Jumat, 05 September 2025

    Admin2

    Suriah Luncurkan Dana Pembangunan Nasional

    Presiden Suriah, Ahmad Al-Syar’, pada Kamis 4 September mengumumkan peluncuran Dana Pembangunan Suriah yang ditujukan untuk mendukung proses rekonstruksi pascaperang. Dana ini diharapkan mampu menghimpun sumbangan dari dalam maupun luar negeri dengan fokus warga Suriah di perantauan demi membangun kembali infrastruktur serta proyek-proyek vital yang menopang kehidupan masyarakat sehari-hari.

    Dalam pidatonya pada acara peresmian, Presiden Al-Syar’ menegaskan bahwa Suriah kini memasuki babak baru yang penuh harapan. Ia menyebut tahap ini sebagai fase pembangunan dan kebangkitan, di mana rakyat Suriah akan menuliskan sejarah baru dengan tangan mereka sendiri. “Hari ini kita berdiri di ambang era baru, era pembangunan dan rekonstruksi. Kita menulis sejarah Suriah dengan uang, tenaga, dan tekad kita sendiri,” ucapnya.

    Al-Syar’ juga menekankan bahwa tujuan utama dana ini bukan hanya membangun kembali infrastruktur, tetapi juga memulihkan kehidupan sosial dan ekonomi rakyat. Ia mengajak seluruh warga Suriah, baik yang berada di dalam negeri maupun diaspora, untuk ikut serta menyumbangkan sebagian harta mereka. Menurutnya, partisipasi rakyat adalah kunci untuk menjadikan Suriah kembali hijau dan makmur.

    “Dengan Dana Pembangunan Suriah, kami mengajak Anda semua untuk berkorban dan menyisihkan rezeki. Kita akan bangun kembali apa yang dihancurkan oleh rezim lama, dan kita akan hidupkan tanah yang mereka bakar agar kembali subur,” tegasnya dalam sambutan.

    Pemerintah Suriah berkomitmen bahwa pengelolaan dana ini akan dilakukan secara transparan. Presiden menyatakan setiap pemasukan dan pengeluaran akan diumumkan secara terbuka. Laporan penggunaan dana akan disampaikan secara berkala kepada publik, guna menjaga kepercayaan masyarakat dan para penyumbang.

    Menurut laporan kantor berita Suriah, SANA, hingga saat ini jumlah sumbangan yang berhasil dihimpun mencapai lebih dari 30 juta dolar Amerika. Angka tersebut dinilai sebagai awal yang menjanjikan untuk mendorong percepatan program pembangunan.

    Dana Pembangunan Suriah rencananya akan digunakan dengan fokus membangun pemukiman layak untuk pengungsi di perkotaan dan menutup kamp-kamp pengungsian yang tidak layak serta untuk memperbaiki jalan raya, jembatan, jaringan listrik, hingga sistem penyediaan air bersih. Infrastruktur dasar tersebut menjadi prioritas agar aktivitas masyarakat dapat kembali berjalan normal setelah bertahun-tahun dilanda krisis.

    Selain infrastruktur, dana ini juga akan difokuskan pada sektor kesehatan dan pendidikan. Banyak rumah sakit dan sekolah yang hancur akibat konflik akan direhabilitasi. Pemerintah berharap dengan demikian, kualitas hidup rakyat bisa meningkat secara bertahap.

    Di sektor ekonomi, dana tersebut akan dialokasikan untuk mendukung proyek-proyek produktif seperti pembangunan kawasan industri kecil dan pemberdayaan usaha mikro. Langkah ini diyakini mampu menciptakan lapangan kerja dan mengurangi angka pengangguran yang meningkat selama perang.

    Para pengamat menilai inisiatif ini sebagai langkah penting untuk mengembalikan stabilitas Suriah. Kehadiran Dana Pembangunan memberikan harapan baru, terutama bagi generasi muda yang mendambakan kehidupan lebih baik di tanah kelahiran mereka.

    Sementara itu, komunitas diaspora Suriah di berbagai negara dilaporkan menyambut baik langkah ini. Banyak dari mereka yang telah mengungkapkan niat untuk ikut serta memberikan kontribusi finansial. Mereka berharap dengan sumbangan tersebut, Suriah bisa bangkit lebih cepat dari keterpurukan.

    Meski demikian, tantangan yang dihadapi masih besar. Pengelolaan dana secara transparan harus benar-benar dijalankan agar tidak menimbulkan kecurigaan maupun penyalahgunaan. Kepercayaan publik menjadi faktor utama dalam menjaga keberlangsungan program ini.

    Presiden Al-Syar’ menegaskan bahwa Suriah akan menghindari praktik lama yang sarat dengan korupsi. Ia berjanji akan mengawasi langsung mekanisme penggunaan dana agar tepat sasaran. “Kami tidak akan mengulangi kesalahan masa lalu. Setiap sen yang terkumpul akan digunakan untuk rakyat,” katanya.

    Sebagai wujud komitmen, pemerintah Suriah akan membentuk dewan pengawas independen yang terdiri dari ekonom, teknokrat, dan perwakilan masyarakat sipil. Dewan ini bertugas memantau, mengevaluasi, dan melaporkan jalannya program pembangunan.

    Sejumlah negara sahabat Suriah juga disebutkan telah menyatakan minat untuk menyalurkan bantuan melalui Dana Pembangunan. Dukungan internasional ini diharapkan bisa mempercepat proses pemulihan nasional.

    Meskipun kondisi ekonomi masih tertekan akibat dampak konflik berkepanjangan, inisiatif ini menjadi simbol kebangkitan moral rakyat Suriah. Banyak warga menilai dana ini sebagai kesempatan emas untuk memperbaiki kehidupan bersama.

    Media lokal melaporkan bahwa dalam beberapa hari pertama sejak peluncuran, animo masyarakat cukup tinggi. Banyak pengusaha, tokoh masyarakat, hingga warga biasa turut memberikan sumbangan, meski dalam jumlah kecil.

    Atmosfer optimisme mulai terasa di berbagai kota. Poster dan spanduk bertuliskan ajakan untuk mendukung Dana Pembangunan Suriah kini menghiasi jalanan Damaskus dan Aleppo. Semangat kolektif ini menjadi pertanda awal kebangkitan nasional.

    Dengan fondasi awal yang kuat, Suriah berharap Dana Pembangunan dapat menjadi motor penggerak rekonstruksi jangka panjang. Meski jalan masih panjang dan penuh tantangan, langkah ini dinilai sebagai titik balik menuju masa depan yang lebih cerah.

    Peluncuran Dana Pembangunan Suriah menandai fase baru perjalanan bangsa itu setelah melalui masa kelam. Kini harapan muncul bahwa dengan tekad bersama, rakyat Suriah dapat kembali menata kehidupan mereka dan membangun negeri yang lebih adil serta sejahtera.


    Admin2

    Persaingan Drone Dua Pemerintahan Sudan Makin Ketat


    Persaingan industri drone di Sudan semakin intensif seiring konflik internal yang melibatkan SAF dan RSF. Dalam konteks ini, kedua pemerintahan—versi Khartoum dan Nyala—berupaya menegaskan dominasi teknologi udara untuk mendukung operasi militer mereka. Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa kemampuan drone menjadi indikator penting dalam persaingan strategis kedua kubu.

    Pemerintahan versi Khartoum telah menekankan pengembangan armada UAV modern melalui proyek-proyek lokal. Salah satunya adalah Safaroog, drone serang satu arah yang dikembangkan untuk meningkatkan kemandirian dan menurunkan biaya operasi. Kehadiran UAV ini mencerminkan ambisi Khartoum untuk memodernisasi militernya secara berkelanjutan.

