Selasa, 16 Maret 2004

newsonline

Menembus Jaringan Bisnis Tionghoa

 

June 26th, 2003
oleh : admin

Di kota-kota bisnis dan perdagangan lainnya di Indonesia, kelompok etnis Tionghoa dengan jaringan bisnisnya selalu mendominasi, dan bahkan sudah mengakar kuat turun-temurun.

Begitu pula di Surabaya, keberadaan pengusaha etnis Tionghoa juga sangat menonjol. “Jauh sebelum bangsa Eropa mendatangi Banten secara teratur, bangsa Cina tahun 1411 telah mendarat di Gresik, Jawa Timur. Akibatnya, Gresik yang tadinya hanya hamparan pantai kosong dan gersang, menjadi pelabuhan sibuk dengan dagang. Kota ini banyak dihuni pedagang dari Kanton, kota candu di China Selatan. Sementara itu, sebelumnya, di Surabaya telah banyak tinggal orang-orang China,” demikian tulisan bersejarah tentang keberadaan kaum Cina di Surabaya, seperti ditulis sejarawan dan sosiolog Belanda, J.L. Vleming, dalam bukunya, Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch-Indie (1926) menguatkan asumsi. Dalam buku itu ditegaskan, keberadaan kaum Tionghoa di Kota Pahlawan itu sudah mengakar dan posisi pengusaha Tionghoa di pentas bisnis sudah mapan sejak pemerintahan kolonial.

Gambaran Vleming tidak berubah hingga sekarang. Di Surabaya lahir para kampiun dari etnis Tionghoa yang meraksasa bisnisnya. Sebutlah, Grup Kapal Api yang memimpin pasar bisnis kopi bubuk dan konfeksioner, atau Grup Samator yang merajai bisnis kimia (antara lain, produsen oksigen), juga Grup Maspion yang punya nama besar di pasar produk peralatan rumah tangga dan elektronik, serta nama lain seperti Grup Sekar Laut, Grup Sampurna, Grup Wismilak, Grup Pakuwon, dan sederet pemain lainnya. Sengaja atau tidak, para pebisnis kini memang telah menyatu dalam komunitas pengusaha yang terikat dalam jaringan dan hubungan yang erat, mirip kongsi pengusaha Timur Asing yang terbentuk semasa pemerintahan Hindia Belanda tempo dulu.

Tak berbeda dari kondisi masa lalu, jaringan pengusaha Tionghoa Surabaya ini sampai sekarang relatif sulit ditembus para pengusaha pribumi, kecuali hanya segelintir orang yang bisa melakukannya. Kenapa? “Pengusaha Cina cenderung tertutup dan hanya mau berbisnis dan membesarkan bisnis sesama Cina,” celetuk seorang pengusaha pribumi dengan kesal.

Ungkapan kekesalan itu belum tentu benar dan bisa jadi hanya memperlihatkan keputusasaan. Sebab, di lain pihak kalangan pengusaha etnis tertentu ini menolak anggapan itu kesimpulan besar bahwa semua pengusaha Tionghoa bersikap demikian. “Pengusaha Cina amat welcome kok. Di perusahaan kami, mayoritas pemasok adalah etnis pribumi. Mereka baik-baik saja menjalin bisnis dengan kami, ujar Sam Santoso, pengusaha Tionghoa di Surabaya yang juga Chairman PT Kuda Laut Mas.

Sam tak percaya kalau dikatakan teman-temannya, khususnya di Surabaya, hanya mau berbisnis dengan sesama pengusaha Cina. Di mana pun bisnis tidak peduli pribumi atau nonpri. Yang penting ada kerja sama saling menguntungkan. “Wah, nanti kami kesulitan sendiri kalau harus milih pri atau nonpri. Bayangkan, kalau setiap pemasok harus dicek semua bahan baku yang dikirimkan itu dari kalangan pri atau nonpri. Selain tidak efektif juga tidak efisien,” kata Sam yang bisnis mozaic tile-nya telah beromset Rp 300 miliar setahun.

Pendapat senada dikemukakan Soedomo Margonoto, taipan Surabaya yang punya kerajaan bisnis Grup Kapal Api. “Saya rasa orang Cina tak pilih-pilih. Asal cocok dan saling menguntungkan, ya tak masalah,” sambungnya. Menurut Soedomo, persoalannya kenapa pribumi tidak mampu menembus komunitas orang Cina, dan tak mau dekat dengan orang Cina.

