Di tengah hiruk pikuk kota Idlib yang terus berkembang, pasar properti di pedesaan Suriah justru mengalami penurunan drastis. Sebuah kontras yang mencerminkan dinamika kompleks pasca-konflik di negara yang dilanda perang ini.
Mohammad al-Sayyed, seorang pengungsi yang kembali dari Turki, terkejut mendapati harga rumah di Idlib melonjak tak terkendali. Impiannya untuk menetap di kota itu pupus, tabungannya tak cukup untuk membeli rumah yang ia idamkan.
Kisah al-Sayyed hanyalah satu dari sekian banyak yang menggambarkan fenomena ini. Harga properti di Idlib terus merangkak naik, bahkan mencapai angka yang tak masuk akal bagi sebagian besar warga.
"Awal tahun ini, rumah tiga kamar di Jalan al-Thalatheen ditawarkan seharga 19.000 dolar AS. Sekarang, harganya sudah 26.000 dolar AS," keluh al-Sayyed kepada Enab Baladi, sebuah media lokal.
Kenaikan harga ini dipicu oleh meningkatnya permintaan dari warga lokal dan ekspatriat yang ingin kembali ke tanah air mereka. Rasa aman yang relatif setelah jatuhnya rezim Assad membuat banyak orang berani berinvestasi di properti.
"Banyak warga Suriah di Eropa yang ingin kembali dan menetap di sini," ungkap Ali, seorang ekspatriat di Jerman yang berencana membeli rumah di Idlib.
Selain itu, kenaikan harga bahan bangunan dan biaya tenaga kerja juga turut memicu lonjakan harga properti. Tak heran, harga rumah di Idlib kini bervariasi antara 9.000 hingga 100.000 dolar AS, tergantung lokasi, luas, dan fasilitasnya.
Namun, kondisi berbeda terjadi di pedesaan dan daerah perbatasan Idlib. Harga properti di sana justru anjlok, bahkan mencapai 70% di beberapa wilayah.
Thair Abbas, seorang pengungsi dari pedesaan Damaskus, mengalami kerugian besar saat menjual rumahnya di daerah perbatasan. Rumah yang ia bangun dengan biaya 9.000 dolar AS hanya laku 5.000 dolar AS.
"Dulu, daerah perbatasan ini menjadi tempat perlindungan bagi pengungsi. Sekarang, orang-orang kembali ke kota asal mereka," jelas arsitek Fadl Allah Aktah.
Selain itu, penghentian operasi organisasi kemanusiaan di pedesaan juga memicu eksodus penduduk. Banyak yang terpaksa menjual properti mereka dengan harga murah.
Kondisi ini menciptakan ketidakseimbangan pasar properti di Suriah. Di satu sisi, Idlib menjadi magnet bagi investor dan warga yang ingin kembali. Di sisi lain, pedesaan dan daerah perbatasan ditinggalkan dan harga properti anjlok.
Pemerintah setempat belum memiliki regulasi yang memadai untuk mengatur pasar properti. Akibatnya, pemilik properti leluasa menaikkan harga sewa, memanfaatkan kebutuhan warga yang mendesak.
"Pasar properti di sini hanya mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Tidak ada perlindungan bagi warga," keluh seorang warga Idlib.
Kontras pasar properti ini mencerminkan tantangan kompleks yang dihadapi Suriah pasca-konflik. Di satu sisi, ada harapan akan pemulihan dan pembangunan kembali. Di sisi lain, ketidakstabilan dan ketidakpastian masih menghantui.
Pemerintah dan pihak terkait perlu segera mengambil tindakan untuk menstabilkan pasar properti dan melindungi hak-hak warga. Jika tidak, ketidakseimbangan ini akan semakin memperparah kondisi sosial dan ekonomi di Suriah.