    Safaroog memiliki presisi tinggi, jangkauan luas, dan kemampuan adaptasi yang membuatnya efektif untuk serangan ofensif maupun pengendalian wilayah konflik. Drone ini juga menunjukkan bahwa Sudan mulai mampu menghasilkan alternatif lokal terhadap drone impor dari China dan Iran. Strategi ini mengurangi ketergantungan pada suplai luar dan meningkatkan kemampuan teknologi domestik.

    Selain itu, Safaroog telah menarik perhatian pasar regional. Minat dari negara-negara Timur Tengah membuka peluang ekspor, menandai Sudan sebagai pemain baru dalam industri pertahanan regional. UAV ini tidak hanya berperan dalam konflik domestik, tetapi juga menunjukkan kapasitas Sudan untuk bersaing di pasar global.

    Dalam operasi di lapangan, SAF berhasil mengamankan sistem perang elektronik Groza-S yang semula digunakan RSF. Sistem ini dikembangkan oleh Belarus dan berfungsi untuk menetralkan ancaman UAV lawan. Penangkapan perangkat ini di pangkalan RSF utara Khartoum memperlihatkan intensitas persaingan teknologi di tengah konflik bersenjata.

    Groza-S dan UAV lainnya memperlihatkan bahwa dimensi udara menjadi semakin krusial dalam perang Sudan. Kedua belah pihak kini mengandalkan kombinasi drone ofensif dan sistem anti-UAV untuk memperoleh keunggulan di medan tempur. Persaingan ini mendorong inovasi cepat dan adopsi teknologi baru secara berkesinambungan.

    Pemerintahan versi Nyala menghadapi tantangan besar dalam industri drone. Nyala berencana membangun kemampuan dari awal, termasuk fasilitas produksi dan program pelatihan operator UAV. Ambisi ini menunjukkan keinginan RSF untuk mengejar ketertinggalan dibandingkan Khartoum yang sudah memiliki armada Safaroog.

    Meski baru memulai, Nyala memiliki peluang strategis karena dapat menyesuaikan desain dan produksi UAV sesuai kebutuhan lapangan. Pendekatan ini memungkinkan RSF memanfaatkan pengalaman konflik sebelumnya dan menyesuaikan teknologi untuk menghadapi SAF yang lebih dulu memiliki drone canggih.

    Industri drone di Nyala juga bisa memanfaatkan kerjasama eksternal. Negara-negara yang selama ini mendukung RSF, termasuk beberapa negara Timur Tengah, potensial menjadi sumber teknologi, pelatihan, maupun bahan baku UAV. Hal ini dapat mempercepat proses produksi dan mengurangi waktu pengembangan.

    Persaingan ini bukan sekadar soal jumlah drone, tetapi juga kemampuan operasional dan integrasi sistem. SAF dengan Safaroog telah menekankan efisiensi, presisi, dan interoperabilitas dengan sistem komando. Nyala harus mengejar tidak hanya produksi, tetapi juga integrasi teknologi ke dalam strategi militer.

    Kehadiran UAV dalam konflik Sudan telah mengubah paradigma peperangan. Drone kini menjadi alat utama dalam pengintaian, serangan presisi, dan kontrol wilayah. Kedua kubu menyadari bahwa penguasaan dimensi udara menjadi penentu kemenangan jangka panjang.

    Keunggulan teknologi udara Khartoum menjadi tantangan nyata bagi Nyala. Namun, RSF memiliki fleksibilitas untuk mengadopsi teknologi baru lebih cepat karena memulai dari nol. Hal ini memberi peluang untuk mengejar ketertinggalan jika strategi pengembangan UAV dijalankan konsisten.

    Pemerintahan versi Khartoum juga terus meningkatkan kemampuan drone impor. Drone dari China dan Iran tetap menjadi tulang punggung armada, sementara Safaroog menawarkan alternatif domestik yang lebih murah dan cepat diterapkan. Kombinasi ini memperkuat posisi Khartoum di medan tempur.

    Di sisi Nyala, proses pembangunan industri UAV membutuhkan waktu, tetapi pengalaman lapangan memberikan insight yang berharga. RSF dapat merancang UAV dengan fokus pada kebutuhan spesifik konflik Sudan, termasuk mobilitas tinggi dan kemampuan bertahan di medan yang sulit.

    Selain aspek militer, industri drone juga memiliki potensi ekonomi. Pengembangan UAV Safaroog telah menarik minat internasional, dan jika Nyala berhasil membangun kapasitas produksi, mereka juga dapat memanfaatkan peluang pasar regional, khususnya negara-negara yang ingin membeli UAV cost-effective.

    Persaingan drone ini mencerminkan perlombaan teknologi di tengah konflik internal Sudan. Kedua kubu berupaya menguasai dimensi udara, memaksimalkan efisiensi operasi, dan meningkatkan kemandirian teknologi. Kompetisi ini juga menjadi indikator kapasitas masing-masing pemerintah dalam inovasi pertahanan.

    Teknologi UAV kini menjadi simbol kekuatan dan kemampuan strategis Sudan. Safaroog, meski masih terbatas, menjadi representasi ambisi Khartoum untuk menguasai inovasi lokal. Nyala, di sisi lain, menekankan pembangunan dari awal sebagai kesempatan menutup celah teknologi.

    Secara keseluruhan, industri drone Sudan menjadi medan baru dalam konflik yang sudah berlangsung lama. Kemenangan di udara kini menjadi kunci dominasi wilayah dan memengaruhi keseimbangan kekuatan antara SAF dan RSF.

    Peluang Nyala untuk mengejar ketertinggalan tetap terbuka. Dengan strategi produksi yang tepat, dukungan eksternal, dan pemanfaatan pengalaman konflik, RSF bisa mulai menutup jarak dengan kemampuan drone Khartoum.

    Dengan begitu, persaingan industri UAV di Sudan bukan hanya soal alat tempur, tetapi juga soal inovasi, teknologi, dan pengaruh strategis. Masa depan konflik Sudan kemungkinan akan sangat dipengaruhi oleh siapa yang berhasil memimpin dalam dimensi udara.

