Namanya sudah tidak asing lagi. Pernah menjadi orang terkaya di Indonesia pada 2006. Dia juga pernah menjadi buronan negara gara-gara menggelapkan pajak Rp 1,3 triliun. Dialah Sukanto Tanoto.
Pekan ini namanya kembali mencuat setelah Forbes, Rabu 10 Maret 2010, mengeluarkan daftar nama 1000 orang terkaya dunia. Dia lagi-lagi masuk dalam kategori terkaya dengan peringkat 536.
Sukanto Tanoto, pemilik Raja Garuda Mas International itu memiliki kekayaan US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17,5 triliun. Meski demikian, peringkat dia turun dari posisi tahun lalu yang berada di peringkat 450.
Pria kelahiran Belawan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949 ini, bernama asli Tan Kang Hoo. Ia seorang pengusaha yang sukses berinvestasi di lebih 10 negara. Usahanya, banyak bergerak di bidang agrikultur, mulai dari bubur kertas hingga kelapa sawit. Semuanya kelas dunia. Usaha-usaha Sukanto ini semua dioperasikan dia di Singapura.
Dalam Tokohindonesia.com, Sukanto Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya, tegas dan keras. Pernah suatu ketika Sukanto kecil pergi ke tepi laut. Waktu pulang ditanya ibunya, jawabnya mengarang, Sukanto kecil dipukul pakai rotan. “Saya paling banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu.
Tapi, dengan sifat keras dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja Garuda Mas.
Saat 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga. Meneruskan usaha orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil membaca buku. Dari situ, Sukanto pertama kali belajar keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah.
Pindah dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor & supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh. Ditawari kerja sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya.
Pandai melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. Saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.
Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatera, Sukanto membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
Setelah itu, Sukanto membuat PT Inti Indorayon Utama. Perusahaan ini mengelola hutan tanaman industri dan pabrik bubur kertas. Kehadiran Indorayon sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup karena ditengarai mencemari Danau Toba. Indorayon pun ditutup.
Sukanto lantas membuka di Riau, melalu PT Riau Pulp. Pabrik kertas terpadu ini merupakan pabrik terbesar di dunia.
Sukanto juga pernah memiliki Unibank. Saat itu, United City Bank mengalami kesulitan keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit dengan nama Unibank. Namun, bank ini akhirnya ditutup juga. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza.
Tidak hanya di dalam negeri, ia melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit National Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina, dan electro Magnetic di Singapura, serta pabrik kertas di China yang kini sudah dijual untuk memperbesar PT Riau Pulp.
Sejak 1997, Sukanto memilih bermukim di Singapura bersama keluarga dan mengambil kantor pusat di negeri itu. Obsesinya, ingin jadi pengusaha Indonesia yang bersaing di arena global, minimal di Asia.
Pekan ini namanya kembali mencuat setelah Forbes, Rabu 10 Maret 2010, mengeluarkan daftar nama 1000 orang terkaya dunia. Dia lagi-lagi masuk dalam kategori terkaya dengan peringkat 536.
Sukanto Tanoto, pemilik Raja Garuda Mas International itu memiliki kekayaan US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17,5 triliun. Meski demikian, peringkat dia turun dari posisi tahun lalu yang berada di peringkat 450.
Pria kelahiran Belawan, Sumatera Utara, 25 Desember 1949 ini, bernama asli Tan Kang Hoo. Ia seorang pengusaha yang sukses berinvestasi di lebih 10 negara. Usahanya, banyak bergerak di bidang agrikultur, mulai dari bubur kertas hingga kelapa sawit. Semuanya kelas dunia. Usaha-usaha Sukanto ini semua dioperasikan dia di Singapura.
Dalam Tokohindonesia.com, Sukanto Tanoto mengaku sosoknya mirip ibunya, tegas dan keras. Pernah suatu ketika Sukanto kecil pergi ke tepi laut. Waktu pulang ditanya ibunya, jawabnya mengarang, Sukanto kecil dipukul pakai rotan. “Saya paling banyak makan rotan,” kenangnya tentang sosok sang ibu.
Tapi, dengan sifat keras dan tegas, termasuk dalam hal berbisnis, ia bisa menjadi salah seorang pengusaha papan atas Indonesia, memimpin sejumlah perusahaan di bawah grup Raja Garuda Mas.
Saat 18 tahun, ayahnya, Amin Tanoto, sakit stroke. Sulung dari tujuh bersaudara ini lalu mengambil alih tanggung jawab keluarga. Meneruskan usaha orangtua berjualan minyak, bensin, dan peralatan mobil. Pekerjaan yang tak asing baginya karena sepulang sekolah ia biasa membantu orangtuanya sambil membaca buku. Dari situ, Sukanto pertama kali belajar keterampilan bisnis, termasuk menerima kenyataan dan tidak menyerah.
Pindah dari kota kelahirannya, Belawan, Sumatra Utara, ke Medan, ia juga berdagang onderdil mobil, lalu mengubah usaha itu menjadi general contractor & supplier. Suatu ketika, datang Sjam, seorang pejabat Pertamina dari Aceh. Ditawari kerja sama pekerjaan kontraktor, “Ya, mau-mau saja, wong saya masih muda,” ujarnya.
Pandai melihat peluang, waktu impor kayu lapis dari Singapura menghilang di pasaran, di Medan ia mendirikan perusahaan kayu, CV Karya Pelita, 1972. Saat orang lain belum membuat kayu lapis, ia memproduksi kayu lapis dan mengubah nama perusahaannya menjadi PT Raja Garuda Mas. Kayu lapis bermerek Polyplex itu diimpor ke berbagai negara Pasaran Bersama Eropa, Inggris, dan Timur Tengah.
Ketika belum ada orang membuka perkebunan swasta besar-besaran, walaupun waktu itu sudah ada perkebunan asing, di Sumatera, Sukanto membuka perkebunan kelapa sawit secara besar-besaran.
Setelah itu, Sukanto membuat PT Inti Indorayon Utama. Perusahaan ini mengelola hutan tanaman industri dan pabrik bubur kertas. Kehadiran Indorayon sempat ditentang masyarakat dan aktivis lingkungan hidup karena ditengarai mencemari Danau Toba. Indorayon pun ditutup.
Sukanto lantas membuka di Riau, melalu PT Riau Pulp. Pabrik kertas terpadu ini merupakan pabrik terbesar di dunia.
Sukanto juga pernah memiliki Unibank. Saat itu, United City Bank mengalami kesulitan keuangan, pada 1986-1987, ia mengambil alih mayoritas sahamnya dan bangkit dengan nama Unibank. Namun, bank ini akhirnya ditutup juga. Di Medan, ia pun merambah bidang properti, dengan membangun Uni Plaza, kemudian Thamrin Plaza.
Tidak hanya di dalam negeri, ia melebarkan sayap ke luar negeri, dengan ikut memiliki perkebunan kelapa sawit National Development Corporation Guthrie di Mindanao, Filipina, dan electro Magnetic di Singapura, serta pabrik kertas di China yang kini sudah dijual untuk memperbesar PT Riau Pulp.
Sejak 1997, Sukanto memilih bermukim di Singapura bersama keluarga dan mengambil kantor pusat di negeri itu. Obsesinya, ingin jadi pengusaha Indonesia yang bersaing di arena global, minimal di Asia.
1 komentar:
Write komentarLearn Spanish Online using Synergy Spanish going through the most advanced technique.
Reply