumnya menjadi momok bagi pelaku usaha juga mulai ditekan. Di beberapa kota, pemerintah daerah mengumumkan insentif fiskal bagi warga yang membuka kembali toko, bengkel, atau layanan jasa lokal. Upaya ini memberikan sinyal bahwa negara ingin menciptakan iklim ekonomi yang lebih ramah bagi warganya.

    Selain perbaikan iklim usaha, pemerintah Suriah juga mulai mengaktifkan kembali sejumlah BUMN yang sebelumnya mati suri akibat perang. Pabrik-pabrik tekstil, pengolahan makanan, serta industri logam ringan yang sempat ditinggalkan kini mulai bergeliat. Karyawan lama dipanggil kembali, sementara tenaga kerja muda yang baru lulus juga diberi peluang untuk direkrut. Hal ini berdampak pada meningkatnya rasa percaya masyarakat terhadap pemulihan ekonomi.

    Langkah yang tak kalah strategis adalah pengaktifan kembali bursa saham nasional. Dalam beberapa bulan terakhir, volume perdagangan mulai tumbuh meski belum stabil. Investor lokal mulai kembali bermain di pasar modal, sementara diaspora Suriah di luar negeri perlahan menunjukkan minat untuk menanamkan kembali modal di sektor riil. Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin bursa saham akan menjadi pilar penting dalam pembiayaan pembangunan pascakonflik.

    Selain aspek ekonomi konvensional, Suriah juga menunjukkan tekad untuk kembali bangkit di bidang teknologi dan inovasi. Salah satu lembaga yang kembali diaktifkan adalah badan antariksa nasional. Meski terdengar ambisius, kebijakan ini dinilai sebagai simbol semangat kebangkitan Suriah. Badan ini difungsikan tidak hanya untuk riset luar angkasa, tetapi juga sebagai pusat teknologi rekayasa, penginderaan jauh, dan pelatihan sains bagi generasi muda.

    Kembalinya aktivitas-aktivitas produktif itu menumbuhkan rasa optimisme di kalangan warga yang selama ini dilanda keputusasaan. Banyak yang mengaku bahwa dahulu mereka meninggalkan Suriah karena tidak melihat masa depan. Tapi kini, dengan adanya ruang kerja, penurunan tekanan militer, dan peluang membuka usaha kembali, mereka merasa memiliki alasan untuk membangun kembali kehidupan di negeri sendiri.

    Meski perjalanan masih panjang, pulangnya warga Suriah secara sukarela membawa pesan kuat kepada dunia. Pesan bahwa bangsa yang porak-poranda pun bisa bangkit bila diberi ruang untuk pulih. Hal ini juga menjadi refleksi penting bagi para pemangku kebijakan internasional bahwa solusi jangka panjang tidak selalu bergantung pada intervensi asing, tetapi juga pada dorongan dari rakyat itu sendiri.

    Warga yang pulang pun tidak datang dengan tangan kosong. Sebagian membawa keahlian, pengalaman kerja, dan jejaring usaha yang mereka bangun selama hidup di Turkiye. Hal ini bisa memperkaya ekosistem ekonomi lokal dan mendorong transfer praktik bisnis modern ke pasar-pasar lokal di Suriah. Di sisi lain, mereka juga membawa harapan baru yang bisa menjadi energi sosial dalam proses rekonstruksi nasional.

    Pemerintah Suriah menyambut kepulangan ini dengan berbagai bentuk fasilitasi. Di sejumlah titik masuk, dibuka pos pendaftaran khusus untuk mempermudah administrasi. Warga diberi informasi mengenai wilayah tujuan yang aman, prosedur bantuan awal, hingga akses ke layanan publik seperti sekolah dan rumah sakit. Walau masih terbatas, langkah ini menunjukkan kesungguhan negara dalam mengelola proses reintegrasi sosial.

    Pengamat menilai bahwa kepulangan warga ini bisa menjadi indikator penting tentang perubahan suasana politik dan ekonomi di dalam negeri. Bila gelombang ini terus berlanjut, maka secara alamiah akan memulihkan basis demografis yang selama ini kosong akibat eksodus massal. Wilayah yang dahulu sepi kini perlahan kembali terisi, roda ekonomi kembali berputar, dan kehidupan sosial pun perlahan pulih.

    Tentu tidak semua wilayah Suriah aman atau siap menerima arus balik ini. Namun fokus pada wilayah-wilayah yang relatif stabil menjadi pendekatan yang rasional untuk memulai fase rekonstruksi. Beberapa zona ekonomi khusus juga direncanakan sebagai pusat pertumbuhan baru yang mampu menampung tenaga kerja dan menarik investasi domestik maupun diaspora.

    Meski demikian, tantangan masih membayangi. Masalah infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, dan kesehatan masih memerlukan perhatian besar. Belum lagi ancaman sanksi internasional yang membuat pemulihan ekonomi berlangsung lebih lambat. Namun demikian, narasi positif yang muncul dari arus kepulangan ini memberi harapan bahwa luka Suriah suatu hari nanti bisa disembuhkan.

    Yang paling penting, munculnya keinginan pulang dari rakyat sendiri adalah bukti bahwa rasa memiliki terhadap tanah air belum sirna. Setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri, mereka tetap menyebut Suriah sebagai rumah. Kepulangan ini bukan hanya gerak tubuh, tapi juga ekspresi psikologis bahwa harapan belum mati.

    Antrian panjang di perbatasan bukan sekadar fenomena logistik, melainkan simbol perubahan iklim nasional. Ia menunjukkan bahwa di balik reruntuhan, selalu ada tangan-tangan yang ingin membangun kembali. Jika didukung dengan kebijakan yang tepat, keberanian rakyat untuk pulang bisa menjadi awal dari kebangkitan sebuah negara.

    Kisah Suriah belum usai. Namun dengan langkah-langkah seperti ini, babak baru mulai terbuka. Rakyat yang pulang bukan sekadar ingin hidup, tapi ingin hidup bermartabat di tanah sendiri. Dan itu, pada akhirnya, adalah pilar utama dalam membangun masa depan yang lebih baik.

    Admin2

    Genosida dan Pembantaian Palestina oleh Israel di Gaza Bermula Tahun 48


    Sejarah panjang penderitaan rakyat Gaza bukanlah dimulai saat roket pertama ditembakkan atau blokade diberlakukan, melainkan jauh sebelumnya—sejak tahun 1948, ketika ribuan keluarga Palestina diusir dari tanah kelahiran mereka dalam gelombang eksodus massal yang oleh bangsa Palestina disebut sebagai Nakba, atau malapetaka. Kota-kota seperti Al-Majdal Asqalan, yang kini dikenal sebagai Ashkelon di selatan Israel, menjadi saksi awal dari pengusiran sistematis terhadap penduduk Arab Palestina oleh pasukan Israel yang baru terbentuk. Warga Al-Majdal kala itu, setelah menyerah pada pasukan Zionis, tidak langsung dibunuh atau dibiarkan bebas. Mereka terlebih dahulu dikurung dalam kamp-kamp berduri yang dijaga ketat sebelum akhirnya digiring menuju selatan dan dibuang ke wilayah sempit bernama Jalur Gaza.


    Kamp-kamp ini bukan fasilitas pengungsian yang layak, melainkan zona konsentrasi sementara sebelum para pengungsi dilempar keluar dari batas negara baru yang dideklarasikan. Pemerintah Israel tidak pernah memberikan hak kembali kepada mereka yang terusir, dan justru menetapkan hukum yang menjadikan mereka sebagai orang asing di tanah sendiri. Para pengungsi yang berasal dari kota-kota seperti Jaffa, Beersheba, Lydda, Ramla, dan tentu saja Majdal, mendapati diri mereka hidup dalam tenda-tenda darurat di tanah asing, yang tak lama kemudian menjadi penjara terbesar di dunia: Gaza.


    Pasca pembantaian dan pengusiran, populasi Gaza membengkak drastis. Jika sebelum 1948 Gaza dihuni oleh sekitar 80 ribu orang, dalam waktu singkat jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 200 ribu, lalu terus berkembang hingga dua juta jiwa lebih hari ini. Sekitar 70 hingga 80 persen penduduk Gaza adalah pengungsi atau keturunan pengungsi dari wilayah yang kini menjadi Israel. Mereka tumbuh besar dengan narasi pengusiran yang diwariskan dari generasi ke generasi, hidup di kamp-kamp pengungsi permanen seperti Jabalia, Shati, dan Khan Younis yang sampai hari ini tetap berdiri dalam kemiskinan dan keterbatasan akses.


    Keberadaan kamp-kamp ini bukan semata-mata soal fisik, melainkan juga psikis. Rasa kehilangan, ketidakadilan, dan penolakan terhadap pelupaan membentuk karakter kolektif rakyat Gaza. Mereka bukan hanya miskin karena embargo atau perang, tapi juga karena identitas mereka sebagai warga tak bertanah air ditegaskan setiap hari melalui realitas kamp yang sempit dan kumuh. Gaza menjadi semacam arsitektur penderitaan yang dipertahankan oleh sistem politik dan militer, bukan karena ketidakmampuan dunia menyelesaikannya, tapi karena keengganan untuk mengakui akar masalahnya.


