Jumat, 05 September 2025
Suriah Luncurkan Dana Pembangunan Nasional
Persaingan Drone Dua Pemerintahan Sudan Makin Ketat
Selasa, 02 September 2025
Saat Israel Lumpuhkan Militer Suriah Pasca Assad Lengser
Minggu, 31 Agustus 2025
Dua Presiden Sudan dan Masa Depan Dialog Damai
Baik, saya akan rangkum perkiraan populasi di wilayah masing-masing pemerintahan Sudan (Burhan vs Hemedti) sekaligus sumber daya alam yang mereka kuasai. Data ini sifatnya perkiraan karena konflik membuat angka resmi sulit diverifikasi.
Wilayah Pemerintah Burhan (Khartoum dan wilayah timur-utara Sudan)
- Populasi: Sekitar 20–22 juta jiwa. Khartoum sendiri sebelum perang dihuni lebih dari 7 juta orang, namun jutaan telah mengungsi akibat konflik. Wilayah utara dan timur yang masih berada di bawah kendali Burhan termasuk Port Sudan, yang kini menjadi pusat administratif sementara, serta daerah di sepanjang Sungai Nil.
- Sumber daya alam:
- Pertanian: Lahan subur di sepanjang Sungai Nil, terutama gandum, sorgum, dan kapas.
- Pelabuhan: Port Sudan di Laut Merah adalah akses utama ekspor-impor, termasuk minyak dan emas.
- Energi: Infrastruktur minyak (pipa ekspor ke Port Sudan), meski banyak ladang minyak berada di wilayah selatan.
- Mineral: Deposit tembaga, mangan, dan seng di bagian utara.
Wilayah Pemerintah Paralel Hemedti (RSF di Darfur, Kordofan, Nyala, dan sebagian barat-selatan Sudan)
- Populasi: Sekitar 15–17 juta jiwa. Wilayah Darfur memiliki sekitar 9–10 juta sebelum perang, meski sebagian besar mengungsi ke Chad. Nyala, ibu kota Darfur Selatan, menjadi pusat administrasi pemerintahan paralel. Kordofan juga berpenduduk padat dengan komunitas pastoral.
- Sumber daya alam:
- Emas: Darfur dan Kordofan merupakan pusat tambang emas terbesar di Sudan. RSF diketahui menguasai jalur perdagangan emas ilegal, yang menjadi sumber pendanaan utama mereka.
- Pertanian: Produksi biji-bijian, kacang tanah, dan tanaman ternak di dataran luas Darfur dan Kordofan.
- Peternakan: Populasi unta, sapi, dan domba yang besar, penting bagi perdagangan lokal dan ekspor.
- Kayu dan gum arabic: Darfur menghasilkan getah arab (gum arabic) yang merupakan komoditas ekspor penting Sudan.
Gambaran Umum
Secara total, Sudan memiliki sekitar 47–50 juta penduduk (perkiraan PBB 2025), namun kini terpecah oleh konflik dan jutaan mengungsi ke luar negeri, terutama ke Chad, Mesir, dan Ethiopia. Dari sisi sumber daya, Burhan menguasai akses laut dan ekspor resmi, sementara Hemedti menguasai tambang emas dan jalur perdagangan darat ke Chad dan Libya. Inilah yang membuat konflik sulit dipadamkan, karena kedua pihak sama-sama punya basis ekonomi dan demografi yang kuat.