    Selasa, 02 September 2025

    Admin2

    ‎Saat Israel Lumpuhkan Militer Suriah Pasca Assad Lengser‎

    ‎Serangan besar-besaran Israel terhadap Suriah setelah lengsernya Bashar al-Assad membuka babak baru dalam sejarah militer kawasan. Dalam waktu singkat, lebih dari tujuh puluh persen kekuatan strategis Suriah hancur.
    ‎Armada lautnya lenyap, pesawat tempurnya luluh lantak, sistem pertahanan udaranya porak-poranda. Peristiwa ini mencatatkan salah satu serangan tercepat dan paling menghancurkan di Timur Tengah dalam beberapa dekade terakhir.
    ‎Angkatan Laut Suriah menjadi korban paling jelas dari gempuran ini. Seluruh kapal perang yang tersisa, termasuk kapal cepat kelas Osa-Class, hancur di pelabuhan Latakia dan Al-Bayda. Laporan menyebut sedikitnya lima belas kapal karam atau rusak parah hingga tak lagi bisa beroperasi. Dengan kondisi itu, Suriah praktis kehilangan kekuatan maritimnya di Laut Mediterania.
    ‎Tidak hanya laut, kekuatan udara Suriah juga menerima hantaman yang telak. Sedikitnya tiga puluh pesawat MiG-29 hancur, disusul belasan Sukhoi Su-24 yang luluh lantak di pangkalan udara. Armada MiG-23 yang berjumlah puluhan tak luput dari pemboman. Ditambah sebelas helikopter serbu Gazelle yang juga musnah, kekuatan udara Suriah mengalami kerugian yang hampir mustahil dipulihkan dalam waktu dekat.
    ‎Kerugian pada angkatan udara itu berarti lebih dari sekadar hilangnya pesawat. Infrastruktur penting seperti hanggar, jalur lepas landas, hingga depot senjata juga turut hancur. Tanpa dukungan logistik dan fasilitas pendukung, sisa pesawat yang mungkin selamat pun sulit untuk diterbangkan. Efek domino ini membuat Suriah kehilangan kemampuan bertahan di udara.
    ‎Sistem pertahanan udara Suriah pun tidak mampu menahan gempuran. Lebih dari delapan puluh persen sistem SA-17 dan SA-22 dihancurkan. Bahkan diperkirakan sembilan puluh persen jaringan pertahanan udara yang selama ini menjadi perisai Damaskus kini lumpuh total. Dengan situasi itu, langit Suriah terbuka lebar bagi pesawat-pesawat tempur Israel.
    ‎Tank dan kendaraan lapis baja juga menjadi target. Meski jumlah pastinya tidak terungkap, berbagai laporan menyebut ratusan unit dihancurkan atau ditinggalkan dalam kondisi rusak berat. Gudang amunisi dan pabrik perakitan militer Suriah juga dibom. Akibatnya, kemampuan Suriah untuk melakukan operasi darat dalam skala besar tereduksi drastis.
    ‎Serangan ini dilancarkan dengan intensitas luar biasa. Dalam waktu hanya 48 jam, antara 250 hingga 480 serangan udara ilegal dilakukan Israel ke berbagai titik strategis. Skala operasi ini menunjukkan perencanaan matang dan keterlibatan intelijen yang mendalam. Efek psikologisnya pun besar, karena dalam sekejap Suriah berubah dari negara dengan kekuatan militer cukup besar menjadi nyaris tak berdaya.
    ‎Total kerugian Suriah sulit dibayangkan. Lebih dari tujuh puluh hingga delapan puluh persen aset strategis militer mereka hancur. Nilai ekonominya bisa mencapai miliaran dolar, belum termasuk hilangnya kemampuan tempur. Dalam kondisi ekonomi yang sudah rapuh akibat perang panjang, membangun kembali kekuatan militer dalam waktu dekat nyaris mustahil dilakukan.
    ‎Yang menarik, banyak pengamat menilai serangan sebesar ini mustahil dilakukan tanpa sepengetahuan Rusia. Moskow memiliki pangkalan militer utama di Suriah, termasuk di Latakia dan Tartus. Sistem pertahanan udara canggih Rusia seperti S-300 dan S-400 juga ditempatkan di wilayah itu. Namun saat Israel menggempur, sistem-sistem tersebut seakan bungkam.
    ‎Diamnya Rusia menimbulkan spekulasi bahwa ada kesepahaman tidak tertulis dengan Israel. Hubungan militer kedua negara memang rumit. Di satu sisi, Rusia menjadi sekutu Assad selama perang Suriah. Namun di sisi lain, Rusia menjaga saluran komunikasi intens dengan Israel agar kepentingannya di kawasan tidak terganggu. Situasi ini membuat Suriah terjebak dalam dilema besar.
    ‎Bagi Israel, serangan ini adalah langkah strategis untuk mengamankan perbatasannya. Dengan melemahkan Suriah, Israel berharap pemerintahan baru Suriah di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa menjadi mandul dan tumpul dalam mempertahankan kedaulatan negaranya. Serangan ini juga menjadi sinyal keras bahwa Israel tidak akan membiarkan ada kekuatan besar di dekat perbatasannya, khususnya dalam rangka proyek neo kolonialisme Greater Israel.
    ‎Bagi Suriah, kehancuran militer ini adalah pukulan paling menyakitkan sejak perang saudara meletus pada 2011. Meski Assad telah lengser, harapan membangun kembali negara yang stabil kini semakin jauh. Tanpa angkatan laut, tanpa kekuatan udara, dan dengan pertahanan udara yang lumpuh, Suriah berada di titik paling rentan sepanjang sejarah modernnya, yang membuat separatis milisi Druze Al Hajri dan SDF Kurdi meremehkan Damaskus.
    ‎Situasi ini juga mengubah peta geopolitik kawasan. Negara-negara tetangga melihat betapa lemahnya Suriah kini, sementara Israel memperlihatkan keunggulan mutlaknya. Mesir, Turki, dan Iran tentu mencatat perubahan ini dengan seksama. Kekuatan-kekuatan besar dunia juga tidak bisa mengabaikan dampaknya pada stabilitas kawasan Timur Tengah.
    ‎Pertanyaan besar yang muncul adalah apakah Suriah di bawah Presiden Al Sharaa telah resmi menjadi jajahan Israel? Apakah Rusia akan tetap mempertahankan basis militernya pasca perubahan kepemimpinan? Akah Turkiye akan membiarkan warga Suriah dibantai kapan saja oleh Israel seperti yang terjadi di Gaza, Palestina? Ketidakpastian ini menambah rumitnya dinamika politik di kawasan.
    ‎Kerugian Suriah tidak hanya diukur dari sisi militer. Runtuhnya kekuatan pertahanan negara membuat rakyat Suriah semakin tidak terlindungi. Keamanan perbatasan rapuh, kontrol udara hilang, dan jalur laut tidak lagi bisa dijaga. Semua ini memperbesar ancaman dari Israel yang akan mendikte Damaskus dengan serangan berkala yang membunuh warga Suriah untuk menekan Damaskus dalam berbagai perundingan termasuk mengakui Dataran Tinggi Golan yang dijajah Tel Aviv secara ilegal menjadi milik resmi Israel.
    ‎Israel sendiri tampaknya belum selesai. Dengan Suriah yang kini lemah, operasi lanjutan telah dilakukan untuk memastikan tidak ada sisa kekuatan yang mampu bangkit kembali. Serangan lanjutan itu sekaligus menjadi pesan kepada Presiden Suriah yang baru bahwa Israel, dengan dukungan AS dan NaATO di belakang layar, bisa kapan saja membantai warga Suriah yang tak berdosa jika tak tunduk pada neo kolonialisme Israel Raya.
    ‎Meski demikian, serangan Israel juga bisa menimbulkan efek jangka panjang yang tak terduga. Kehancuran total Suriah mungkin akan memunculkan kenyatan politik baru. Tanpa negara yang kuat, Suriah bisa menjadi arena persaingan berbagai kekuatan regional dan internasional, persis seperti Irak pasca 2003.
    ‎Rusia kini berada dalam posisi sulit. Diamnya sistem pertahanan mereka saat Israel menyerang menimbulkan tanda tanya besar. Jika Moskow sengaja membiarkan, artinya mereka rela kepemimpinan Suriah yang baru untuk curiga pada posisinya. Jika tidak, maka berarti teknologi pertahanan mereka tidak mampu mencegah serangan Israel. Keduanya sama-sama menurunkan wibawa Rusia.
    ‎Di tengah semua ini, rakyat Suriah menjadi pihak yang paling menderita. Puluhan tahun mereka hidup dalam konflik, kini negara mereka kehilangan kemampuan bertahan. Jalan menuju pemulihan semakin panjang dan berliku. Rakyat Suriah menjadi target murah bagi hegemoni Israel yang tak pernah dihalau oleh PBB karena AS dkk di belakangnya. Dunia pun harus bertanya, apakah tragedi Suriah akan terus berlanjut tanpa akhir yang jelas.
    ‎Israel mungkin telah mencapai tujuan militernya, sebagai negara teror yang ditakuti di kawasan, tetapi dampak sosial dan politik dari serangan besar-besaran ini masih akan terasa lama. Suriah kini tinggal bayangan dari negara yang dulu dikenal sebagai kekuatan militer regional. Dan dunia kembali diingatkan betapa rapuhnya keseimbangan di Timur Tengah ketika kekuatan besar terlibat langsung dalam perang terbuka.