    Sementara itu, di Tepi Barat, kisah pengusiran dan kolonisasi berlangsung dalam pola yang berbeda. Banyak warga Palestina di wilayah ini juga merupakan pengungsi, namun sebagian adalah penduduk asli yang berhasil bertahan di desa-desa mereka saat perang 1948. Namun setelah pendudukan Israel atas Tepi Barat pada 1967, banyak desa mengalami penyitaan tanah, pembangunan permukiman ilegal Israel, dan pembatasan gerak warga Palestina melalui pos pemeriksaan dan tembok pemisah. Kamp-kamp pengungsi seperti Balata, Jenin, dan Dheisheh didirikan oleh UNRWA sebagai tempat penampungan sementara, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi pemukiman permanen yang tetap dihuni oleh generasi baru pengungsi yang tak kunjung pulang.


    Di sisi lain, terdapat pula kelompok yang dikenal sebagai “Palestina 48”, yakni warga Palestina yang tidak diusir pada 1948 dan tetap tinggal di wilayah yang kini menjadi negara Israel. Mereka adalah minoritas yang memperoleh kewarganegaraan Israel, namun tetap hidup sebagai warga kelas dua, menghadapi diskriminasi sistemik dalam hak atas tanah, pekerjaan, pendidikan, dan partisipasi politik. Mereka tidak diizinkan memperingati Nakba secara terbuka di sekolah atau media publik, menciptakan lapisan tambahan dari trauma yang tersembunyi namun tak pernah padam.


    Ketiga kelompok ini—pengungsi Gaza, warga Tepi Barat, dan Palestina 48—sama-sama mengalami bentuk perampasan yang berbeda, namun bersumber dari akar sejarah yang sama: penciptaan Israel sebagai negara eksklusif Yahudi di atas tanah yang sebelumnya dihuni mayoritas Arab Palestina. Di Gaza, trauma ini terkonsentrasi dalam ruang yang paling sempit dan paling brutal. Blokade Israel sejak 2007 membuat wilayah ini menjadi semacam laboratorium penderitaan. Listrik dibatasi, air bersih langka, bantuan kemanusiaan diawasi, dan mobilitas hampir mustahil. Generasi muda Gaza tumbuh dalam lingkungan yang tidak mengenal normalitas hidup: tanpa sekolah yang stabil, tanpa masa depan yang pasti, dan tanpa kenangan yang indah akan rumah yang hilang.


    Inilah yang dimaksud Max Blumenthal ketika mengatakan bahwa Gaza bukan hanya sekadar wilayah miskin yang tertimpa malapetaka, tetapi merupakan hasil dari rekayasa demografis dan politik. Ia menegaskan bahwa Israel dengan sadar mendorong para pengungsi ke Gaza, lalu mengurung mereka di sana, dan kini memperlakukan mereka sebagai ancaman eksistensial. Gaza bukan hanya masalah kemanusiaan, tetapi luka geopolitik yang disengaja.


    Psikologi kolektif rakyat Gaza terbentuk dari ketercerabutan, ketertindasan, dan keteguhan untuk tidak melupakan. Mereka bukan korban bencana alam yang menunggu belas kasih, melainkan komunitas dengan sejarah panjang perjuangan dan perlawanan terhadap penghapusan identitas. Anak-anak Gaza tumbuh besar dengan mendengar kisah rumah di Majdal yang tak bisa dikunjungi, pohon zaitun di Beersheba yang ditebang, dan kunci rumah di Jaffa yang masih digantung di dinding sebagai simbol harapan.


    Inilah yang membuat perjuangan rakyat Gaza berbeda. Mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk menjaga narasi keberadaan mereka tetap hidup. Mereka tidak bisa menyerah, sebab menyerah berarti membiarkan diri dilenyapkan dari peta sejarah. Dalam kondisi terjepit, sering kali mereka menjadi radikal bukan karena ideologi, tetapi karena keputusasaan yang tidak pernah mendapatkan saluran diplomasi yang adil.


    Maka tak mengherankan bila perlawanan terus lahir dari Gaza, sebab wilayah ini bukan hanya sarang konflik, tetapi juga tempat berkumpulnya luka-luka yang tak kunjung sembuh. Dunia boleh membahas gencatan senjata, solusi dua negara, atau rekonstruksi ulang, tetapi selama narasi pengusiran dan penahanan ini tidak diselesaikan secara historis dan adil, Gaza akan terus menjadi titik api yang menyala dari dalam luka yang belum dijahit.


    Bagi rakyat Gaza, tanah yang mereka tinggalkan bukan sekadar lokasi geografis. Itu adalah identitas, harga diri, dan alasan untuk bertahan di tengah kehancuran. Kamp-kamp yang mereka tinggali hari ini adalah pengingat akan sejarah yang belum ditutup, bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena pintu pulang masih terkunci.


    Gaza, dalam konteks ini, bukan semata-mata krisis kemanusiaan, melainkan cerminan dari sebuah proyek kolonial modern yang menolak bertanggung jawab atas warisannya. Dan selama dunia hanya melihat Gaza dari angka korban atau puing bangunan, bukan dari sejarah panjang pengusiran dan penolakan hak kembali, maka penderitaan itu akan terus berulang dalam siklus yang menyayat hati.

    Baca selanjutnya

    Jumat, 27 Juni 2025

    Admin2

    Yaman: Aden Harus Kejar Ketinggalan Industri Pertahanan


    Pemerintah Yaman yang berbasis di Aden kini menghadapi tantangan militer yang semakin kompleks, seiring meningkatnya kekuatan persenjataan kelompok bersenjata di Sana’a. Pasca hubungan erat kelompok bersenjata itu dengan Iran, kawasan yang dikuasai kelompok tersebut mulai bertransformasi menjadi perpanjangan langsung industri militer Iran di kawasan Semenanjung Arab. Situasi ini mengharuskan pemerintah Aden melakukan lompatan strategis dalam pengembangan alutsista nasional.

    Menteri Informasi Pemerintah Yaman, Muammar Al-Eryani, dalam pernyataan terbarunya mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas upaya Iran memindahkan sebagian fasilitas produksi senjatanya ke Yaman. Ia menyebutkan bahwa indikasi paling nyata terlihat di wilayah Sa’dah, Hajjah, dan pinggiran Sana’a, di mana pabrik perakitan rudal dan drone mulai beroperasi. Kondisi ini, menurut Al-Eryani, menempatkan pemerintah Aden dalam posisi yang sangat rawan jika tidak segera melakukan antisipasi.

    Selama perang antara Iran dan Israel diketahui bahwa Israel mendapat pasokan senjata dari India. Meski alutsista tersebut buatan Israel tapi diproduksi massal di India. Kemungkinan hal yang sama dilakukan Iran bersama pemerintahan Houthi di Sanaa.

    Namun hal ini akan menimbulkan pergeseran keseimbangan kekuatan dengan pemerintahan Yaman di Aden.

    Untuk itu, pengamat meminta pemerintah Aden perlu segera membangun industri pertahanan domestik. Upaya ini tidak hanya sebatas impor senjata dari negara sahabat, tetapi juga mendorong lahirnya pusat riset militer dan manufaktur persenjataan dalam negeri. Tanpa langkah ini, ketimpangan kekuatan militer di dalam negeri akan terus melebar dan membuat posisi Aden semakin sulit di medan politik maupun militer.

    Selain itu, Aden perlu menjalin kemitraan strategis dengan negara-negara sahabat yang memiliki pengalaman panjang di sektor pertahanan. Negara Teluk seperti Uni Emirat Arab dll dapat diajak untuk mendirikan pabrik persenjataan bersama di wilayah Aden dan Marib. Alih teknologi menjadi syarat mutlak agar pemerintahan Yaman versi Aden tidak terus-terusan bergantung pada impor senjata dalam jangka panjang.

    Fasilitas produksi drone dan rudal jarak pendek menjadi prioritas utama yang harus dibangun. Mengingat jenis senjata ini yang paling banyak digunakan di medan tempur Yaman, kemandirian dalam memproduksi alat tempur tersebut akan memberikan keunggulan taktis sekaligus moral di tengah konflik berkepanjangan. Pemerintah Aden bisa memulai dengan memproduksi sistem mortir, drone intai, dan kendaraan tempur ringan.

    Beberapa pengamat menyarankan agar pemerintah Aden membentuk badan khusus riset dan pengembangan militer nasional. Lembaga ini bisa bekerja sama dengan universitas-universitas teknik di wilayah selatan Yaman untuk mengembangkan sistem rudal, sistem anti-drone, serta teknologi komunikasi militer. Dengan begitu, kekuatan pertahanan nasional bisa dibangun dari fondasi lokal yang berkelanjutan.

    Di sisi lain, pemerintah Aden harus memastikan bahwa program alih teknologi benar-benar diterapkan dalam setiap kontrak pembelian senjata dari luar negeri. Selama ini, ketergantungan pada pengadaan siap pakai tanpa penguasaan teknologi membuat posisi militer Aden sulit berkembang mandiri. Alih teknologi akan memungkinkan Yaman selatan memiliki kemandirian industri persenjataan dalam beberapa tahun ke depan.

    Tak hanya soal produksi, sektor pelatihan teknis bagi personel militer dan tenaga industri pertahanan lokal juga harus ditingkatkan. Pemerintah Aden bisa mengirimkan teknisi dan perwira militernya ke pusat-pusat pelatihan di luar negeri untuk mempelajari produksi, perakitan, serta pemeliharaan sistem senjata modern. Ini penting agar fasilitas produksi yang dibangun nantinya dapat dioperasikan oleh tenaga lokal.

