Kebuntuan politik di Sudan memasuki babak baru setelah Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti resmi dilantik sebagai kepala Dewan Kepresidenan dalam pemerintahan paralel yang berpusat di Nyala. Dengan langkah ini, Sudan kini menghadapi kenyataan memiliki dua presiden de facto, yakni Jenderal Abdel Fattah al-Burhan di Khartoum dan Hemedti di wilayah selatan.
Video pelantikan yang beredar luas menunjukkan Hemedti mengucapkan sumpah setia kepada Republik Sudan. Ia berjanji menjalankan tugas dengan jujur, transparan, dan berkomitmen pada kemajuan rakyat. Namun, di balik sumpah itu, jelas terlihat adanya perebutan legitimasi politik di antara dua kubu militer yang kini membelah Sudan.
Kehadiran dua pusat kekuasaan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan dialog damai di negeri tersebut. Di satu sisi, Burhan masih menguasai struktur pemerintahan resmi dan mendapat dukungan sebagian komunitas internasional. Di sisi lain, Hemedti melalui Rapid Support Forces (RSF) yang akan menjadi militer resmi pemerintahan paralel berhasil membangun basis kekuasaan di wilayah barat dan selatan.
Konflik yang awalnya bersifat militer kini berkembang menjadi krisis politik yang lebih kompleks. Kehadiran “dua presiden” membuat situasi semakin sulit diprediksi. Para analis khawatir bahwa Sudan bisa menuju pembelahan permanen jika tidak segera ada ruang dialog.
Hemedti dalam pidato sumpahnya menekankan tekad untuk menjaga persatuan Sudan dan menjunjung konstitusi transisi. Namun, kenyataannya, tindakannya justru memperkuat polarisasi dengan membentuk pemerintahan tandingan. Hal ini membuat dialog damai menjadi agenda yang semakin berat.
Burhan sejauh ini belum memberikan sinyal akan mengakui pemerintahan paralel tersebut. Ia tetap mengklaim sebagai kepala negara sah dan menolak semua upaya yang dianggap melemahkan otoritasnya di Khartoum. Sikap keras ini menunjukkan bahwa peluang dialog masih tertutup rapat. Meski PM baru versi Khartoum telah mengeluarkan sinyal perdamaian.
Tekanan internasional semakin besar terhadap kedua pihak untuk mencari jalan keluar damai. Negara-negara tetangga dan organisasi regional seperti Uni Afrika mendorong agar dialog Sudan-Sudan bisa dimulai dengan prinsip kompromi. Namun, sejauh ini kedua pemimpin belum menunjukkan kesiapan menyerahkan sebagian kekuasaan.
Pengamat menilai salah satu kendala utama adalah perebutan legitimasi. Selama masing-masing kubu menganggap dirinya sebagai pemerintah sah, sulit membayangkan mereka duduk di meja perundingan dengan posisi sejajar. Situasi ini bisa menyerupai konflik Libya yang juga terpecah karena adanya dua pemerintahan.
Meskipun demikian, sejumlah analis optimistis bahwa faktor kelelahan perang dan krisis ekonomi bisa memaksa kedua pihak untuk berunding. Rakyat Sudan menghadapi kondisi kemanusiaan yang kian memburuk, dan tekanan publik bisa menjadi pendorong agar dialog benar-benar terjadi.
Hemedti berusaha menampilkan citra sebagai pemimpin yang pluralis dan demokratis. Dalam sumpahnya, ia menyebut akan melindungi hak-hak rakyat dan mendukung sistem pemerintahan yang adil. Namun skeptisisme tetap tinggi dan kedua pemerintahan Sudan harus berkompetisi memajukan daerah masing-masing.
Burhan pun berusaha memposisikan diri sebagai penjaga negara dan simbol kontinuitas. Namun, ia juga menghadapi kritik karena dianggap gagal mengembalikan stabilitas dan terus bergantung pada kekuatan militer. Keduanya sama-sama dipandang memiliki legitimasi yang rapuh.
Dialog damai Sudan-Sudan sejatinya sangat mungkin terjadi bila ada mediator yang dipercaya kedua belah pihak. Namun, tantangan terbesarnya adalah menemukan sosok atau lembaga yang bisa menjembatani jurang kepercayaan yang begitu dalam antara Burhan dan Hemedti.