Selain itu, biasanya yang memengaruhi kedekatan hubungan justru bidang bisnis yang digarap. Artinya, siapa pun, Cina atau pribumi pasti lebih sering berhubungan bisnis atau bekerja sama dengan pengusaha di sektor bisnis yang sama. Umpamanya, pebisnis kopi mencari mitra pengusaha kopi. Demikian halnya pengusaha elektronik, pasti menebarkan jaringan dengan sesama pebisnis elektronik. Jadi wajarlah, di bisnis elektronik jaringan bisnis Tionghoa kuat, karena memang banyak pengusaha elektronik dari etnis keturunan Tionghoa.

Sam dan Soedomo benar. Setidaknya hal ini juga tercermnin dari fakta, tak sedikit pengusaha pribumi di Surabaya yang bisa masuk dan diterima dalam komunitas dan jaringan bisnis Cina. Contohnya Sungkono, pemilik dan Presdir PT Mitra Jaya produsen sepatu, tas, ikat pinggang dan jaket kulit merek Karl Sanggoni. “Kemitraan bisnis kami dengan pengusaha Cina sudah berlangsung lama. Paling tidak, kami sudah tahu karakter mereka,” katanya.

Di tengah dominasi jaringan Tionghoa di Ja-Tim, Soengkono yang kelahiran Lamongan, 21 Juli 1962 ini bisa mencuat dengan bisnis yang makin agresif. Kini, pihaknya mempekerjakan 200 karyawan di pabrik kerajinan tangannya yang menghasilkan 10 ribu item per bulan. Ia juga tengah mengembangkan “megabisnis” baru, pengembangbiakan ternak sapi di Jombang di lahan 25 ha, mirip proyek Tapos yang pernah dikembangkan mantan Presiden Soeharto. Soengkono menolak kalau bisnisnya berhasil semata-mata lantaran punya jaringan kuat dengan kaum keturunan. “Kami punya hubungan baik dengan pengusaha Cina, tapi tak hanya dengan mereka. Yang penting ada kesamaan kepentingan. Atas dasar kejujuran dan saling percaya,” Soengkono memaparkan. Menurutnya, bila ingin berhasil yang lebih penting harus mampu membaca peluang dan jangan menunggu bola.

Yang pasti, dari para pengusaha keturunan Cina, masih menurut Soengkono, banyak pelajaran bisa dipetik. Antara lain, mereka punya kemauan belajar dan sangat ulet, punya disiplin kerja, dan lebih sportif. “Sebab itu agar bisa bermitra dengan mereka sebenarnya sederhana saja, jangan sampai mengkhianati kepercayaan yang mereka berikan dan harus bertindak sportif,” tandas pria yang suka mengoleksi mobil dan rumah itu mobilnya 10 lebih, termasuk dua BMW seri 5, sedangkan rumahnya 12 unit.

Saran praktis diberikan H. Masfuk, pengusaha pribumi, pemilik Grup Eka, yang sekarang menjabat Bupati Lamongan. Menurutnya, sebenarnya dekat dan masuk jaringan komunitas pengusaha Cina tak sulit. Buktinya, ia bisa dekat dengan Grup Maspion sejak lama. “Saya dekat dengan Maspion sejak masa ayahnya Pak Alim Markus, yaitu Pak Alim Husein,” Masfuk berkisah. Menurutnya, sepanjang sudah mendapatkan kepercayaan dari pengusaha
Tionghoa, tak akan sulit masuk jaringan mereka. Hanya saja, diingatkan Masfuk, karakter orang Cina memang sulit percaya pada orang lain. “Untuk itu kita harus menunjukkan bahwa kita layak dipercaya,” ia menyarankan. Caranya? “Rebut simpati mereka, dan setelah percaya jangan dinodai kepercayaan yang diberikan itu.”

Masfuk memberi contoh kenapa dirinya bisa dipercaya Alim Markus. Dulu Alim pernah bingung karena produk panci Maspion sempat tidak laku terjual dan hanya menumpuk di gudang. Lalu Masfuk menawarkan diri, dan berani membeli panci-panci itu untuk kemudian dijual. Ia membeli dari Alim secara kiloan, dan dijual ke konsumen secara eceran. Ternyata laris manis. “Baru setelah itu Pak Alim percaya bahwa saya layak jadi partner,” katanya. Pernahkah selama menjadi pengusaha tertipu pengusaha Cina? “Saya tak pernah tertipu pengusaha Cina atau bukan Cina, saya justru pernah ketipu sama orang yang bukan pengusaha,” tutur pengusaha yang kini punya 6 lini perusahaan dengan omset per bulan miliaran rupiah itu.