    Konflik di Yaman telah berkembang dari sekadar perang saudara menjadi arena uji coba senjata modern. Ketertinggalan pemerintah Aden dalam aspek industri militer harus segera diatasi jika tidak ingin sepenuhnya bergantung pada bantuan eksternal. Selain menjadi persoalan militer, hal ini juga menyangkut harga diri nasional dan kedaulatan negara.

    Langkah awal yang realistis bagi pemerintah Aden adalah memperluas kemampuan bengkel militer yang sudah ada menjadi fasilitas produksi ringan. Di tempat-tempat ini, bisa diproduksi komponen peluncur roket, drone pengintai, dan kendaraan tempur lapis baja. Seiring waktu, produksi bisa ditingkatkan ke rudal jarak pendek dan sistem anti-serangan udara.

    Pemerintah Aden perlu menetapkan peta jalan industri pertahanan lima hingga sepuluh tahun ke depan. Target utamanya adalah mengimbangi kekuatan alutsista di Sana’a yang terus berkembang dengan dukungan Iran. Tanpa roadmap yang jelas, berbagai inisiatif akan berjalan sporadis dan gagal mencapai hasil strategis.

    Selain itu, pemerintah Aden perlu memperkuat kerja sama intelijen dengan mitra-mitra regionalnya. Informasi tentang jenis senjata, lokasi produksi, hingga pola distribusi alutsista di wilayah utara akan sangat membantu dalam merumuskan jenis sistem pertahanan yang perlu diprioritaskan. Data ini juga berguna untuk merancang strategi penyeimbangan kekuatan jangka menengah.

    Situasi geopolitik di kawasan Teluk dan Laut Merah membuat keberadaan industri pertahanan domestik di Aden menjadi keharusan strategis. Tidak hanya untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri, tetapi juga untuk mengantisipasi ketegangan regional yang sewaktu-waktu bisa meluas ke Yaman. Kemandirian alutsista akan memberikan daya tawar diplomatik bagi pemerintah Aden.

    Selain memperkuat produksi rudal dan drone, pemerintah Aden juga perlu membangun fasilitas produksi alat komunikasi militer yang aman. Sistem komunikasi menjadi tulang punggung operasi tempur modern dan harus mandiri agar tidak mudah disusupi. Produksi alat komunikasi sendiri juga akan mengurangi ketergantungan pada vendor asing.

    Dalam jangka panjang, pemerintah Aden bisa mendorong terbentuknya klaster industri pertahanan di wilayah selatan Yaman. Dengan memberikan insentif kepada investor lokal dan asing di sektor ini, Aden dapat menciptakan ekosistem industri militer yang mandiri, menyerap tenaga kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi tinggi.

    Perang yang terus berlangsung menjadi katalis bagi negara-negara di kawasan untuk meningkatkan kemampuan industrinya masing-masing. Jika pemerintah Aden mampu mengambil pelajaran dari Sana’a, Yaman bagian selatan memiliki peluang untuk bangkit sebagai negara yang kuat secara militer dan mandiri dalam industri persenjataan.

    Kini pilihan ada di tangan pemerintah Aden: terus bergantung pada senjata impor, atau mulai membangun fondasi industri militer nasional yang kuat, modern, dan mampu menjadi penyeimbang di tengah konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

    Admin2

    Marib, Wilayah Kaya Yaman Jadi Rebutan

    Kota Marib kembali menjadi sorotan utama di tengah memanasnya situasi politik dan militer di Yaman. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa milisi Houthi telah mengirimkan konvoi kendaraan tempur dan pasukan bersenjata menuju pinggiran kota itu dalam beberapa pekan terakhir. Langkah ini memicu kekhawatiran akan pecahnya kembali pertempuran besar di wilayah paling strategis dan kaya sumber daya tersebut, yang selama ini menjadi benteng kuat pemerintah.

    Alasan mengapa Houthi terus berusaha merebut Marib tak bisa dilepaskan dari kekayaan alam yang dimiliki provinsi ini. Marib menyimpan cadangan minyak dan gas terbesar di Yaman, dengan sumur-sumur minyak aktif dan fasilitas pemrosesan gas yang memasok energi bagi sebagian besar kawasan utara negara itu. Menguasai Marib berarti mendapatkan kendali atas sumber pendapatan vital yang bisa menghidupi operasi perang dan memperkuat posisi politik kelompok mana pun yang berhasil merebutnya.

    Selain cadangan energi, Marib juga memiliki infrastruktur penting berupa jaringan pipa minyak dan pembangkit listrik yang selama ini menopang kehidupan di sejumlah provinsi sekitarnya. Bagi kelompok Houthi, keberhasilan merebut kota ini bisa menjadi kartu truf strategis untuk menekan pemerintah dan memperbesar wilayah kekuasaannya ke arah timur.

    Dari sisi kekuatan militer, pasukan pemerintah di Marib saat ini berjumlah sekitar 30.000 personel aktif. Mereka terdiri dari berbagai unit militer resmi, pasukan elite Garda Republik, hingga milisi suku-suku lokal. Pasukan ini berada di bawah komando langsung Jenderal Sagheer bin Aziz, sosok komandan veteran yang dikenal berani dan memiliki jaringan kuat di kalangan suku-suku Marib.

    Namun, yang tak kalah penting, Marib dipimpin oleh Gubernur Sultan Al Aradah, tokoh berpengaruh yang bukan hanya memegang kendali administratif provinsi, tetapi juga menjabat sebagai salah satu Wakil Presiden di Dewan Kepresidenan Yaman. Perannya strategis karena selain mengatur urusan sipil, ia juga aktif memobilisasi suku-suku setempat dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan Houthi.

    Sultan Al Aradah dikenal sebagai pemimpin moderat yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pemerintah pusat dan aspirasi masyarakat lokal. Di bawah kepemimpinannya, Marib tidak hanya bertahan dari gempuran milisi Houthi, tapi juga berkembang pesat secara ekonomi dan infrastruktur, bahkan di tengah situasi perang.

    Dulu dikenal sebagai daerah pengungsian, Marib kini menjadi kota maju di Yaman. Ribuan warga yang melarikan diri dari berbagai daerah konflik bermukim di kota ini, mendorong pertumbuhan ekonomi, berdirinya sekolah-sekolah baru, rumah sakit, pasar, dan pusat perdagangan. Kota ini perlahan menjadi pusat ekonomi baru di Yaman.

    Investasi besar-besaran dalam pembangunan jalan, proyek perumahan, dan sektor energi membuat Marib bangkit sebagai salah satu kota terpenting di Yaman. Sejumlah proyek infrastruktur strategis juga mulai berjalan, termasuk perluasan jaringan listrik dan perbaikan sistem distribusi air bersih, yang sebagian besar dibiayai dari hasil produksi minyak lokal.

    Kedudukan Sultan Al Aradah sebagai Wakil Presiden membuatnya memiliki akses langsung ke Dewan Kepresidenan. Namun, hal ini juga menjadi sasaran politik tersendiri, karena beberapa faksi di dalam pemerintahan menilai kekuatannya di Marib terlalu besar dan berpotensi mengganggu keseimbangan kekuasaan di tingkat nasional.

    Sejumlah analis menyebutkan bahwa ketegangan antara Dewan Kepresidenan dan Houthi di sekitar Marib bisa kembali meningkat dalam waktu dekat. Terlebih, Houthi terus memanfaatkan keretakan internal di kubu pemerintah, termasuk isu-isu persaingan antar faksi di dalam Dewan Kepresidenan yang kini terdiri dari beberapa kelompok bersenjata.

    Sementara itu, Sultan Al Aradah dituntut untuk tidak hanya mempertahankan Marib secara militer, tapi juga memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya. Banyak kalangan menilai, daripada terus membuka front perang baru, pemerintah dan otoritas Marib sebaiknya lebih fokus mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan para pengungsi internal (IDP) yang kini mendominasi populasi di provinsi tersebut.

    Berbagai inisiatif kebijakan ekonomi menuju kemandirian tengah dirancang, termasuk program pelatihan kerja bagi pengungsi, pengembangan UMKM, serta pemulihan lahan-lahan pertanian di wilayah-wilayah yang selama ini terkena dampak konflik. Selain itu, proyek perbaikan infrastruktur jalan, listrik, dan sanitasi masih menjadi prioritas utama.

    Marib saat ini menampung lebih dari dua juta penduduk, hampir setengahnya adalah pengungsi dari berbagai provinsi lain di Yaman. Kondisi ini menjadikan Marib sebagai wilayah dengan tantangan kemanusiaan terbesar di negeri itu, sekaligus titik pertahanan terakhir pemerintah di kawasan utara.

    Di sisi lain, Houthi yang mengalami kesulitan ekonomi dan militer di wilayah barat, sangat berkepentingan untuk mendapatkan kendali atas Marib. Selain alasan ekonomi, kota ini merupakan gerbang ke provinsi-provinsi minyak lain seperti Shabwa dan Hadramaut, yang bisa membuka jalur logistik baru bagi Houthi.