Selasa, 01 Juli 2025
Kabul Desak Tehran Permudah Pengembalian Aset Pengungsi Afghanistan
Minggu, 29 Juni 2025
Menuju Kemandirian Ekonomi Rohingya
Sabtu, 28 Juni 2025
MoU Jet Tempur KAAN Dorong Lompatan Teknologi RI
Warga Suriah Pulang, Ekonomi Diharap Pulih
Genosida dan Pembantaian Palestina oleh Israel di Gaza Bermula Tahun 48
Sejarah panjang penderitaan rakyat Gaza bukanlah dimulai saat roket pertama ditembakkan atau blokade diberlakukan, melainkan jauh sebelumnya—sejak tahun 1948, ketika ribuan keluarga Palestina diusir dari tanah kelahiran mereka dalam gelombang eksodus massal yang oleh bangsa Palestina disebut sebagai Nakba, atau malapetaka. Kota-kota seperti Al-Majdal Asqalan, yang kini dikenal sebagai Ashkelon di selatan Israel, menjadi saksi awal dari pengusiran sistematis terhadap penduduk Arab Palestina oleh pasukan Israel yang baru terbentuk. Warga Al-Majdal kala itu, setelah menyerah pada pasukan Zionis, tidak langsung dibunuh atau dibiarkan bebas. Mereka terlebih dahulu dikurung dalam kamp-kamp berduri yang dijaga ketat sebelum akhirnya digiring menuju selatan dan dibuang ke wilayah sempit bernama Jalur Gaza.
Kamp-kamp ini bukan fasilitas pengungsian yang layak, melainkan zona konsentrasi sementara sebelum para pengungsi dilempar keluar dari batas negara baru yang dideklarasikan. Pemerintah Israel tidak pernah memberikan hak kembali kepada mereka yang terusir, dan justru menetapkan hukum yang menjadikan mereka sebagai orang asing di tanah sendiri. Para pengungsi yang berasal dari kota-kota seperti Jaffa, Beersheba, Lydda, Ramla, dan tentu saja Majdal, mendapati diri mereka hidup dalam tenda-tenda darurat di tanah asing, yang tak lama kemudian menjadi penjara terbesar di dunia: Gaza.
Pasca pembantaian dan pengusiran, populasi Gaza membengkak drastis. Jika sebelum 1948 Gaza dihuni oleh sekitar 80 ribu orang, dalam waktu singkat jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 200 ribu, lalu terus berkembang hingga dua juta jiwa lebih hari ini. Sekitar 70 hingga 80 persen penduduk Gaza adalah pengungsi atau keturunan pengungsi dari wilayah yang kini menjadi Israel. Mereka tumbuh besar dengan narasi pengusiran yang diwariskan dari generasi ke generasi, hidup di kamp-kamp pengungsi permanen seperti Jabalia, Shati, dan Khan Younis yang sampai hari ini tetap berdiri dalam kemiskinan dan keterbatasan akses.
Keberadaan kamp-kamp ini bukan semata-mata soal fisik, melainkan juga psikis. Rasa kehilangan, ketidakadilan, dan penolakan terhadap pelupaan membentuk karakter kolektif rakyat Gaza. Mereka bukan hanya miskin karena embargo atau perang, tapi juga karena identitas mereka sebagai warga tak bertanah air ditegaskan setiap hari melalui realitas kamp yang sempit dan kumuh. Gaza menjadi semacam arsitektur penderitaan yang dipertahankan oleh sistem politik dan militer, bukan karena ketidakmampuan dunia menyelesaikannya, tapi karena keengganan untuk mengakui akar masalahnya.
Sementara itu, di Tepi Barat, kisah pengusiran dan kolonisasi berlangsung dalam pola yang berbeda. Banyak warga Palestina di wilayah ini juga merupakan pengungsi, namun sebagian adalah penduduk asli yang berhasil bertahan di desa-desa mereka saat perang 1948. Namun setelah pendudukan Israel atas Tepi Barat pada 1967, banyak desa mengalami penyitaan tanah, pembangunan permukiman ilegal Israel, dan pembatasan gerak warga Palestina melalui pos pemeriksaan dan tembok pemisah. Kamp-kamp pengungsi seperti Balata, Jenin, dan Dheisheh didirikan oleh UNRWA sebagai tempat penampungan sementara, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi pemukiman permanen yang tetap dihuni oleh generasi baru pengungsi yang tak kunjung pulang.
Di sisi lain, terdapat pula kelompok yang dikenal sebagai “Palestina 48”, yakni warga Palestina yang tidak diusir pada 1948 dan tetap tinggal di wilayah yang kini menjadi negara Israel. Mereka adalah minoritas yang memperoleh kewarganegaraan Israel, namun tetap hidup sebagai warga kelas dua, menghadapi diskriminasi sistemik dalam hak atas tanah, pekerjaan, pendidikan, dan partisipasi politik. Mereka tidak diizinkan memperingati Nakba secara terbuka di sekolah atau media publik, menciptakan lapisan tambahan dari trauma yang tersembunyi namun tak pernah padam.