Masfuk mengakui, bisnis di Surabaya banyak dikuasai pengusaha Cina. Penyebabnya, pengusaha Cina mempunyai sejumlah kelebihan. Pertama, jaringan mereka kuat. Kedua, lebih serius dalam berbisnis. Ketiga, lebih berani berspekulasi. “Kami sebagai pribumi seharusnya lebih berani menanggung risiko spekulasi bisnis,” ungkap pengusaha yang memulai dari bawah ini.

Menurut Masfuk, jangan menjadikan kaum keturunan sebagai kambing hitam kalau memang tidak bisa berbisnis dengan mereka. Dari pengamatannya, sering kali cara berpikir pengusaha pribumi sendiri tidak kondusif. Mereka kurang proaktif dan hanya mau berpikir enaknya. Dalam bahasa Soedomo, sebagai pengusaha jangan berharap orang yang kaya (bisnis lebih maju) akan mendatangi kita. “Kita sendirilah yang harus agresif, pintar mendekati, dan kenal dengan mereka yang sudah maju bisnisnya,” ungkap Soedomo yang punya jaringan resto kafe Excelso di 36 kota besar.

Celakanya lagi, ketika kepercayaaan itu datang, sering pribumi mengingkari kepercayaan yang diberikan. Misalnya, seperti cerita Sam, awalnya sudah dicoba bekerja sama, tapi 2-3 bulan kemudian pengusaha pribumi membuat ulah kualitas dikurangi, atau jadwal kedatangan bahan baku tak tepat waktu. Akibatnya, jadwal produksi pun terpengaruh dan ketersediaan produk ke tangan konsumen terganggu. “Kalau sudah begitu, wajar dong mereka kami masukkan dalam daftar hitam. Bila dilakukan berulang-ulang, kami pun bisa putuskan hubungan,” katanya.

Senada dengan Masfuk, Sam juga menyarankan jangan sekali-kali melukai kepercayaan. “Sekali hilang kepercayaan, susah meraih kembali. Jangan lupa, Surabaya sempit. Antarpengusaha biasanya saling mengenal. Terlebih, sekarang ada H-P, dalam waktu singkat bisa hancur masa depannya,” lanjut Sam. Selain itu, demi menjaga kepercayaan yang telah dijalin bersama, hindari perkataan yang berkonotasi menghina. Misalnya, “Baru ketemu 1-2 kali sudah bicara kasar. Tidak etis, walaupun untuk mengekspresikan rasa persahabatan,” katanya.

E.B. Santosa, pemilik dan pimpinan Grup Rutan, menambahkan, sebaiknya berusaha memahami karakter jaringan pengusaha Cina. Misalnya, berbeda dari pengusaha Jakarta, umumnya pengusaha Tionghoa Surabaya tidak terlalu dekat dengan penguasa. Mereka juga terkesan cuek dan tidak mementingkan penampilan. “Hal ini lebih disebabkan bahwa Surabaya merupakan small society, sehingga rata-rata sudah saling mengenal. Jadi, karena sering bertemu penampilan tidak mutlak, ucap pria yang bisnis alat-alat pertaniannya punya omset tahunan Rp 1 triliun itu.

Henry J. Gunawan, Presdir PT Suryainti Permata Tbk., pengusaha properti nasional yang juga berkantor pusat di Surabaya, ikut memberikan ilustrasi. Menurutnya, lingkungan bisnis di Surabaya lebih kekeluargaan. Artinya, meski motifnya mengejar untung, rasa kebersamaan masih tinggi. Ini tercermin dari berbagai kegiatan kumpul-kumpul yang diadakan sebulan sekali atau dua kali. Misalnya, aktivitas di Yayasan Bakti Persatuan, Yayasan Hokja (untuk keturunan Cina perantuan asal daerah Hokja, di Cina) dan lainnya.

Rasa kekeluargaan di antara pengusaha Surabaya ini juga tampak dalam keakraban yang sangat kental. “Di sini kami satu sama lain saling kenal akrab. Beda dari orang Jakarta yang sama tetangga saja tidak kenal. Saya lebih cocok berbisnis dengan orang Surabaya, sebab sudah kenal dan tahu track record-nya,” ungkap Henry yang dikenal sebagai raja ruko, dan kini mengembangkan sejumlah proyek properti di Jakarta.