    Pemerintah pusat kini menghadapi dilema, apakah terus mempertahankan Marib dengan kekuatan militer penuh, atau mulai menawarkan solusi diplomatik yang realistis, sembari memperkuat ketahanan sosial-ekonomi wilayah tersebut. Beberapa kalangan di Dewan Kepresidenan bahkan mulai menyarankan pendekatan yang lebih mengedepankan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ketimbang hanya fokus pada strategi perang.

    Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa meski kekuatan militer Houthi kerap mengalami kerugian, kelompok ini tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. Serangan sporadis dan upaya infiltrasi masih terus terjadi di sekitar garis pertahanan Marib, sehingga memaksa pasukan pemerintah dan suku-suku lokal selalu dalam kondisi siaga.

    Dengan posisi strategis dan potensi ekonominya yang sangat besar, Marib akan terus menjadi titik panas dalam konflik Yaman. Namun, suara dari masyarakat sipil dan pengungsi di kota itu kian nyaring meminta agar pemerintah pusat dan pemimpin daerah seperti Sultan Al Aradah lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyat ketimbang kepentingan militer semata.

    Admin2

    Yaman Bisa Tiru Resep Ekonomi Kurdistan Irak


    Pertemuan di sela-sela World Economic Forum (WEF) di Davos awal tahun ini menjadi momentum penting bagi masa depan kawasan Timur Tengah. Perdana Menteri Kurdistan Irak, Masrour Barzani, bertemu langsung dengan Aidarus al-Zoubaidi, Wakil Ketua Dewan Kepemimpinan Presiden Yaman sekaligus pemimpin Dewan Transisi Selatan. Keduanya sepakat pentingnya stabilitas politik dan pembangunan ekonomi untuk membebaskan kawasan dari krisis berkepanjangan.

    Kisah Kurdistan Irak menjadi perhatian karena di tengah geopolitik Irak yang bergejolak, kawasan otonom ini mampu mengelola ekonominya relatif stabil. Pemerintahannya berhasil membangun kerangka ekonomi berbasis minyak, investasi asing, dan stabilitas sosial yang dijaga dengan kuat. Barzani bahkan memimpin delegasi perdagangan besar di Davos, menandai kiprah ekonomi Kurdistan di forum global.

    Kurdistan Irak sebelumnya juga mengalami situasi serupa dengan Yaman, yakni terjebak dalam konflik internal, perang sektarian, dan tarik ulur kepentingan kekuatan asing. Namun, sejak awal 2000-an, Kurdistan memilih jalan berbeda. Wilayah ini mulai membuka diri kepada investasi, memperkuat relasi perdagangan luar negeri, dan memanfaatkan kekayaan alam secara cerdas.

    Yaman sebetulnya memiliki potensi serupa. Kekayaan minyak, gas, pelabuhan strategis, dan warisan peradaban kuno seharusnya bisa menjadi modal utama untuk membangun ekonomi mandiri. Namun, konflik berkepanjangan antara pemerintah pusat, kelompok Houthi, STC, dan suku-suku bersenjata membuat sektor ekonomi nyaris lumpuh total.

    Pelajaran penting dari Kurdistan Irak adalah pentingnya stabilitas lokal sebelum membangun sistem ekonomi yang kuat. Kurdistan sejak awal memperkuat pemerintahan otonom yang menghormati keberagaman etnis, memperhatikan hak suku-suku tradisional, dan membangun dialog politik internal. Hal ini bisa menjadi contoh bagi Yaman yang selama ini terpecah oleh ego sektarian.

    Selain itu, Kurdistan berani mengundang investor asing tanpa takut kehilangan kontrol atas sumber daya. Pemerintah setempat membuat regulasi yang ramah bisnis sekaligus tetap melindungi kepentingan rakyatnya. Yaman bisa belajar dari pola ini, terutama untuk sektor pelabuhan, energi, dan logistik yang selama ini menjadi rebutan faksi bersenjata.

    Keberhasilan Kurdistan dalam membangun sektor pariwisata sejarah, budaya, dan alam juga patut ditiru. Yaman memiliki situs-situs bersejarah kelas dunia seperti Shibam, Hadramaut, dan kota tua Sana’a. Jika keamanan membaik, sektor pariwisata bisa menjadi penyumbang devisa besar seperti yang dialami Kurdistan dengan peningkatan kunjungan wisatawan asing.

    Masrour Barzani juga dikenal piawai dalam memanfaatkan diplomasi ekonomi. Ia rutin menghadiri forum internasional seperti Davos untuk mempromosikan Kurdistan di mata dunia. Yaman perlu mengutus figur-figur ekonominya untuk melakukan hal serupa, membuka jejaring dagang baru, dan membangun citra positif di komunitas bisnis global.

    Faktor penting lain adalah penguatan sektor energi. Kurdistan mengembangkan jaringan pipa minyak independen ke Turki dan berhasil menegosiasikan hak ekspor mandiri. Yaman bisa mengambil pelajaran untuk mengelola pelabuhan minyak di Shabwa, Marib, dan Hadramaut yang kini masih terjebak di tangan kelompok bersenjata.

    Kunci keberhasilan Kurdistan lainnya adalah keberanian mengadopsi sistem pajak modern dan sistem perbankan syariah yang transparan. Kurdistan bahkan membangun Bank Sentral regional yang terpisah dari Baghdad. Yaman perlu merancang sistem keuangan daerah yang fleksibel agar pemerintah lokal bisa menjalankan pelayanan publik tanpa menunggu dana pusat.

    Selain itu, Kurdistan mengembangkan kawasan industri terpadu yang menarik investor asing. Kawasan industri Erbil, Duhok, dan Sulaymaniyah menjadi pusat aktivitas manufaktur dan logistik modern. Di Yaman, konsep ini bisa diterapkan di Aden, Mukalla, dan pelabuhan strategis lainnya, mengingat letak geografis Yaman yang strategis di jalur perdagangan dunia.

    Masrour Barzani juga menggagas program pelatihan tenaga kerja lokal, sehingga anak-anak muda Kurdistan bisa masuk ke sektor migas, konstruksi, dan IT. Yaman yang memiliki bonus demografi juga bisa meniru kebijakan ini untuk mengurangi angka pengangguran dan mencegah anak-anak muda terjerat dalam kelompok milisi bersenjata.

    Di sektor kesehatan, Kurdistan sukses membangun rumah sakit bertaraf internasional hasil kerja sama dengan investor dari UEA dan Turki. Yaman bisa meniru skema investasi berbasis joint venture untuk membangun fasilitas medis di wilayah selatan dan timur, yang selama ini kekurangan layanan kesehatan modern.

    Kebijakan Kurdistan dalam menjaga relasi baik dengan negara-negara tetangga dan kekuatan global juga memberi dampak positif bagi stabilitas ekonominya. Yaman perlu mengurangi ketegangan sektarian dan mulai membangun komunikasi ekonomi lintas kawasan seperti Oman, UEA, dan Arab Saudi untuk membangun pasar regional bersama.

    Keberanian Kurdistan membangun pusat promosi dagang di luar negeri, termasuk di Ankara, Teheran, dan London, menjadi terobosan penting. Yaman bisa membuat kantor dagang di Dubai, Doha, dan Kairo untuk mempromosikan produk lokal seperti kopi Mocha, kurma Hadramaut, dan rempah-rempah tradisional.

    Saat ini, Kurdistan juga sukses menarik diaspora Kurdi di Eropa dan Amerika untuk berinvestasi di kampung halamannya. Yaman memiliki diaspora besar di Asia Tenggara, Afrika Timur, dan Teluk yang potensial digalang untuk membangun proyek-proyek ekonomi di negeri asalnya.

    Pertemuan Barzani dan Zoubaidi di Davos diharapkan menjadi pintu awal kerja sama ekonomi konkret. Kedua pihak sepakat bahwa tanpa stabilitas ekonomi, perdamaian politik akan sulit tercapai. Oleh karena itu, Yaman mesti mulai menyusun peta jalan ekonomi daerah seperti yang dilakukan Kurdistan sejak dua dekade lalu.

    Forum-forum investasi internasional seperti Davos bisa menjadi panggung diplomasi ekonomi Yaman. Langkah Barzani mendirikan “House of Kurdistan” di Davos bisa ditiru Yaman untuk mendirikan “House of Yemen” sebagai etalase potensi investasi, budaya, dan produk lokal di mata dunia.

    Belajar dari Kurdistan, Yaman butuh pemimpin ekonomi visioner yang tak hanya sibuk dengan kompromi politik, tetapi juga berani mengambil keputusan berisiko demi kepentingan jangka panjang rakyatnya. Dengan kekayaan alam, posisi strategis, dan warisan budaya, Yaman sebenarnya punya modal besar untuk bangkit seperti Kurdistan.

    Senin, 23 Juni 2025

    Admin2

    Sepuluh Pelajaran dari Serangan Israel ke Iran


    Pertama, serangan Israel ke Iran membuktikan bahwa sebuah isu besar  dapat ditutupi dengan isu lainnya. Ketika dunia mulai menyoroti genosida di Gaza dan kekejaman di Tepi Barat, Israel justru membuka front baru ke Iran untuk mengalihkan perhatian global. Strategi ini berhasil menggiring opini dunia menjauh dari Palestina dan kembali ke narasi “perang regional” yang lebih kabur.