    Minggu, 31 Agustus 2025

    Admin2

    Dua Presiden Sudan dan Masa Depan Dialog Damai

    Kebuntuan politik di Sudan memasuki babak baru setelah Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti resmi dilantik sebagai kepala Dewan Kepresidenan dalam pemerintahan paralel yang berpusat di Nyala. Dengan langkah ini, Sudan kini menghadapi kenyataan memiliki dua presiden de facto, yakni Jenderal Abdel Fattah al-Burhan di Khartoum dan Hemedti di wilayah selatan.

    Video pelantikan yang beredar luas menunjukkan Hemedti mengucapkan sumpah setia kepada Republik Sudan. Ia berjanji menjalankan tugas dengan jujur, transparan, dan berkomitmen pada kemajuan rakyat. Namun, di balik sumpah itu, jelas terlihat adanya perebutan legitimasi politik di antara dua kubu militer yang kini membelah Sudan.

    Kehadiran dua pusat kekuasaan ini menimbulkan pertanyaan besar tentang masa depan dialog damai di negeri tersebut. Di satu sisi, Burhan masih menguasai struktur pemerintahan resmi dan mendapat dukungan sebagian komunitas internasional. Di sisi lain, Hemedti melalui Rapid Support Forces (RSF) yang akan menjadi militer resmi pemerintahan paralel berhasil membangun basis kekuasaan di wilayah barat dan selatan.

    Konflik yang awalnya bersifat militer kini berkembang menjadi krisis politik yang lebih kompleks. Kehadiran “dua presiden” membuat situasi semakin sulit diprediksi. Para analis khawatir bahwa Sudan bisa menuju pembelahan permanen jika tidak segera ada ruang dialog.

    Hemedti dalam pidato sumpahnya menekankan tekad untuk menjaga persatuan Sudan dan menjunjung konstitusi transisi. Namun, kenyataannya, tindakannya justru memperkuat polarisasi dengan membentuk pemerintahan tandingan. Hal ini membuat dialog damai menjadi agenda yang semakin berat.

    Burhan sejauh ini belum memberikan sinyal akan mengakui pemerintahan paralel tersebut. Ia tetap mengklaim sebagai kepala negara sah dan menolak semua upaya yang dianggap melemahkan otoritasnya di Khartoum. Sikap keras ini menunjukkan bahwa peluang dialog masih tertutup rapat. Meski PM baru versi Khartoum telah mengeluarkan sinyal perdamaian.

    Tekanan internasional semakin besar terhadap kedua pihak untuk mencari jalan keluar damai. Negara-negara tetangga dan organisasi regional seperti Uni Afrika mendorong agar dialog Sudan-Sudan bisa dimulai dengan prinsip kompromi. Namun, sejauh ini kedua pemimpin belum menunjukkan kesiapan menyerahkan sebagian kekuasaan.

    Pengamat menilai salah satu kendala utama adalah perebutan legitimasi. Selama masing-masing kubu menganggap dirinya sebagai pemerintah sah, sulit membayangkan mereka duduk di meja perundingan dengan posisi sejajar. Situasi ini bisa menyerupai konflik Libya yang juga terpecah karena adanya dua pemerintahan.

    Meskipun demikian, sejumlah analis optimistis bahwa faktor kelelahan perang dan krisis ekonomi bisa memaksa kedua pihak untuk berunding. Rakyat Sudan menghadapi kondisi kemanusiaan yang kian memburuk, dan tekanan publik bisa menjadi pendorong agar dialog benar-benar terjadi.

    Hemedti berusaha menampilkan citra sebagai pemimpin yang pluralis dan demokratis. Dalam sumpahnya, ia menyebut akan melindungi hak-hak rakyat dan mendukung sistem pemerintahan yang adil. Namun skeptisisme tetap tinggi dan kedua pemerintahan Sudan harus berkompetisi memajukan daerah masing-masing.

    Burhan pun berusaha memposisikan diri sebagai penjaga negara dan simbol kontinuitas. Namun, ia juga menghadapi kritik karena dianggap gagal mengembalikan stabilitas dan terus bergantung pada kekuatan militer. Keduanya sama-sama dipandang memiliki legitimasi yang rapuh.

    Dialog damai Sudan-Sudan sejatinya sangat mungkin terjadi bila ada mediator yang dipercaya kedua belah pihak. Namun, tantangan terbesarnya adalah menemukan sosok atau lembaga yang bisa menjembatani jurang kepercayaan yang begitu dalam antara Burhan dan Hemedti.

    Skenario terburuk adalah Sudan memasuki fase perpecahan permanen. Jika pemerintahan paralel terus berjalan, negara itu bisa terbelah antara timur-utara yang dikuasai Burhan dan barat-selatan di bawah Hemedti. Hal ini akan memperpanjang penderitaan rakyat yang sudah menghadapi krisis pangan dan pengungsian.

    Namun ada juga kemungkinan skenario kompromi. Jika salah satu pihak merasa terdesak, dialog bisa muncul dengan agenda pembagian kekuasaan sementara hingga tercapai kesepakatan transisi. Meski tampak jauh, opsi ini tetap dianggap sebagai jalan yang lebih realistis daripada perpecahan.

    Di tingkat regional, negara-negara tetangga Sudan khawatir konflik ini akan meluas. Sudan yang stabil sangat penting bagi keamanan kawasan, terutama bagi Mesir, Ethiopia, dan Chad. Mereka berpotensi memainkan peran lebih besar untuk mendorong dialog.

    Masyarakat internasional, terutama Barat, cenderung masih berhati-hati menyikapi dualisme kepemimpinan ini. Dukungan terbuka terhadap salah satu pihak bisa memperburuk konflik. Karena itu, tekanan diplomatik lebih diarahkan untuk membawa kedua pemimpin ke meja perundingan.

    Bagi rakyat Sudan, keberadaan dua presiden bukanlah simbol demokrasi, melainkan cerminan dari krisis negara yang tak kunjung selesai. Mereka berharap agar perselisihan elit segera diakhiri demi memulihkan kehidupan yang normal.

    Tantangan ke depan bukan hanya meyakinkan Burhan dan Hemedti untuk berdialog, tetapi juga memastikan bahwa dialog itu benar-benar membawa perubahan. Tanpa komitmen tulus dari kedua belah pihak, negosiasi hanya akan menjadi sandiwara politik yang berulang.

    Masa depan Sudan kini berada di persimpangan jalan. Apakah Burhan dan Hemedti mampu mengesampingkan ambisi pribadi demi persatuan bangsa, atau justru akan membawa negara itu ke jurang perpecahan permanen? Dialog Sudan-Sudan masih mungkin, tetapi jalannya penuh ranjau politik dan militer.
    Jenderal Abdel Fattah al-Burhan yang kini menjadi kepala pemerintahan di Khartoum adalah seorang perwira tinggi militer yang naik ke puncak kekuasaan setelah menggulingkan pemerintahan sipil pada 2021. Ia dikenal sebagai figur konservatif yang berupaya mempertahankan struktur negara dengan basis militer, sekaligus menjaga hubungan dengan Mesir dan negara Teluk. Kabinetnya terdiri dari figur-figur yang dekat dengan militer dan birokrat senior yang masih loyal kepada struktur negara lama. Fokus utama pemerintahan Burhan adalah mempertahankan legitimasi internasional, mengamankan Khartoum sebagai pusat kekuasaan, dan mencoba mengelola krisis ekonomi yang semakin menghimpit rakyat.

    Di sisi lain, Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti yang memimpin pemerintahan paralel di Nyala membangun basis kekuasaan melalui Rapid Support Forces (RSF), pasukan paramiliter yang berakar dari kelompok Janjaweed di Darfur. Hemedti berusaha menampilkan diri sebagai pemimpin rakyat dengan citra pluralis dan demokratis, meski reputasinya banyak dikaitkan dengan kekerasan. Kabinet paralelnya diisi oleh tokoh-tokoh sipil dan politikus lokal dari wilayah barat dan selatan yang selama ini merasa terpinggirkan oleh pusat. Pemerintahan ini diproyeksikan sebagai alternatif bagi mereka yang kecewa pada rezim Burhan, dengan agenda membangun Sudan yang lebih inklusif, meskipun keabsahannya di mata dunia masih dipertanyakan.