Sementara itu, Andrianto Suhartono, Direktur AJBS Swalayan (Grup AJBS) perusahan ritel teknik dengan 12 gerai menjelaskan, “Prinsipnya, bisnis harus dibangun dengan on trust. Dan kami harus punya fighting spirit untuk lebih maju,” ia menegaskan. Selain itu, lanjut Andri, jangan dilandasi keinginan untuk menipu. Andri sendiri selama ini mempunyai hubungan bisnis dengan orang pribumi, terutama jual-beli dan pengadaan barang. “Kami lebih mementingkan bisnisnya daripada session of relations. Jadi, kami tidak terlalu fanatik,” ia menambahkan.

Bila ingin memulai membangun kongsi dengan pengusaha Tionghoa Surabaya, sebaiknya juga tahu tahapan-tahapannya. Yang sering terjadi, pengusaha pribumi gagal dan tak punya keuletan menembus jaringan. “Misalnya, pertama bertemu, tiba-tiba minta proyek. Ini kan tabu. Kami belum tahu record-nya, sudah diminta pekerjaan. Bagaimana ini bisa dilakukan?” ungkap Sam.

Go Siang Chen, pengamat bisnis dan Direktur PT Integrity Consultant, menganalisis, sejauh ini pengusaha nonpri menghadapi kendala persepsi ketika akan berhubungan dengan pengusaha pri. Yakni, pengusaha pri punya karakter malas, suka ngemplang, ingkar janji, dan tidak disiplin. “Ini tidak terjadi dengan sendirinya, tapi berdasarkan pengalaman kakek-nenek atau sanak saudaranya terdahulu,” tuturnya. Persepsi negatif terhadap pengusaha pri demikian, menjadi hambatan komunikasi. Nonpri menaruh curiga lebih dulu sebelum menjalin hubungan bisnis. Sebaliknya, pengusaha pri juga dikungkung oleh persepsi bahwa pengusaha nonpri merupakan kelompok eksklusif yang cenderung menutup diri, hanya mau bergaul dengan sesamanya. “Mungkin itu hasil dari kepiawaian pemerintahan masa lalu dalam menciptakan persepsi antaretnis”, cetus Go.

Go menyarankan, ikuti itu pepatah yang berbunyi: tak kenal maka tak sayang. Lakukan komunikasi dengan intensif, lambat laun persepsi negatif antarkedua pihak akan luntur dengan sendirinya, katanya. Proses kenal bisa dilakukan dengan cara mendatangi acara-acara yang diadakan mayoritas etnis Cina. Atau, meminta seseorang baik pri maupun nonpri – yang sudah dekat dengan etnis nonpri agar diperkenalkan. “Yang terakhir biasanya jauh lebih efektif, karena si pembawa menjadi penjamin sosok yang dibawa,” ujar Go.

Di sini tak ada salahnya belajar dari pengalaman Dahlan Iskan, bos Grup Jawa Pos, yang kini berhasil masuk dalam jaringan bisnis Tionghoa Surabaya, dan malahan ia bisa dikatakan telah menyatu menjadi sebuah ikon. Buktinya, ketika sejumlah pengusaha Surabaya menghadapi persoalan, tak jarang lari ke Dahlan meminta solusi. Malah, saking dipercayanya, setelah era reformasi Dahlan didapuk menjadi Ketua Umum Persobarin (Persatuan Olah Raga dan Seni Barongsai Indonesia) forum kumpul-kumpul warga keturunan pecinta seni barongsai, yang memiliki cabang di 14 provinsi.

Perjalanan Dahlan untuk bisa berangkulan dengan mereka memerlukan banyak proses. Dalam hal ini, fokusnya, ia berjuang meraih simpati dan kepercayaan. Suatu saat, sebelum hubungan Indonesia-RRC pulih, ada misi kesenian dari RRC yang ke Indonesia dan datang ke Surabaya. “Saya menyediakan diri menjadi penyelenggara. Padahal, waktu itu persoalan kesenian Tionghoa masih amat peka,” Ketua Umum Kadin Komite China ini berkisah. Meskipun begitu, kesediaannya itu pasti ada pihak yang memandang dengan sebelah mata. Ternyata, pertunjukan sukses luar biasa, “Nama saya di kalangan masyarakat Tionghoa kian dipercaya,” kata Dahlan bangga.

Setelah itu Dahlan menjadi dekat dan banyak bergaul dalam komunitas keturunan. Tak jarang ia membaur dalam komunitas-komunitas yang di dalamnya mayoritas kaum keturunan. “Saling percaya, itu salah satu kunci, mantan wartawan Tempo ini menegaskan lagi. Di samping itu, pihaknya tak pernah memanfaatkan hubungan untuk kepentingan pribadi. “Saya juga tak pernah membuat cacat dalam hubungan antarpribadi dengan masyarakat Tionghoa,” demikian ujar pemrakarsa Tekad Sayang program liburan sekolah untuk membina persahabatan anak, di mana sejumlah anak (usia 7-10 tahun) dari keluarga pribumi tinggal di rumah keluarga Tionghoa dan sebaliknya.