    Kedua, serangan ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan sekutunya tidak serius dalam menegakkan prinsip hak asasi manusia, terutama jika menyangkut korban dari masyarakat lemah. Dukungan diam-diam hingga keterlibatan aktif AS dalam serangan Israel ke Iran memperlihatkan bahwa HAM hanya dijadikan alat politik, bukan komitmen moral yang universal.

    Ketiga, sikap AS yang awalnya menyatakan tidak terlibat dalam serangan ke Iran, lalu kemudian ikut serta, mencerminkan moralitas yang rendah. Keputusan mereka untuk terlibat justru membongkar hipokrisi dan manipulasi informasi yang selama ini dijadikan senjata diplomasi publik mereka.

    Keempat, serangan ke Iran juga dijadikan instrumen untuk menutupi berbagai krisis dalam negeri di AS, termasuk demonstrasi terkait ekonomi, rasisme, dan dukungan terhadap Palestina. Politik luar negeri kembali digunakan sebagai alat pengalihan perhatian domestik, bukan untuk membela nilai-nilai keadilan global.

    Kelima, pernyataan pemimpin Jerman yang memuji langkah serangan Isael ke Iran sebagai sebuah kesuksesan dari  “kerja kotor (dirty work) yang seharusnya dilakukan Barat” menunjukkan adanya ketegangan moral di dalam kubu Eropa sendiri. Pernyataan ini dianggap membuka borok yang selama ini ditutupi Barat, termasuk membongkar kebusukan operasi-operasi rahasia yang dilakukan oleh AS dan sekutunya di wilayah Timur Tengah.

    Keenam, tekanan Amerika kepada Iran agar tidak membalas serangan Israel adalah bentuk pelanggaran terhadap Piagam PBB. Setiap negara berhak mempertahankan diri atas serangan militer dari pihak lain. Permintaan agar Iran tidak merespons menunjukkan bahwa kekuatan besar ingin memonopoli hak untuk menyerang tanpa konsekuensi.

    Ketujuh, alasan Amerika bahwa serangannya terhadap Iran sah dan legal, namun pada saat yang sama meminta Iran tidak membalas, ibarat perampok yang menyatakan aksinya sah dan meminta korban untuk tidak melawan. Dunia melihat kontradiksi ini sebagai bentuk arogansi dan kehilangan kredibilitas moral AS di panggung internasional.

    Kedelapan, para pendukung Israel di media sosial sering melontarkan ejekan bahwa umat Islam, meski berjumlah miliaran, tidak mampu menghentikan genosida yang dilakukan Israel. Ini pernyataan tak bermoral karena tak seharusnya sebuah kejahatan dibangga-banggakan. Meski itu hanya bermaksud untuk meledek tak ada perwakilan negara Islam di anggota tetap DK PBB yang punya hak veto. AS memang sampai saat ini selalu menggunakan hak veto menolak jika ada keputusan untuk menghentikan genosida Gaza di Israel.

    Kesembilan, klaim bahwa negara-negara Islam tertinggal, tidak menguasai teknologi, dan tak punya kemampuan intelektual, menjadi gugur. Iran telah membuktikan dirinya sebagai kekuatan teknologi tinggi dengan ilmuwan-ilmuwan terkemuka di bidang nuklir, drone, dan pertahanan siber. Banyak di antara mereka justru menjadi target pembunuhan oleh Mossad, yang takut dominasi di Timur Tengah tak dianggap lagi.

    Kesepuluh, negara-negara Barat seperti AS, Inggris, Perancis, dan sebagian besar Eropa yang selama ini mengaku paling demokratis, paling menjunjung HAM, dan paling beradab, justru terungkap sebagai kekuatan yang paling kotor secara moral. Dukungan mereka terhadap serangan ilegal dan pembunuhan pejabat Iran memperlihatkan bahwa prinsip yang mereka bawa selama ini hanya kosmetik, bukan nilai sejati.

    Sepuluh pelajaran ini bukan hanya menjadi refleksi bagi Iran atau Palestina, tetapi juga bagi masyarakat global yang masih percaya pada narasi tunggal media Barat. Serangan ke Iran telah mengangkat tirai kepalsuan dan membongkar wajah asli aktor-aktor besar dalam politik internasional. Dalam krisis ini, yang terbuka bukan hanya kehancuran fisik, tetapi juga kehancuran moral.

    Pergeseran opini publik internasional pun mulai tampak. Banyak kelompok masyarakat sipil, termasuk di Barat, yang kini mulai mempertanyakan narasi resmi pemerintah mereka. Solidaritas untuk Palestina justru semakin besar setelah serangan ke Iran, karena masyarakat menyadari bahwa sumber kekacauan berasal dari Israel dan pendukungnya, negara-negara dengan politik luar negeri yang penuh standar ganda.

    Iran, terlepas dari segala keterbatasannya, kini menjadi simbol perlawanan terhadap dominasi sepihak yang selama ini dijalankan oleh AS dan sekutunya. Negara ini tidak lagi hanya berbicara soal pertahanan, tapi juga kehormatan dan harga diri. Di mata sebagian dunia, Iran bukan sekadar negara yang diserang, tetapi juga negara yang berani berkata "tidak" kepada hegemoni global.

    Pelajaran-pelajaran ini penting untuk dicatat dalam sejarah. Ketika satu negara besar menginvasi yang lain tanpa konsekuensi, dan saat dunia diam karena pelakunya adalah sekutu lama, maka itu adalah tanda bahwa sistem internasional sedang rusak. Dan dalam kerusakan itu, muncul kebenaran-kebenaran kecil yang selama ini tertutup oleh propaganda dan retorika palsu.

    Masyarakat dunia, terutama generasi mudanya, kini melihat dengan jelas siapa kawan dan siapa lawan. Serangan ke Iran membuka mata mereka bahwa kekuatan bukan soal jumlah, tapi soal keberanian untuk bertindak dan keteguhan untuk berdiri di pihak yang benar, bahkan saat dunia memalingkan muka. Pelajaran ini akan terus bergema, jauh lebih lama dari dentuman rudal di langit Teheran.

    Dibuat oleh AI

    Sabtu, 21 Juni 2025

    Admin2

    Potensi Suku-Suku Suriah Jadi Pendorong Ekonomi Baru


    Di tengah bayang-bayang panjang konflik dan perpecahan, angin optimisme mulai berhembus dari tanah Suriah.


    Pemerintahan baru di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa menunjukkan sinyal kuat untuk merekonstruksi bangsa dengan pendekatan inklusif yang melibatkan kekuatan sosial paling purba namun paling solid: suku-suku atau tribe. Dengan kebijakan baru yang lebih terbuka terhadap keberagaman identitas lokal, pemerintah Suriah mulai melihat suku bukan sebagai sumber perpecahan, melainkan sebagai motor pendorong ekonomi dan stabilitas sosial jangka panjang.


    Langkah awal ke arah itu ditandai dengan dukungan penuh dari para tokoh suku Kurdi terhadap delegasi politik yang akan bernegosiasi dengan pemerintah di Damaskus. Delegasi ini tidak hanya membawa aspirasi politik, tetapi juga menyiratkan semangat baru untuk memperkuat peran suku sebagai entitas ekonomi yang berakar pada kebudayaan lokal, gotong royong, dan kemandirian. Hal ini mengingatkan pada sistem kibbutz di Israel, di mana komunitas kecil berbasis etnis atau kepercayaan mampu menopang produksi pertanian, manufaktur, dan pendidikan secara kolektif.


    Suku-suku di Suriah, mulai dari Kurdi di timur laut, suku Baggara dan Hadidiyin di utara, hingga Mawali dan Bani Khaled di tengah dan barat, telah lama memainkan peran penting dalam menjaga struktur sosial di wilayah mereka. Di masa damai, mereka mengelola lahan, memfasilitasi perdagangan, serta menjamin keamanan internal. Namun selama perang, sebagian dari mereka terbelah dalam dukungan politik dan militer, menjadi bagian dari pasukan oposisi, loyalis, bahkan milisi independen.


    Kini, dengan tensi konflik yang mulai menurun dan terbukanya ruang dialog nasional, Suriah melihat momentum strategis untuk menyatukan kekuatan suku-suku ini di bawah satu visi rekonstruksi nasional. Para tokoh suku tidak hanya dijadikan simbol rekonsiliasi, tetapi juga mitra aktif dalam pembangunan ekonomi berbasis lokal. Melalui model kooperatif yang menghormati adat dan struktur komunal, pemerintah berharap bisa mempercepat proses pemulihan ekonomi pascaperang.


    Potensi suku sebagai unit ekonomi lokal bukan tanpa dasar. Dalam praktiknya, banyak suku telah menunjukkan kapasitas swadaya, baik dalam produksi pertanian, pengelolaan air, maupun usaha kecil menengah berbasis komunitas. Dengan dukungan negara dalam bentuk akses infrastruktur, pelatihan, dan insentif fiskal, kekuatan ini bisa diubah menjadi jaringan ekonomi mikro yang menopang kestabilan nasional.


    Sistem semacam ini juga bisa mengurangi beban negara yang tengah kekurangan anggaran pasca sanksi dan kehancuran infrastruktur. Jika setiap suku mampu mandiri secara ekonomi dan berkontribusi terhadap pasar domestik, maka proses pemulihan ekonomi Suriah dapat berlangsung dari bawah ke atas, menciptakan resilien yang jauh lebih kuat daripada sekadar bantuan luar negeri.