Skenario terburuk adalah Sudan memasuki fase perpecahan permanen. Jika pemerintahan paralel terus berjalan, negara itu bisa terbelah antara timur-utara yang dikuasai Burhan dan barat-selatan di bawah Hemedti. Hal ini akan memperpanjang penderitaan rakyat yang sudah menghadapi krisis pangan dan pengungsian.
Namun ada juga kemungkinan skenario kompromi. Jika salah satu pihak merasa terdesak, dialog bisa muncul dengan agenda pembagian kekuasaan sementara hingga tercapai kesepakatan transisi. Meski tampak jauh, opsi ini tetap dianggap sebagai jalan yang lebih realistis daripada perpecahan.
Di tingkat regional, negara-negara tetangga Sudan khawatir konflik ini akan meluas. Sudan yang stabil sangat penting bagi keamanan kawasan, terutama bagi Mesir, Ethiopia, dan Chad. Mereka berpotensi memainkan peran lebih besar untuk mendorong dialog.
Masyarakat internasional, terutama Barat, cenderung masih berhati-hati menyikapi dualisme kepemimpinan ini. Dukungan terbuka terhadap salah satu pihak bisa memperburuk konflik. Karena itu, tekanan diplomatik lebih diarahkan untuk membawa kedua pemimpin ke meja perundingan.
Bagi rakyat Sudan, keberadaan dua presiden bukanlah simbol demokrasi, melainkan cerminan dari krisis negara yang tak kunjung selesai. Mereka berharap agar perselisihan elit segera diakhiri demi memulihkan kehidupan yang normal.
Tantangan ke depan bukan hanya meyakinkan Burhan dan Hemedti untuk berdialog, tetapi juga memastikan bahwa dialog itu benar-benar membawa perubahan. Tanpa komitmen tulus dari kedua belah pihak, negosiasi hanya akan menjadi sandiwara politik yang berulang.
Masa depan Sudan kini berada di persimpangan jalan. Apakah Burhan dan Hemedti mampu mengesampingkan ambisi pribadi demi persatuan bangsa, atau justru akan membawa negara itu ke jurang perpecahan permanen? Dialog Sudan-Sudan masih mungkin, tetapi jalannya penuh ranjau politik dan militer.
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan yang kini menjadi kepala pemerintahan di Khartoum adalah seorang perwira tinggi militer yang naik ke puncak kekuasaan setelah menggulingkan pemerintahan sipil pada 2021. Ia dikenal sebagai figur konservatif yang berupaya mempertahankan struktur negara dengan basis militer, sekaligus menjaga hubungan dengan Mesir dan negara Teluk. Kabinetnya terdiri dari figur-figur yang dekat dengan militer dan birokrat senior yang masih loyal kepada struktur negara lama. Fokus utama pemerintahan Burhan adalah mempertahankan legitimasi internasional, mengamankan Khartoum sebagai pusat kekuasaan, dan mencoba mengelola krisis ekonomi yang semakin menghimpit rakyat.
Di sisi lain, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti yang memimpin pemerintahan paralel di Nyala membangun basis kekuasaan melalui Rapid Support Forces (RSF), pasukan paramiliter yang berakar dari kelompok Janjaweed di Darfur. Hemedti berusaha menampilkan diri sebagai pemimpin rakyat dengan citra pluralis dan demokratis, meski reputasinya banyak dikaitkan dengan kekerasan. Kabinet paralelnya diisi oleh tokoh-tokoh sipil dan politikus lokal dari wilayah barat dan selatan yang selama ini merasa terpinggirkan oleh pusat. Pemerintahan ini diproyeksikan sebagai alternatif bagi mereka yang kecewa pada rezim Burhan, dengan agenda membangun Sudan yang lebih inklusif, meskipun keabsahannya di mata dunia masih dipertanyakan.