Yang tak bisa dilupakan, perjuangan Dahlan menyatu dengan jaringan pengusaha Tionghoa juga dimulai di kantornya, Jawa Pos. Dahlan tak alergi mengangkat sejumlah tenaga profesional dari kaum keturunan. Di Jawa Pos, beberapa posisi manajer saat ini dijabat profesional Tionghoa. Bahkan tiga pimpinan puncak (direksi) juga didukuki etnis Tionghoa. “Kami bergaul intens dengan teman-teman itu, dan kami sangat happy dengan mereka,” ujar Dahlan sembari menceritakan, pada awalnya koran Jawa Pos sendiri milik keluarga Tionghoa, The Chung Shen, sebelum akhirnya ia beli. Dengan gaya manajemennya yang keluar dari mainstream itu, wajarlah, kemudian membentuk citra positif Dahlan di mata para pengusaha keturunan. Setidaknya, mengesankan bahwa dirinya memang sungguh-sungguh dalam berbaur dan menjalin jejaring, hingga perusahaannya sendiri menjadi pertaruhan.

Disarankan Go, dalam pembentukan jaringan bisnis seperti ini, yang paling penting semua pihak harus saling menjaga diri, dan memupuk komitmen yang telah disepakati, sehingga relationship yang dibangun makin kokoh. Jangan sampai di pertengahan jalan terjadi pengingkaran. “Kalau salah satu saja tidak menepati janji, yang dirugikan akan langsung menarik diri,” katanya. Bila itu terjadi, menurut Go, akan membenarkan kesimpulan yang selama ini mengeram di tingkat persepsi, dan akhirnya keluar kata-kata dasar Cina!, atau dasar pribumi!.

Reportase: Suhariyanto (Surabaya), Eva Martha Rahayu, Asep Muhamad B.S.
Riset: Vika Octavia

newsonline

About newsonline

Terkenal dengan ragam kulinernya yang lezat, ibu kota Sumatera Utara ini juga merupakan kota terbesar yang berada di luar Pulau Jawa. Memiliki luas 265,1 kilometer persegi, letak Medan yang berada dekat dengan Selat Malaka menjadikannya sebagai kota perdagangan, bisnis, dan industri yang sangat penting di Indonesia.

Subscribe to this Blog via Email :

1 komentar:

Write komentar
Fennycia Lim
AUTHOR
16 Oktober 2019 pukul 00.12 delete

agen sabung ayam Terpercaya & Terbesar di Indonesia !
Taruhan Sabung Ayam S128 - SV388 - CFT2288 (KUNGFU)
Bonus 10% Deposit Pertama / Cashback 5% - 10%
Yuk Gabung Bersama Bolavita Di Website www.bolavita1.com
Untuk Info, Bisa Hubungi Customer Service Kami ( SIAP MELAYANI 24 JAM ) :
Telegram : +62812-2222-995 / https://t.me/bolavita
Wechat : Bolavita
WA : +62812-2222-995
Line : cs_bolavita

Reply
avatar
Perumahan Islami |   • Bisnis Bakrie |   • Bisnis Kalla |   • Rancang Ulang |   • Bisnis Khairul Tanjung |   • Chow Kit |   • Pengusaha |   • Ayo Buka Toko |   • Wisata |   • Medco |   • Fansur |   • Autopart |   • Rumpin |   • Berita Aja |   • SWPD |   • Polemik |   • Perkebunan |   • Trumon |   • Legenda Putri Hijau |   • Ambalat conflictTerumbu Karang |   • Budidaya Ikan Hias Air Tawar |   • Budidaya Sawit |   • FlyDubai |   • PT Skunk Engineering Jakarta |   • Sejarah |   • They Rape Aour Grandma |   • Museum Sumut |   • Sorkam |   • Study |   • Indonesian University |   • Scholarship in Indonesia |   • Arabian InvestorsD-8 |   • BRIC-MIT |   • Negeriads-ku |   • Panen Iklan |   • PPC Indo |   • Adsensecamp |   • PPCMuslim |   • Iklan-ku |   • Iklan Buku |   • Internet Desa |   • Lowongan Kerja |   • Cari Uang Online |   • Pengusaha Indonesia |   • Indonesia Defense |   • Directory Bisnis |   • Inpire |   • Biofuel |   • Innovation |  
loading...