    Dalam konteks ini, pendekatan ekonomi berbasis suku tidak hanya menjadi solusi pragmatis, tetapi juga strategis secara geopolitik. Ia memungkinkan Suriah mengurangi ketergantungan pada bantuan negara asing, mengembalikan martabat lokal, serta mendorong model pembangunan yang sesuai dengan struktur sosial masyarakatnya yang sangat plural.


    Model ini juga mampu menjembatani ketegangan antara pusat dan daerah. Dengan memberikan kewenangan ekonomi kepada komunitas suku, desentralisasi bisa berjalan tanpa ancaman disintegrasi. Sebaliknya, ia memperkuat loyalitas kepada negara karena suku merasa dilibatkan dan dihargai sebagai bagian penting dari rekonstruksi nasional.


    Para pengamat melihat bahwa dalam sejarah Suriah, keberadaan suku sering dipolitisasi atau dimobilisasi untuk tujuan militer. Namun era baru Suriah menunjukkan transformasi penting: dari suku sebagai alat kekuasaan menjadi mitra pembangunan. Ini adalah perubahan paradigma yang membawa harapan baru bagi stabilitas jangka panjang Suriah.


    Langkah konkret pemerintah untuk mengundang perwakilan suku dalam penyusunan kebijakan nasional adalah bukti nyata pendekatan partisipatif. Mereka kini tidak hanya dilibatkan dalam urusan keamanan, tetapi juga perencanaan ekonomi, distribusi lahan, dan bahkan perumusan kurikulum pendidikan lokal berbasis kearifan tradisional.


    Di sisi lain, komunitas internasional juga mulai mencermati pendekatan ini sebagai model hybrid antara modernitas dan tradisi. Beberapa lembaga pembangunan mulai menjajaki kerja sama dengan koperasi suku dalam bidang pertanian berkelanjutan dan energi terbarukan, terutama di wilayah yang sulit dijangkau pemerintah pusat.


    Pemerintah Suriah menyadari bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan hambatan. Dengan merangkul semua entitas sosial, termasuk suku-suku yang dulunya terlibat konflik, pemerintah ingin menciptakan harmoni nasional yang berbasis pada keadilan dan pemerataan ekonomi. Ini merupakan jawaban atas krisis panjang yang telah merusak jaringan sosial dan kepercayaan publik terhadap negara.


    Optimisme juga tumbuh di kalangan generasi muda suku. Mereka mulai melihat masa depan yang lebih cerah dengan keterlibatan dalam program-program ekonomi komunitas. Banyak di antara mereka yang mulai kembali dari pengungsian untuk membangun kampung halaman dengan semangat baru, membawa keterampilan dan pengetahuan yang didapat dari luar negeri.


    Tantangan tentu masih ada, mulai dari keterbatasan infrastruktur, minimnya modal awal, hingga sisa-sisa ketegangan antar suku. Namun dengan kerangka hukum yang jelas dan perlindungan dari negara, langkah maju ini bisa dijaga dan diperkuat secara berkelanjutan.


    Momentum ini harus dijaga dengan kebijakan yang konsisten dan dukungan politik yang kuat. Pemerintah perlu memastikan bahwa semua suku, termasuk yang minoritas dan tersebar di perbatasan, mendapatkan perlakuan adil serta akses setara terhadap sumber daya dan peluang ekonomi.


    Jika program ini berhasil, Suriah bisa menjadi contoh negara yang mampu bangkit dari perang saudara melalui pendekatan lokal berbasis komunitas. Ini adalah jalan panjang menuju perdamaian dan kemakmuran, namun langkah awal yang telah diambil oleh Damaskus menunjukkan arah yang benar dan menggugah harapan rakyat.


    Dibuat oleh AI

    Jumat, 20 Juni 2025

    Admin2

    Jelang Perang Besar, Adu Kuat Proksi Israel dan Iran di Kawasan


    Ketegangan antara Israel dan Iran kembali mencapai puncaknya setelah laporan mengenai serangan langsung Israel ke wilayah Iran mencuat di berbagai media dunia. Ancaman invasi terbuka oleh Israel dan sekutunya, terutama Amerika Serikat, membuat sorotan tertuju pada medan tempur tak langsung yang kini semakin aktif: pertarungan para proksi atau kelompok perpanjangan tangan di Timur Tengah. Dalam konteks ini, konsep "proksi" tidak hanya merujuk pada kelompok milisi atau non-negara, tetapi juga termasuk negara-negara dan aktor politik yang berpihak dan menjalankan kepentingan salah satu dari dua kekuatan utama tersebut.

    Amerika Serikat dapat disebut sebagai proksi terkuat Israel di Timur Tengah dalam makna geopolitik yang lebih luas. Meski memiliki kekuatan militer dan politik sendiri, AS secara konsisten menjalankan kebijakan luar negeri yang sejalan dengan kepentingan Israel, termasuk dalam isolasi terhadap Iran. Kedekatan ini tercermin dari dukungan logistik, intelijen, dan perlindungan diplomatik di lembaga internasional yang terus-menerus diberikan Washington kepada Tel Aviv.

    Selain AS, Israel juga mengandalkan figur politik seperti Reza Pahlavi, putra dari mendiang Shah Iran yang digulingkan dalam Revolusi Islam 1979. Reza Pahlavi kini aktif dalam media internasional menyerukan dukungan terhadap serangan Israel ke Iran. Pernyataannya yang terang-terangan menyokong sabotase dan infiltrasi Mossad ke dalam negeri Iran membuatnya disebut sebagai alat politik Israel untuk mendeligitimasi pemerintahan Republik Islam Iran di mata dunia.

    Kelompok lain yang aktif mendukung operasi Israel adalah Mujahidin-e-Khalq (MeK), sebuah kelompok oposisi Iran yang kini berbasis di Albania. Meski telah kehilangan dukungan luas dari rakyat Iran sejak lama, MeK tetap memiliki jaringan operasional di dalam negeri. Kelompok ini dituduh memberikan data dan bantuan operasional kepada Mossad dalam sejumlah operasi rahasia terhadap tokoh-tokoh penting Iran dan fasilitas nuklirnya.

    Proksi berikutnya datang dari oknum-oknum minoritas di Iran yang telah lama diinfiltrasi Mossad untuk melawan Tehran. Di antara mereka adalah sebagian kecil dari kalangan Yahudi lokal, penganut Bahai, etnis Kurdi dll. Salah satu partai Kurdi yang secara terbuka menyatakan dukungan terhadap Israel adalah Partai Kebebasan Kurdistan (PAK) yang berbasis di wilayah Kurdistan Irak. PAK bahkan sempat terlibat dalam pelatihan militer bersama agen-agen luar.

    Selain kelompok lokal, Israel juga mengeksploitasi pengungsi asal Afghanistan yang kini menetap di Iran. Banyak dari mereka yang tidak memiliki afiliasi ideologis kuat terhadap pemerintahan Iran dan mudah direkrut untuk misi-misi yang bersifat sabotase atau pengumpulan informasi. Mereka menjadi bagian dari jaringan tidak resmi yang aktif dalam mengganggu stabilitas dalam negeri Iran.

    Menariknya, Israel juga memiliki semacam proksi internal berupa komunitas Arab Druze di dalam negeri. Komunitas ini sering dimobilisasi dalam operasi luar negeri karena kemampuan bahasa dan budaya yang memungkinkan mereka menyaru sebagai warga lokal, terutama di kawasan Kurdistan. Hal ini memberi Israel keunggulan dalam melancarkan operasi lintas batas dengan kamuflase yang sulit terdeteksi.

    Dalam beberapa kasus, kalangan Arab Palestina yang pro-Tel Aviv juga terbukti membantu operasi rahasia Israel. Keterkaitan kultural Palestina dan Kurdi menjadi faktor penting yang dimanfaatkan Israel. Salah satu kasus terkenal adalah Ephraim Benjamin, agen Mossad yang menyamar sebagai militan ISIS di Libya. Bahkan terdapat laporan bahwa sebagian eks anggota Hamas yang kecewa terhadap gerakan tersebut direkrut oleh Mossad untuk kepentingan operasi rahasia di luar negeri.

    Di sisi lain, Israel juga memiliki keunggulan dalam memobilisasi warganya yang berasal dari latar belakang Iran dan negara-negara Arab lainnya. Keturunan Yahudi Iran, seperti kasus terkenal Habib Elghanian sebelum revolusi, telah lama digunakan sebagai aset dalam upaya mendestabilisasi Iran dari dalam. Mereka memahami bahasa, budaya, dan struktur sosial Iran, sehingga mudah menyusup dan membentuk jaringan bawah tanah yang berbahaya bagi keamanan nasional Iran.

    Sementara itu, Iran juga memiliki jaringan proksi yang tak kalah kuat dan tangguh. Di Yaman, pemerintahan Houthi yang menguasai ibu kota Sana’a dianggap sebagai perpanjangan tangan langsung Iran dalam konflik regional. Houthi telah membuktikan kemampuannya meluncurkan rudal jarak jauh dan drone yang menargetkan wilayah musuh, termasuk fasilitas energi di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

    Di Irak, Iran mengandalkan aliansi milisi Syiah yang tergabung dalam al-Hashd al-Sha’bi atau Pasukan Mobilisasi Rakyat (PMF). Kelompok ini secara struktural telah menjadi bagian dari militer Irak, namun secara ideologis masih sangat loyal kepada Teheran. Kekuatan PMF menjangkau dari garis perbatasan Iran hingga ke kawasan strategis Baghdad dan wilayah Sunni.