    Berikut adalah profil nama Perdana Menteri dan jajaran kabinetnya dari kedua pemerintahan di Sudan:


    ---

    Pemerintah Resmi (di bawah Presiden Burhan)

    Per 31 Mei 2025, Kamil Idris menjabat sebagai Perdana Menteri Sudan yang diakui secara internasional. Kabinetnya—disebut sebagai "Pemerintah Harapan" (Government of Hope)—tengah dirancang dan terdiri dari 22 menteri. Beberapa nama penting dalam kabinet ini adalah:

    Ismat Qureshi Abdallah sebagai Menteri Pertanian dan Irigasi,

    Lemia Abdel Ghaffar Khalafallah menjabat Menteri Urusan Kabinet (Cabinet Affairs),

    Hassan Daoud Kayan sebagai Menteri Pertahanan,

    Ahmed al-Dirdiri Ghandour memimpin Kementerian Transformasi Digital dan Komunikasi,

    Al-Tohami Al-Zain Hajar sebagai Menteri Pendidikan,

    Al-Mutasim Ibrahim sebagai Menteri Energi dan Perminyakan,

    Gibril Ibrahim memegang posisi Menteri Keuangan dan Perencanaan Ekonomi,

    Omar Mohamed Ahmed Siddig (menteri negara) menjabat sebagai Menteri Luar Negeri,

    Sulaima Ishaq (menteri negara) sebagai Menteri Sumber Daya Manusia dan Kesejahteraan Sosial,

    Mahasen Ali Yaqoub sebagai Menteri Perindustrian dan Perdagangan,

    Babiker Samra Mustafa memimpin Kementerian Dalam Negeri,

    Abdullah Mohamed Derf sebagai Menteri Kehakiman,

    Bashir Haroun Abdel Karim Abdullah sebagai Menteri Agama, dan

    Ahmed Adam Ahmed menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga .

    ---

    Pemerintah Paralel (di bawah Hemedti)

    Sementara itu, Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti) telah dilantik sebagai kepala pemerintahan paralel di Nyala, Sudan, mewakili Dewan Kepresidenan pemerintahan tandingan. Namun hingga saat ini tidak ada informasi publik resmi mengenai siapa saja yang duduk sebagai Perdana Menteri atau menteri-menteri dalam kabinet ini .

    Baik, saya akan rangkum perkiraan populasi di wilayah masing-masing pemerintahan Sudan (Burhan vs Hemedti) sekaligus sumber daya alam yang mereka kuasai. Data ini sifatnya perkiraan karena konflik membuat angka resmi sulit diverifikasi.


    Wilayah Pemerintah Burhan (Khartoum dan wilayah timur-utara Sudan)

    • Populasi: Sekitar 20–22 juta jiwa. Khartoum sendiri sebelum perang dihuni lebih dari 7 juta orang, namun jutaan telah mengungsi akibat konflik. Wilayah utara dan timur yang masih berada di bawah kendali Burhan termasuk Port Sudan, yang kini menjadi pusat administratif sementara, serta daerah di sepanjang Sungai Nil.
    • Sumber daya alam:
      • Pertanian: Lahan subur di sepanjang Sungai Nil, terutama gandum, sorgum, dan kapas.
      • Pelabuhan: Port Sudan di Laut Merah adalah akses utama ekspor-impor, termasuk minyak dan emas.
      • Energi: Infrastruktur minyak (pipa ekspor ke Port Sudan), meski banyak ladang minyak berada di wilayah selatan.
      • Mineral: Deposit tembaga, mangan, dan seng di bagian utara.

    Wilayah Pemerintah Paralel Hemedti (RSF di Darfur, Kordofan, Nyala, dan sebagian barat-selatan Sudan)

    • Populasi: Sekitar 15–17 juta jiwa. Wilayah Darfur memiliki sekitar 9–10 juta sebelum perang, meski sebagian besar mengungsi ke Chad. Nyala, ibu kota Darfur Selatan, menjadi pusat administrasi pemerintahan paralel. Kordofan juga berpenduduk padat dengan komunitas pastoral.
    • Sumber daya alam:
      • Emas: Darfur dan Kordofan merupakan pusat tambang emas terbesar di Sudan. RSF diketahui menguasai jalur perdagangan emas ilegal, yang menjadi sumber pendanaan utama mereka.
      • Pertanian: Produksi biji-bijian, kacang tanah, dan tanaman ternak di dataran luas Darfur dan Kordofan.
      • Peternakan: Populasi unta, sapi, dan domba yang besar, penting bagi perdagangan lokal dan ekspor.
      • Kayu dan gum arabic: Darfur menghasilkan getah arab (gum arabic) yang merupakan komoditas ekspor penting Sudan.

    Gambaran Umum

    Secara total, Sudan memiliki sekitar 47–50 juta penduduk (perkiraan PBB 2025), namun kini terpecah oleh konflik dan jutaan mengungsi ke luar negeri, terutama ke Chad, Mesir, dan Ethiopia. Dari sisi sumber daya, Burhan menguasai akses laut dan ekspor resmi, sementara Hemedti menguasai tambang emas dan jalur perdagangan darat ke Chad dan Libya. Inilah yang membuat konflik sulit dipadamkan, karena kedua pihak sama-sama punya basis ekonomi dan demografi yang kuat.

    Baca selanjutnya

    Selasa, 01 Juli 2025

    newsonline

    Kabul Desak Tehran Permudah Pengembalian Aset Pengungsi Afghanistan


    Pemerintah Kabul menegaskan bahwa mereka tengah melakukan pembicaraan serius dengan otoritas Iran mengenai pengembalian dana milik para pengungsi Afghanistan yang telah tinggal bertahun-tahun di Iran. Wakil Perdana Menteri Imarah Islam Afghanistan, Maulawi Abdul Salam Hanafi, menyatakan bahwa pembahasan ini meliputi hak-hak ekonomi para pengungsi, termasuk dana pribadi, tabungan, serta berbagai aset yang dimiliki selama tinggal di Iran. Pernyataan ini disampaikan di tengah meningkatnya arus kepulangan pengungsi ke Afghanistan dalam beberapa bulan terakhir.

    Isu pengembalian dana pengungsi menjadi salah satu titik krusial dalam hubungan bilateral Afghanistan dan Iran, mengingat ratusan ribu warga Afghanistan telah hidup, bekerja, dan membangun kehidupan di Iran selama puluhan tahun, baik secara legal maupun tidak. Banyak dari mereka memiliki simpanan di lembaga keuangan, menerima gaji dari pekerjaan informal, atau bahkan memiliki aset usaha kecil dan properti. Namun, status hukum yang tidak pasti kerap membuat mereka kesulitan mengakses atau membawa pulang kekayaan mereka saat kembali ke tanah air.

    Hingga kini, konektivitas sistem keuangan antara Iran dan Afghanistan masih terbatas. Meski kedua negara secara geografis berdekatan dan memiliki hubungan ekonomi historis, sistem perbankan mereka tidak sepenuhnya terintegrasi, terlebih sejak perubahan kekuasaan di Kabul pada Agustus 2021. Pemerintah Iran tetap menjalin hubungan pragmatis dengan pemerintahan Kabul saat ini, namun sanksi internasional terhadap Iran serta ketidakjelasan status pemerintahan Afghanistan di forum internasional menjadi hambatan utama.