Ketiga kelompok ini—pengungsi Gaza, warga Tepi Barat, dan Palestina 48—sama-sama mengalami bentuk perampasan yang berbeda, namun bersumber dari akar sejarah yang sama: penciptaan Israel sebagai negara eksklusif Yahudi di atas tanah yang sebelumnya dihuni mayoritas Arab Palestina. Di Gaza, trauma ini terkonsentrasi dalam ruang yang paling sempit dan paling brutal. Blokade Israel sejak 2007 membuat wilayah ini menjadi semacam laboratorium penderitaan. Listrik dibatasi, air bersih langka, bantuan kemanusiaan diawasi, dan mobilitas hampir mustahil. Generasi muda Gaza tumbuh dalam lingkungan yang tidak mengenal normalitas hidup: tanpa sekolah yang stabil, tanpa masa depan yang pasti, dan tanpa kenangan yang indah akan rumah yang hilang.
Inilah yang dimaksud Max Blumenthal ketika mengatakan bahwa Gaza bukan hanya sekadar wilayah miskin yang tertimpa malapetaka, tetapi merupakan hasil dari rekayasa demografis dan politik. Ia menegaskan bahwa Israel dengan sadar mendorong para pengungsi ke Gaza, lalu mengurung mereka di sana, dan kini memperlakukan mereka sebagai ancaman eksistensial. Gaza bukan hanya masalah kemanusiaan, tetapi luka geopolitik yang disengaja.
Psikologi kolektif rakyat Gaza terbentuk dari ketercerabutan, ketertindasan, dan keteguhan untuk tidak melupakan. Mereka bukan korban bencana alam yang menunggu belas kasih, melainkan komunitas dengan sejarah panjang perjuangan dan perlawanan terhadap penghapusan identitas. Anak-anak Gaza tumbuh besar dengan mendengar kisah rumah di Majdal yang tak bisa dikunjungi, pohon zaitun di Beersheba yang ditebang, dan kunci rumah di Jaffa yang masih digantung di dinding sebagai simbol harapan.
Inilah yang membuat perjuangan rakyat Gaza berbeda. Mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk menjaga narasi keberadaan mereka tetap hidup. Mereka tidak bisa menyerah, sebab menyerah berarti membiarkan diri dilenyapkan dari peta sejarah. Dalam kondisi terjepit, sering kali mereka menjadi radikal bukan karena ideologi, tetapi karena keputusasaan yang tidak pernah mendapatkan saluran diplomasi yang adil.
Maka tak mengherankan bila perlawanan terus lahir dari Gaza, sebab wilayah ini bukan hanya sarang konflik, tetapi juga tempat berkumpulnya luka-luka yang tak kunjung sembuh. Dunia boleh membahas gencatan senjata, solusi dua negara, atau rekonstruksi ulang, tetapi selama narasi pengusiran dan penahanan ini tidak diselesaikan secara historis dan adil, Gaza akan terus menjadi titik api yang menyala dari dalam luka yang belum dijahit.
Bagi rakyat Gaza, tanah yang mereka tinggalkan bukan sekadar lokasi geografis. Itu adalah identitas, harga diri, dan alasan untuk bertahan di tengah kehancuran. Kamp-kamp yang mereka tinggali hari ini adalah pengingat akan sejarah yang belum ditutup, bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena pintu pulang masih terkunci.
Gaza, dalam konteks ini, bukan semata-mata krisis kemanusiaan, melainkan cerminan dari sebuah proyek kolonial modern yang menolak bertanggung jawab atas warisannya. Dan selama dunia hanya melihat Gaza dari angka korban atau puing bangunan, bukan dari sejarah panjang pengusiran dan penolakan hak kembali, maka penderitaan itu akan terus berulang dalam siklus yang menyayat hati.