    Hizbullah di Lebanon tetap menjadi ujung tombak kekuatan proksi Iran yang paling efektif. Dengan kekuatan rudal dan jaringan intelijen yang kuat, Hizbullah telah menjadi musuh utama Israel di utara. Dalam berbagai konflik sebelumnya, Hizbullah mampu menahan serangan militer Israel dan bahkan membuat Tel Aviv berpikir dua kali untuk melancarkan serangan darat berskala besar ke Lebanon.

    Dalam persaingan ini, Israel lebih menekankan pada operasi presisi, sabotase, dan infiltrasi melalui aktor-aktor kecil dan jaringan intelijen. Sebaliknya, Iran mengandalkan kekuatan milisi dan struktur militer yang bersifat terbuka. Kedua pendekatan ini memiliki keunggulan masing-masing, namun sama-sama menyebarkan ketidakstabilan di kawasan.

    Situasi ini menjadikan kawasan Timur Tengah sebagai ladang pertempuran tidak langsung antara dua kekuatan besar, dengan negara-negara seperti Suriah, Irak, Yaman, dan bahkan Lebanon menjadi ajang pelimpahan konflik. Proksi-proksi tersebut memainkan peran penting bukan hanya secara militer, tetapi juga dalam memengaruhi opini publik dan arah kebijakan nasional di masing-masing negara.

    Dengan kemungkinan eskalasi konflik antara Iran dan Israel ke level perang terbuka, peran proksi akan semakin sentral. Mereka akan menjadi garda depan, baik dalam serangan maupun dalam pertahanan, mengingat kedua belah pihak akan menghindari keterlibatan langsung secara masif yang bisa memicu perang regional terbuka dengan keterlibatan kekuatan dunia.

    Dinamika adu kuat proksi ini menciptakan lapisan baru dalam konflik Iran-Israel yang sudah lama berlangsung. Mereka tidak hanya menjadi instrumen militer, tetapi juga alat diplomatik, politik, dan propaganda yang membentuk persepsi dunia terhadap siapa yang menjadi korban dan siapa yang menjadi agresor.

    Selama kedua negara belum menyelesaikan konflik ideologis dan geopolitik mereka, perang lewat perantara akan terus berlanjut. Dalam skenario terburuk, perang ini bisa melebar menjadi konflik regional yang lebih besar dan membawa dampak destruktif terhadap stabilitas global. Dunia pun kini hanya bisa berharap bahwa eskalasi tidak berubah menjadi perang langsung antarnegara besar di jantung Timur Tengah.

    Dibuat oleh AI
    Admin2

    Basij dan Skenario Pertahanan Total Iran Melawan Potensi Invasi Israel, AS dkk


    Basij, pasukan milisi sukarela Iran yang dibentuk setelah Revolusi Islam 1979, kembali menjadi sorotan dalam berbagai wacana pertahanan jika terjadi invasi besar-besaran dari Israel dan sekutunya. Didirikan oleh Ayatollah Khomeini, Basij merupakan simbol mobilisasi rakyat Iran dan dikenal sebagai tulang punggung kekuatan pertahanan sipil negara tersebut. Dengan lebih dari 25 juta anggota cadangan dan sekitar 600 ribu personel siap tempur, Basij bukan sekadar organisasi militer, tetapi juga bagian integral dari struktur sosial dan politik Iran.

    Dalam skenario invasi besar oleh Israel, Amerika Serikat, dan negara Barat lainnya, Basij diproyeksikan sebagai garda terdepan dalam menghadang gelombang awal serangan. Karena mereka memiliki struktur yang menjangkau hampir setiap desa, kota, dan kecamatan di Iran, mobilisasi Basij bisa dilakukan secara cepat, terdesentralisasi, dan berskala nasional. Ini menjadikan mereka bukan hanya pasukan tempur, tetapi juga komando lokal yang mampu menyusun pertahanan teritorial.

    Mobilisasi besar-besaran 25 juta anggota cadangan Basij akan bergantung pada tiga faktor utama: kesiapan struktur komando lokal, pengamanan jalur logistik, dan penyesuaian cepat terhadap blokade ekonomi dan militer. Pemerintah Iran diyakini telah menyiapkan skenario semacam ini sejak lama, dengan jaringan pasokan yang mengandalkan produksi dalam negeri dan distribusi melalui jalur-jalur tersembunyi serta basis-basis logistik di pedalaman.

    Di tengah invasi dan blokade ekonomi total, Basij juga akan mengambil alih fungsi-fungsi sosial yang biasanya dijalankan oleh negara. Mereka akan menjaga distribusi pangan, pengamanan fasilitas publik, serta mempertahankan moral masyarakat. Dengan memanfaatkan masjid, sekolah, dan balai desa sebagai pusat logistik dan informasi, Basij berperan sebagai penghubung antara pemerintah pusat dan rakyat selama masa krisis.

    Keterlibatan Basij dalam perang asimetris, seperti saat Perang Iran-Irak, membuktikan bahwa mereka bukan sekadar pasukan konvensional. Mereka berpengalaman dalam melakukan perlawanan berlarut, sabotase infrastruktur musuh, dan operasi psikologis terhadap pasukan lawan. Jika invasi terjadi, strategi defensif Iran akan mengandalkan kekuatan seperti ini untuk memperpanjang konflik dan memaksa musuh masuk ke dalam zona pertahanan darat yang sulit.

    Skenario invasi juga memungkinkan Basij mengaktifkan jaringan komunikasi internal non-elektronik berbasis manusia untuk menghindari sabotase elektronik dari musuh. Di saat sistem komunikasi militer dan sipil modern diserang, Basij dapat mengandalkan sistem kurir, sinyal visual, hingga pengiriman pesan melalui radio lokal dan pengeras suara masjid.

    Blokade ekonomi dan embargo pangan tidak akan serta merta memutus rantai pasokan jika Basij berhasil menjaga sentra-sentra produksi dalam negeri, seperti ladang gandum, ternak, dan pabrik makanan di wilayah pedalaman. Dengan sistem distribusi komunitas dan gotong-royong yang sudah terbentuk lama, Basij akan menjadi pelindung ekonomi subsisten masyarakat Iran.

    Kekuatan utama Basij bukan terletak pada teknologi atau persenjataan canggih, melainkan pada militansi dan loyalitas ideologis. Sebagian besar anggotanya berasal dari kalangan religius dan tradisional yang percaya bahwa mempertahankan negara adalah bagian dari ibadah. Ini membuat mereka siap menghadapi konflik jangka panjang tanpa insentif material besar, sebuah faktor yang tak bisa ditandingi oleh pasukan profesional biasa.

    Ketika pemerintah pusat Iran kemungkinan lumpuh atau terisolasi akibat serangan, Basij akan berfungsi sebagai "pemerintah darurat" di wilayah masing-masing. Mereka memiliki otonomi operasional yang cukup untuk mengambil alih fungsi administratif lokal, memastikan stabilitas, dan mencegah kekacauan sosial yang bisa dimanfaatkan musuh.

    Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa Basij mampu mengubah desa-desa menjadi benteng, menjadikan jalan-jalan sebagai perangkap musuh, serta menjadikan masyarakat sebagai mata dan telinga pertahanan nasional. Dalam perang kota, kemampuan ini akan menjadi mimpi buruk bagi pasukan invasi.

    Untuk mempertahankan pasokan senjata dan amunisi, Iran diyakini telah menyiapkan cadangan besar yang tersembunyi di pegunungan, gurun, dan bunker-bunker bawah tanah. Basij memiliki akses ke senjata ringan dan bahan peledak buatan lokal, cukup untuk menopang perang gerilya selama bertahun-tahun.

    Secara paralel, unit-unit Basij yang berada di bidang siber dan informasi akan menjalankan propaganda dan kontra-propaganda, membendung infiltrasi psikologis dari media asing, serta memproduksi narasi nasionalistik guna menjaga semangat juang rakyat Iran.

    Walau Basij tidak selalu hadir dalam latihan rutin, pada masa krisis nasional seperti invasi asing, struktur dan semangat Basij justru menjadi elemen kunci dalam mempertahankan keutuhan negara. Iran tidak menempatkan seluruh harapan pada Angkatan Bersenjata reguler, tetapi juga pada kekuatan sipil bersenjata ini.

    Pasukan-pasukan Basij perempuan juga akan terlibat dalam bidang kesehatan, pendidikan darurat, serta logistik. Ini merupakan bagian dari mobilisasi total, di mana semua unsur masyarakat diberdayakan. Tidak hanya pria, perempuan dan bahkan remaja pun sudah terlatih untuk situasi semacam ini.

    Kemampuan Basij untuk menyatu dengan rakyat dan menyerap aspirasi akar rumput membuat mereka bukan hanya aktor militer, tapi juga politis. Mereka bisa mengorganisir masyarakat secara cepat dan memberi tekanan kepada pejabat lokal untuk bergerak lebih aktif dalam krisis.

    Jika blokade terus berlanjut, Basij akan berperan besar dalam menghidupkan ekonomi bawah tanah dan pertukaran barter antarwilayah. Komoditas akan bergerak melalui jaringan informal mereka yang tersebar hingga ke perbatasan.