    Ketiadaan sistem perbankan yang terkoneksi menyebabkan pengungsi kerap membawa uang secara fisik ketika kembali ke Afghanistan, yang meningkatkan risiko pencurian, pemerasan, atau kehilangan. Di sisi lain, pengiriman uang secara elektronik antarbank belum bisa berjalan mulus karena Afghanistan belum kembali terhubung dengan sistem pembayaran global seperti SWIFT, dan infrastruktur finansialnya masih dalam tahap pemulihan. Iran sendiri menghadapi kendala serupa akibat sanksi Barat atas program nuklirnya.

    Meski demikian, kedua negara mulai menunjukkan itikad memperbaiki saluran komunikasi keuangan. Beberapa laporan menyebutkan bahwa bank-bank lokal di perbatasan, terutama di wilayah Herat dan Nimroz di Afghanistan, serta di provinsi Sistan-Baluchestan di Iran, mulai mencari skema lokal untuk memfasilitasi transaksi lintas batas secara terbatas. Pembahasan lebih lanjut soal kerja sama antarbank di bawah otoritas lokal menjadi bagian dari upaya Kabul agar pengungsi bisa menarik kembali dana mereka secara sah dan aman.

    Menurut sejumlah pejabat di Kabul, pembahasan dengan Iran tak hanya soal uang yang masih tersimpan di rekening, tetapi juga mencakup gaji tertunda, pembayaran proyek, dan kompensasi atas kerugian usaha pengungsi yang terpaksa ditinggalkan saat eksodus terjadi. Banyak pengungsi Afghanistan, khususnya yang sudah tinggal sejak era 1980-an, telah mendirikan usaha seperti toko kelontong, restoran, atau berdagang di pasar tradisional di kota-kota Iran. Namun, sebagian besar usaha ini tidak didaftarkan secara resmi karena keterbatasan status hukum.

    Pihak Kabul juga menekankan pentingnya pendekatan kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah ini. Mereka meminta agar Iran memberikan kelonggaran dalam pencairan dana, tidak semata-mata berdasarkan dokumen formal yang sulit dimiliki oleh pengungsi. Di sisi lain, pemerintah Iran juga memiliki kekhawatiran terkait kemungkinan pencucian uang atau penyalahgunaan dana jika tidak diatur dengan ketat. Oleh karena itu, diskusi teknis antara otoritas keuangan kedua negara menjadi sangat krusial untuk menjembatani kepentingan ini.

    Di tengah keterbatasan kerja sama antarbank, muncul alternatif jalur informal seperti sistem hawala, yang selama ini memang menjadi sarana utama transfer dana di Asia Selatan dan Timur Tengah. Namun, Kabul menyatakan bahwa mereka ingin menghindari ketergantungan pada sistem ini karena rawan manipulasi, sulit ditelusuri, dan tidak memberi perlindungan hukum kepada pengirim maupun penerima. Kabul berupaya mendorong pembentukan mekanisme formal meski dengan keterbatasan teknologi dan pengakuan internasional.

    Jika pembicaraan ini berhasil, maka ini akan menjadi tonggak baru dalam hubungan ekonomi Iran-Afghanistan. Selain memberi kepastian kepada pengungsi, pengembalian dana ini juga bisa menghidupkan kembali roda ekonomi lokal di Afghanistan yang masih terpukul akibat pembekuan aset luar negeri dan terhentinya sebagian besar bantuan internasional. Kabul berharap, dana yang dibawa pulang oleh pengungsi bisa digunakan untuk membangun usaha kecil, membeli lahan pertanian, atau menyekolahkan anak-anak mereka.

    Bagi Iran sendiri, penyelesaian isu ini dapat memperkuat posisinya sebagai mitra regional yang bertanggung jawab, sekaligus memperingan beban sosial akibat penampungan pengungsi yang telah berlangsung puluhan tahun. Iran menjadi salah satu negara dengan jumlah pengungsi Afghanistan terbesar, dan tantangan ekonomi domestik membuat tekanan publik terhadap kehadiran pengungsi semakin tinggi. Mendorong repatriasi sukarela dan terhormat menjadi solusi jangka panjang yang kini mulai dibicarakan secara konkret.

    Dukungan internasional dalam bentuk teknis dan diplomatik dibutuhkan untuk menjamin keberhasilan proses ini. Lembaga seperti UNHCR dan IOM bisa memainkan peran sebagai mediator atau fasilitator untuk membantu verifikasi data pengungsi dan penyusunan mekanisme pembayaran lintas batas. Selain itu, negara-negara seperti Qatar dan Turki, yang memiliki hubungan baik dengan kedua pihak, bisa menjadi sponsor politik atau teknis dalam mewujudkan sistem keuangan bilateral yang aman.

    Jika skema ini terbentuk, maka kemungkinan Afghanistan dan Iran bisa mengembangkan sistem settlement regional berbasis mata uang lokal atau dinar digital. Beberapa ekonom menyebutkan bahwa peluang untuk menciptakan sistem pembiayaan Islam antar negara tetangga dapat dimulai dari kasus ini. Kabul sendiri sebelumnya pernah menyatakan niat untuk membangun sistem keuangan syariah yang independen dari pengaruh Barat, dan Iran memiliki infrastruktur perbankan syariah yang lebih matang.

    Namun, semua ini masih berada pada tahap negosiasi awal. Sejauh ini, belum ada rincian resmi mengenai skema teknis atau batas waktu yang disepakati. Akan tetapi, pernyataan terbuka dari pejabat tinggi Kabul menunjukkan bahwa isu ini mulai menjadi prioritas. Di tengah tekanan ekonomi yang dihadapi warga Afghanistan, setiap dana yang bisa dipulangkan dari luar negeri akan sangat berarti dalam menstabilkan situasi sosial dan mendukung proses reintegrasi warga yang pulang.

    Penting juga dicatat bahwa repatriasi pengungsi Afghanistan dari Iran tidak hanya persoalan ekonomi, tetapi juga menyentuh aspek kemanusiaan dan hak asasi. Para pengungsi yang selama ini hidup dalam keterbatasan dan diskriminasi berharap kepulangan mereka tidak hanya membawa trauma, tetapi juga membawa harapan. Dana yang berhasil mereka kumpulkan selama bekerja di Iran adalah hasil jerih payah bertahun-tahun, dan menjadi bagian penting dalam membangun masa depan yang lebih baik di tanah kelahiran.

    Pemerintah Kabul juga berharap bahwa penyelesaian isu dana pengungsi ini dapat membuka jalan kerja sama ekonomi yang lebih luas dengan Iran. Mulai dari perdagangan lintas batas, pembangunan jalur transportasi, hingga kolaborasi sektor energi. Kedua negara memiliki sejarah hubungan panjang dan potensi ekonomi yang besar jika mampu menempatkan isu-isu kemanusiaan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan.

    Situasi ini sekaligus menjadi ujian bagi Kabul dalam menunjukkan kapasitasnya sebagai otoritas yang mampu melindungi warganya, baik di dalam maupun di luar negeri. Jika mereka berhasil membawa pulang hak-hak ekonomi pengungsi dengan selamat dan adil, maka kepercayaan publik terhadap pemerintahan Kabul juga akan meningkat. Di sisi lain, Iran pun bisa menunjukkan bahwa di tengah tekanan internasional, ia tetap mampu menjalin hubungan yang bertanggung jawab dengan tetangganya.

    Dengan semua dinamika ini, pembicaraan antara Kabul dan Iran mengenai pengembalian dana pengungsi menjadi lebih dari sekadar isu keuangan. Ia menjadi simbol kerja sama regional di tengah keterbatasan global. Dunia akan menanti, apakah diplomasi ekonomi ini akan membuahkan hasil konkret atau sekadar janji di tengah kabut geopolitik yang tak kunjung sirna.