Berikut adalah profil nama Perdana Menteri dan jajaran kabinetnya dari kedua pemerintahan di Sudan:
---
Pemerintah Resmi (di bawah Presiden Burhan)
Per 31 Mei 2025, Kamil Idris menjabat sebagai Perdana Menteri Sudan yang diakui secara internasional. Kabinetnya—disebut sebagai "Pemerintah Harapan" (Government of Hope)—tengah dirancang dan terdiri dari 22 menteri. Beberapa nama penting dalam kabinet ini adalah:
Ismat Qureshi Abdallah sebagai Menteri Pertanian dan Irigasi,
Lemia Abdel Ghaffar Khalafallah menjabat Menteri Urusan Kabinet (Cabinet Affairs),
Hassan Daoud Kayan sebagai Menteri Pertahanan,
Ahmed al-Dirdiri Ghandour memimpin Kementerian Transformasi Digital dan Komunikasi,
Al-Tohami Al-Zain Hajar sebagai Menteri Pendidikan,
Al-Mutasim Ibrahim sebagai Menteri Energi dan Perminyakan,
Gibril Ibrahim memegang posisi Menteri Keuangan dan Perencanaan Ekonomi,
Omar Mohamed Ahmed Siddig (menteri negara) menjabat sebagai Menteri Luar Negeri,
Sulaima Ishaq (menteri negara) sebagai Menteri Sumber Daya Manusia dan Kesejahteraan Sosial,
Mahasen Ali Yaqoub sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan,
Babiker Samra Mustafa memimpin Kementerian Dalam Negeri,
Abdullah Mohamed Derf sebagai Menteri Kehakiman,
Bashir Haroun Abdel Karim Abdullah sebagai Menteri Agama, dan
Ahmed Adam Ahmed menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga .
---
Pemerintah Paralel (di bawah Hemedti)
Sementara itu, Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) telah dilantik sebagai kepala pemerintahan paralel di Nyala, Sudan, mewakili Dewan Kepresidenan pemerintahan tandingan. Namun hingga saat ini tidak ada informasi publik resmi mengenai siapa saja yang duduk sebagai Perdana Menteri atau menteri-menteri dalam kabinet ini .
Baik, saya akan rangkum perkiraan populasi di wilayah masing-masing pemerintahan Sudan (Burhan vs Hemedti) sekaligus sumber daya alam yang mereka kuasai. Data ini sifatnya perkiraan karena konflik membuat angka resmi sulit diverifikasi.
Wilayah Pemerintah Burhan (Khartoum dan wilayah timur-utara Sudan)
- Populasi: Sekitar 20–22 juta jiwa. Khartoum sendiri sebelum perang dihuni lebih dari 7 juta orang, namun jutaan telah mengungsi akibat konflik. Wilayah utara dan timur yang masih berada di bawah kendali Burhan termasuk Port Sudan, yang kini menjadi pusat administratif sementara, serta daerah di sepanjang Sungai Nil.
- Sumber daya alam:
- Pertanian: Lahan subur di sepanjang Sungai Nil, terutama gandum, sorgum, dan kapas.
- Pelabuhan: Port Sudan di Laut Merah adalah akses utama ekspor-impor, termasuk minyak dan emas.
- Energi: Infrastruktur minyak (pipa ekspor ke Port Sudan), meski banyak ladang minyak berada di wilayah selatan.
- Mineral: Deposit tembaga, mangan, dan seng di bagian utara.
Wilayah Pemerintah Paralel Hemedti (RSF di Darfur, Kordofan, Nyala, dan sebagian barat-selatan Sudan)
- Populasi: Sekitar 15–17 juta jiwa. Wilayah Darfur memiliki sekitar 9–10 juta sebelum perang, meski sebagian besar mengungsi ke Chad. Nyala, ibu kota Darfur Selatan, menjadi pusat administrasi pemerintahan paralel. Kordofan juga berpenduduk padat dengan komunitas pastoral.
- Sumber daya alam:
- Emas: Darfur dan Kordofan merupakan pusat tambang emas terbesar di Sudan. RSF diketahui menguasai jalur perdagangan emas ilegal, yang menjadi sumber pendanaan utama mereka.
- Pertanian: Produksi biji-bijian, kacang tanah, dan tanaman ternak di dataran luas Darfur dan Kordofan.
- Peternakan: Populasi unta, sapi, dan domba yang besar, penting bagi perdagangan lokal dan ekspor.
- Kayu dan gum arabic: Darfur menghasilkan getah arab (gum arabic) yang merupakan komoditas ekspor penting Sudan.
Gambaran Umum
Secara total, Sudan memiliki sekitar 47–50 juta penduduk (perkiraan PBB 2025), namun kini terpecah oleh konflik dan jutaan mengungsi ke luar negeri, terutama ke Chad, Mesir, dan Ethiopia. Dari sisi sumber daya, Burhan menguasai akses laut dan ekspor resmi, sementara Hemedti menguasai tambang emas dan jalur perdagangan darat ke Chad dan Libya. Inilah yang membuat konflik sulit dipadamkan, karena kedua pihak sama-sama punya basis ekonomi dan demografi yang kuat.
Baca selanjutnya