    Secara keseluruhan, keberadaan Basij dalam skenario perang total menjadikan Iran bukan negara yang mudah ditaklukkan. Meski kalah dalam teknologi atau aliansi internasional, kekuatan rakyat bersenjata yang loyal dan tersebar luas inilah yang menjadi benteng terakhir republik Islam tersebut.

    Di era modern yang mengandalkan drone dan rudal presisi, Basij mengingatkan dunia bahwa kekuatan sebuah bangsa tetap ditentukan oleh solidaritas rakyatnya. Invasi ke Iran mungkin bisa menghancurkan infrastruktur, namun tidak akan mudah menghancurkan semangat juang Basij yang telah terpatri sejak 1979.

    Dibuat oleh AI
    Admin2

    Mengapa Intelijen Iran Gagal Lindungi Pejabatnya Sendiri?

    Tahun 2025 menjadi catatan kelam bagi intelijen Iran ketika serangkaian pembunuhan pejabat tinggi kembali mengguncang jantung kekuasaan di Teheran. Beberapa tokoh penting yang terlibat dalam program nuklir, rudal balistik, dan pertahanan strategis Iran tewas dalam rentetan serangan yang diduga kuat dilakukan oleh agen-agen Israel. Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin negara sebesar Iran, dengan struktur keamanan dan intelijen yang kompleks, bisa kecolongan hingga musuh utama mereka mengeksekusi operasi di jantung wilayahnya sendiri?

    Salah satu korban paling mencolok adalah pejabat tinggi yang terlibat dalam program rudal dan sistem pertahanan udara, yang tewas dalam ledakan di sebuah barak militer dekat Teheran. Beberapa hari kemudian, seorang ilmuwan nuklir yang sebelumnya dijaga ketat juga dibunuh dalam situasi mencurigakan. Pembunuhan ini menyusul jejak panjang operasi pembunuhan serupa, termasuk kematian Mohsen Fakhrizadeh pada 2020, ilmuwan utama program nuklir Iran, yang dibunuh di pinggiran kota dengan cara yang sangat canggih.

    Lebih ironis lagi, setelah pembunuhan Fakhrizadeh, juru bicara Organisasi Energi Atom Iran, Behrouz Kamalvandi, mengungkapkan bahwa tim pembunuh yang sama juga bertanggung jawab atas sabotase di fasilitas nuklir Natanz. Pernyataan ini membuat publik mempertanyakan kredibilitas intelijen Iran. Jika sudah diketahui ada tim pembunuh aktif di Iran, mengapa mereka tidak bisa ditangkap selama enam bulan antara dua serangan besar itu?

    Kondisi ini menunjukkan bahwa tidak hanya ada kelemahan struktural dalam sistem intelijen Iran, tapi juga potensi infiltrasi yang mengkhawatirkan. Bahkan mantan Menteri Pertahanan, Jenderal Hossein Dehghan, secara terbuka mengakui adanya bahaya infiltrasi di dalam institusi intelijen. Tokoh senior lainnya, Mohsen Rezaei, menuntut Presiden agar mengambil langkah serius untuk mengungkap siapa sebenarnya agen-agen yang menyusup ke dalam tubuh keamanan Iran.

    Pembunuhan ini juga mengguncang psikologi politik internal. Rakyat Iran mulai kehilangan kepercayaan pada kemampuan negara melindungi para pemimpinnya. Jika tokoh-tokoh utama militer dan ilmiah bisa dibunuh dengan mudah, maka bukan tidak mungkin para pemimpin politik sipil, bahkan ulama tinggi, juga berada dalam bahaya serupa. Muncul kekhawatiran bahwa serangan berikutnya bisa menargetkan simbol-simbol negara, seperti kantor presiden atau parlemen.

    Israel sendiri tidak pernah mengakui secara langsung operasi-operasi ini, namun berbagai indikasi dan pola menunjukkan keterlibatan Mossad. Metode serangan yang canggih, penggunaan teknologi jarak jauh, infiltrasi, dan serangan senyap adalah ciri khas operasi Mossad selama ini. Dalam kasus Fakhrizadeh, misalnya, laporan menyebutkan bahwa senapan mesin otomatis dikendalikan dari jarak jauh menggunakan teknologi pengenalan wajah.

    Iran bukan pertama kalinya mengalami serangan seperti ini. Pada awal 2010-an, setidaknya lima ilmuwan nuklir Iran dibunuh dalam periode singkat. Hingga kini, tidak satu pun pelaku berhasil diadili di pengadilan Iran. Bahkan, dalam banyak kasus, negara harus menerima bahwa serangan tersebut terjadi tanpa bisa dicegah sedikit pun. Hal ini menunjukkan adanya lubang besar dalam sistem pertahanan dalam negeri mereka.

    Kelemahan ini makin terasa di saat Teheran berada di bawah tekanan internasional dan dalam ketegangan militer terbuka dengan Israel. Dalam kondisi seperti itu, seharusnya tingkat kewaspadaan justru meningkat. Namun kenyataannya, Israel justru lebih leluasa bergerak dan menunjukkan superioritas intelijen yang memalukan bagi Iran. Fakta bahwa serangan bisa dilakukan hingga ke dalam instalasi militer adalah alarm keras bagi sistem pertahanan mereka.

    Pihak berwenang Iran memang berkali-kali berjanji melakukan reformasi keamanan. Namun tidak terlihat langkah signifikan untuk memperbaiki koordinasi antar lembaga intelijen dan memperkuat proteksi terhadap personel strategis negara. Koordinasi antara Garda Revolusi, Kementerian Intelijen, dan pasukan elit seperti Quds Force tampaknya belum cukup kuat untuk menghadapi operasi senyap musuh.

    Kondisi ini juga memunculkan spekulasi adanya elemen-elemen di dalam sistem keamanan Iran yang menjadi kaki tangan asing. Beberapa analis menyebut bahwa keberadaan sel tidur atau kolaborator lokal telah memberi akses vital kepada musuh. Inilah yang menjadi kelemahan terbesar Iran: serangan tidak selalu datang dari luar, tapi juga dari dalam.

    Di sisi lain, ketidakmampuan Iran menuntut pertanggungjawaban global atas serangan-serangan ini menunjukkan lemahnya posisi diplomatik negara tersebut. Meski berulang kali mengangkat isu ini di forum internasional, tak ada mekanisme efektif yang dapat menjerat pelaku pembunuhan secara hukum internasional. Dunia tampaknya diam ketika satu negara melakukan pembunuhan politik terhadap tokoh penting negara lain.

    Lebih dari sekadar kelemahan teknis, serangkaian pembunuhan ini menandai kegagalan struktural dalam pertahanan negara. Sebuah negara yang tidak mampu melindungi tokoh-tokoh strategisnya, cepat atau lambat akan kehilangan kontrol atas kebijakannya sendiri. Intelijen yang bocor, aparat yang tertembus, dan pemimpin yang dibunuh menunjukkan tanda-tanda rapuhnya fondasi kekuasaan.

    Jika kondisi ini tidak segera dibenahi, Iran akan terus menjadi medan permainan intelijen asing. Dan bukan tidak mungkin, skenario seperti yang terjadi di Irak dan Suriah—di mana negara terfragmentasi akibat infiltrasi dan intervensi asing—akan kembali terulang, dengan hasil akhir yang sama: kehancuran sistematis dari dalam.

    Kematian para pejabat tinggi Iran di tahun 2025 adalah cerminan dari keunggulan operasi asing dan kegagalan keamanan dalam negeri. Ini bukan sekadar kejadian tragis, tapi sinyal keras akan pentingnya reformasi menyeluruh dalam struktur intelijen, transparansi, dan penguatan loyalitas internal terhadap negara.

    Dalam dunia intelijen, kelemahan kecil bisa berujung pada kehancuran besar. Jika Iran terus abai, maka daftar korban akan bertambah, dan mimpi kemandirian negara bisa hancur perlahan oleh tangan-tangan tak terlihat dari luar—dan dari dalam.

    Perumahan Islami |   • Bisnis Bakrie |   • Bisnis Kalla |   • Rancang Ulang |   • Bisnis Khairul Tanjung |   • Chow Kit |   • Pengusaha |   • Ayo Buka Toko |   • Wisata |   • Medco |   • Fansur |   • Autopart |   • Rumpin |   • Berita Aja |   • SWPD |   • Polemik |   • Perkebunan |   • Trumon |   • Legenda Putri Hijau |   • Ambalat conflictTerumbu Karang |   • Budidaya Ikan Hias Air Tawar |   • Budidaya Sawit |   • FlyDubai |   • PT Skunk Engineering Jakarta |   • Sejarah |   • They Rape Aour Grandma |   • Museum Sumut |   • Sorkam |   • Study |   • Indonesian University |   • Scholarship in Indonesia |   • Arabian InvestorsD-8 |   • BRIC-MIT |   • Negeriads-ku |   • Panen Iklan |   • PPC Indo |   • Adsensecamp |   • PPCMuslim |   • Iklan-ku |   • Iklan Buku |   • Internet Desa |   • Lowongan Kerja |   • Cari Uang Online |   • Pengusaha Indonesia |   • Indonesia Defense |   • Directory Bisnis |   • Inpire |   • Biofuel |   • Innovation |  
    loading...