    Minggu, 29 Juni 2025

    newsonline

    Menuju Kemandirian Ekonomi Rohingya



    Pulau Bhasan Char dan kawasan Cox’s Bazar yang selama ini dikenal sebagai tempat penampungan sementara bagi para pengungsi Rohingya dari Myanmar, kini memasuki babak baru dalam sejarah kemanusiaan dan pembangunan kawasan. Dengan dukungan dari Asian Development Bank (ADB), dua kawasan tersebut sebenarnya dapat dirancang untuk bertransformasi menjadi komunitas mandiri yang tidak hanya tangguh dari sisi infrastruktur dasar, tetapi juga unggul dalam pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) serta Internet of Things (IoT).

    Langkah besar ini, ditandai dengan persetujuan bantuan hibah senilai US$58,6 juta dari Dana Pembangunan Asia (ADF) dan pinjaman lunak sebesar US$28,1 juta. Bantuan ini bertujuan untuk memperkuat layanan dasar dan membangun kapasitas masyarakat pengungsi serta komunitas lokal yang menjadi tuan rumah. Lebih dari sekadar pembangunan fisik, proyek ini juga merancang masa depan digital yang inklusif dan berbasis teknologi tinggi.

    ADB menyatakan bahwa proyek ini akan memberikan layanan terintegrasi dan peningkatan mata pencaharian bagi para pengungsi dan masyarakat lokal, melalui penyediaan air bersih, sanitasi, drainase, keamanan, serta pembangunan jalan dan jembatan. Namun yang paling menjanjikan adalah komitmen untuk membuka akses digital dan konektivitas di wilayah terpencil ini, menjadikannya kawasan percontohan integrasi teknologi dengan pengungsi.

    Di Bhasan Char dan Cox’s Bazar, infrastruktur digital akan menjadi salah satu prioritas jangka menengah. Rencana pembangunan pusat pelatihan teknologi, jaringan internet berbasis satelit, serta integrasi aplikasi IoT untuk manajemen air, energi terbarukan, dan keamanan komunitas, menunjukkan bahwa pengungsi tidak lagi dipandang sebagai beban, tetapi sebagai potensi sumber daya manusia masa depan.

    Kawasan ini akan menjadi ladang eksperimen sosial sekaligus inkubator teknologi. Anak-anak dan remaja dari kalangan pengungsi akan mendapatkan pelatihan di bidang coding, penggunaan perangkat pintar, dan pengelolaan data untuk pengembangan komunitas mereka sendiri. Dalam lima hingga sepuluh tahun mendatang, Bhasan Char berpeluang menjadi contoh komunitas digital berbasis solidaritas.

    Salah satu komponen penting proyek ini adalah rehabilitasi sistem drainase dengan pendekatan berbasis alam serta instalasi lampu jalan tenaga surya. Di samping manfaat ekologis dan efisiensi energi, sistem ini akan dipadukan dengan sensor-sensor IoT untuk mendeteksi genangan, cuaca ekstrem, serta pergerakan penduduk pada malam hari, menciptakan ekosistem teknologi yang adaptif.

    Kebutuhan pangan, air bersih, dan energi akan dikelola melalui sistem berbasis data. Produksi biogas di Bhasan Char akan ditingkatkan dengan sistem otomatisasi, sehingga dapur umum pengungsi dapat beroperasi secara efisien dan berkelanjutan. Di saat yang sama, pusat distribusi pangan yang dibangun akan menggunakan pemindai biometrik dan sistem digital untuk menghindari ketimpangan distribusi.
    Untuk menjamin keberlanjutan, pelatihan-pelatihan teknis akan digelar di dalam komunitas, menggandeng mitra teknologi dari dalam dan luar negeri. Para pemuda dari kalangan pengungsi akan dilibatkan langsung dalam pengelolaan sistem ICT dan IoT. Dengan begitu, mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga pencipta dan penjaga sistem yang menopang kehidupan komunitas mereka.

    Di Cox’s Bazar, pembangunan pabrik pengolahan air permukaan dan pipanisasi menuju wilayah Teknaf menjadi tonggak lain dalam proyek transformasi ini. Sistem pengolahan air tersebut dirancang untuk dikelola dengan kendali otomatis dan sistem deteksi kualitas air berbasis IoT, menjamin efisiensi dan keamanan pasokan air untuk ribuan jiwa.

    Pendidikan juga akan mendapat porsi besar dalam pengembangan komunitas digital ini. Sekolah-sekolah darurat yang berfungsi ganda sebagai tempat pengungsian akan dilengkapi dengan fasilitas komputer, akses internet, dan modul pembelajaran digital dalam berbagai bahasa. Hal ini diharapkan mempercepat proses integrasi ilmu dan teknologi dalam kehidupan anak-anak pengungsi.

    Langkah inovatif ini tidak terlepas dari semangat ADB untuk menjadikan pembangunan sebagai proses yang inklusif, tangguh, dan berkelanjutan. Sejak 2018, ADB telah menyalurkan bantuan lebih dari US$171 juta untuk mendukung pengungsi Rohingya dan komunitas lokal, namun proyek terbaru ini menandai transisi dari bantuan darurat menuju pembangunan jangka panjang berbasis teknologi.

    Pemerintah Bangladesh juga menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung pendekatan baru ini. Dengan memperkuat kapasitas institusi lokal, proyek ini juga diharapkan mampu meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola proyek berteknologi tinggi dan menjamin pemeliharaan sistem digital yang dibangun.

    Meski lebih dari satu juta pengungsi Rohingya masih berada dalam situasi tidak pasti, langkah menuju digitalisasi komunitas ini memberikan harapan baru. Di tengah keterbatasan, hadir peluang besar bagi anak-anak Rohingya untuk melangkah sejajar dalam dunia teknologi global.

    Selain memperkuat kohesi sosial antara pengungsi dan masyarakat lokal, transformasi digital ini juga membuka kemungkinan kerja sama lintas batas dalam bidang teknologi kemanusiaan. Bhasan Char dan Cox’s Bazar berpotensi menjadi lokasi studi dan replikasi di negara-negara lain yang menghadapi tantangan serupa.

    Dengan memanfaatkan energi terbarukan, sistem pintar, dan pelibatan komunitas, proyek ini menjawab tantangan abad ke-21 dengan solusi berkelanjutan. Bukan tidak mungkin dalam beberapa dekade mendatang, lulusan komunitas digital Rohingya akan menjadi inovator global di bidang teknologi kemanusiaan.

    Dunia kini menatap Bhasan Char dan Cox’s Bazar bukan sekadar sebagai lokasi kamp pengungsi, tetapi sebagai titik awal munculnya komunitas tangguh, adaptif, dan maju secara teknologi. Proyek ini bisa menjadi bukti bahwa masa depan yang cerah dapat dimulai dari tempat yang selama ini dipandang sebagai simbol penderitaan.

    Jika sukses, proyek ini akan menjadi preseden penting bagi bagaimana pengungsi bisa menjadi agen perubahan. ADB dan Bangladesh sedang menulis ulang narasi pengungsi—dari korban konflik menjadi pelopor teknologi. Sebuah perjalanan panjang baru saja dimulai di tengah Laut Bengal.

    Sabtu, 28 Juni 2025

    newsonline

    MoU Jet Tempur KAAN Dorong Lompatan Teknologi RI

     

    Penandatanganan nota kesepahaman antara Indonesia dan Turki untuk pengembangan jet tempur generasi kelima KAAN menjadi langkah strategis yang menjanjikan arah baru bagi kemandirian teknologi pertahanan nasional. Disaksikan langsung oleh Presiden Prabowo Subianto dalam acara Indo Defence 2025 di Jakarta, kerja sama ini menjadi bukti bahwa Indonesia serius menempatkan diri sebagai pemain aktif dalam industri dirgantara global. Proyek ini akan membuka pintu alih teknologi canggih dari Turki yang sebelumnya telah berhasil meluncurkan purwarupa KAAN pada 2023.

    Kerja sama ini memiliki nilai strategis lebih dari sekadar pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Indonesia memiliki peluang untuk mempercepat pengembangan kapasitas teknis dalam bidang avionik, stealth design, kontrol penerbangan, hingga radar generasi terbaru. Melalui KAAN, Indonesia akan memperoleh akses ke laboratorium, peralatan dan perangkat lunak mutakhir yang sebelumnya hanya dimiliki negara-negara elite militer dunia.

    Dalam dua dekade terakhir, Indonesia sudah menapaki jalur kerja sama teknologi pertahanan, termasuk dengan Korea Selatan dalam proyek jet tempur KF-21 Boramae. Kolaborasi itu menumbuhkan kepercayaan diri industri dalam negeri, khususnya PT Dirgantara Indonesia. Kini, dengan masuknya Turki dalam lingkaran kerja sama, Indonesia berpotensi memperkaya pengalaman serta memperluas jejaring diplomasi industri pertahanan.

    Indonesia juga sempat mengandalkan kerja sama dengan Prancis melalui pembelian pesawat tempur Rafale. Walau bernilai taktis, pembelian tersebut lebih bersifat konsumtif. Kontras dengan itu, kerja sama dengan Turki pada proyek KAAN bersifat produktif dan transformatif karena memungkinkan partisipasi aktif dan pengembangan teknologi secara simultan.

    MoU ini juga menjadi titik balik dalam peta kebijakan pertahanan Indonesia yang sebelumnya lebih banyak berorientasi pada pembelian jadi. Kini Indonesia mulai berani melibatkan diri sejak tahap desain dan integrasi sistem senjata, membuka jalan bagi talenta lokal untuk berkembang. Dengan kehadiran lembaga-lembaga pendidikan teknik seperti ITB dan STT Adisutjipto, ekosistem teknologi pertahanan nasional siap menyambut transformasi besar ini.

    Langkah ini tak hanya berdampak pada sektor pertahanan, tetapi juga berimbas ke industri sipil. Teknologi turbofan, sistem kendali digital, dan material komposit yang dikembangkan dalam proyek jet tempur bisa ditransfer ke industri transportasi dan manufaktur nasional, menciptakan efek domino positif bagi ekonomi.

    Bagi Indonesia, keikutsertaan dalam proyek jet tempur KAAN adalah juga bentuk pernyataan bahwa bangsa ini tak ingin selamanya menjadi konsumen teknologi asing. Proyek ini menjadi peluang langka untuk menciptakan transfer ilmu dan teknologi dari mitra strategis yang tidak segan berbagi, sebagaimana ditunjukkan oleh Turki yang kini menjelma menjadi kekuatan baru industri pertahanan dunia.

    Bersama Turki, Indonesia juga akan memperkuat posisi tawar dalam kerjasama multilateral bidang pertahanan. Dengan keterlibatan dalam program KAAN, Indonesia bisa membangun model kerja sama regional di ASEAN yang berbasis pada produksi bersama, bukan sekadar perdagangan senjata.

    Pemerintah pun diharapkan membangun infrastruktur penunjang, termasuk laboratorium uji material, jalur produksi modular, serta sistem pelatihan terpadu bagi tenaga ahli dan teknisi muda. Dengan arah kebijakan yang jelas, Indonesia dapat mengembangkan BUMN pertahanan menjadi ujung tombak kemandirian teknologi nasional.

    Presiden Prabowo, yang hadir langsung dalam penandatanganan ini, tampaknya hendak mengirimkan sinyal kuat bahwa era baru industri pertahanan nasional telah dimulai. Di tangan pemerintahan barunya, kerja sama ini diharapkan bukan hanya menjadi MoU simbolik, melainkan proyek strategis jangka panjang yang konkret dan terukur.

    Turki sendiri dikenal sebagai mitra strategis yang andal dan adaptif. Mereka berhasil mengembangkan UAV Bayraktar, rudal udara-ke-udara, serta berbagai sistem elektronik pertahanan lainnya dalam waktu relatif singkat. Dengan pengalaman ini, Turki menjadi mitra ideal bagi Indonesia dalam menempuh jalur akselerasi teknologi militer.

    Di masa depan, keterlibatan Indonesia dalam pengembangan KAAN juga dapat membuka peluang ekspor pesawat versi produksi bersama ke negara-negara non-blok atau mitra Asia-Afrika yang ingin alternatif dari produk Barat dan Rusia. Dengan demikian, kerja sama ini tidak hanya menciptakan ketahanan nasional, tetapi juga potensi keuntungan ekonomi.

    Dari sisi anggaran, pemerintah Indonesia harus menyiapkan skema pembiayaan berkelanjutan. Namun, keuntungan jangka panjang berupa peningkatan kualitas sumber daya manusia dan substitusi impor alutsista akan mengimbangi investasi awal yang besar tersebut.

    Partisipasi dalam proyek KAAN juga akan mendorong lahirnya generasi baru insinyur dan teknokrat Indonesia yang mumpuni dalam teknologi penerbangan tempur. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengangkat citra Indonesia sebagai negara dengan basis teknologi pertahanan yang kompetitif di kawasan Asia-Pasifik.

    Kerja sama ini juga akan mendorong pembentukan pusat riset dan inkubator teknologi militer di berbagai wilayah Indonesia. Hal ini dapat memicu pertumbuhan kawasan industri baru yang berorientasi pada teknologi tinggi dan daya saing global.

    Dengan ekosistem industri dan dukungan kebijakan yang kuat, Indonesia dapat menjadikan KAAN bukan hanya sebagai proyek bersama, tetapi sebagai simbol kebangkitan dan harga diri nasional di bidang teknologi. Inilah momentum emas untuk keluar dari ketergantungan dan membangun masa depan pertahanan Indonesia yang mandiri dan berkelas dunia.

    Melalui kolaborasi ini, Indonesia menegaskan bahwa jalur kemajuan bukan sekadar dengan membeli, melainkan menciptakan dan memiliki. KAAN adalah batu loncatan menuju lompatan besar kemandirian teknologi bangsa.

    Sebagaimana disampaikan dalam siaran pers Kementerian Pertahanan, nota kesepahaman ini tidak hanya mencerminkan semangat kerja sama bilateral, tetapi juga menjadi cermin dari visi Indonesia untuk membangun kekuatan udara masa depan yang tidak lagi ditentukan oleh negara lain.

    Dengan tekad, kerja sama, dan investasi yang konsisten, Indonesia bukan tidak mungkin akan menjadi salah satu negara yang memiliki jet tempur buatan sendiri dalam dua dekade mendatang. KAAN hanyalah awal dari perjalanan panjang menuju langit teknologi pertahanan.

    newsonline

    Warga Suriah Pulang, Ekonomi Diharap Pulih

    Ribuan warga Suriah tampak mengantre di sepanjang pos perbatasan Bab al-Hawa yang memisahkan wilayah Turkiye dan Suriah. Suasana padat terlihat sejak pagi hari, ketika warga Suriah yang selama ini bermukim di Turkiye berbondong-bondong hendak kembali ke tanah air mereka. Meski harus bersabar dalam antrean panjang dan menghadapi pemeriksaan administratif yang ketat, semangat para pengantre tidak surut. Bagi mereka, kepulangan ini bukan sekadar rindu kampung halaman, melainkan juga penanda munculnya harapan baru atas kondisi Suriah yang perlahan menunjukkan perbaikan.

    Gelombang kepulangan ini banyak yang bersifat sukarela. Warga yang sebelumnya menjadi pengungsi kini merasa ada peluang untuk memulai kembali kehidupan mereka di negeri asal. Kabar mengenai menurunnya tekanan ekonomi, berkurangnya pungutan liar, dan pengurangan pajak di beberapa wilayah, menjadi angin segar yang mendorong mereka untuk pulang. Meski tantangan masih ada, banyak yang yakin bahwa Suriah hari ini tidak sama dengan Suriah lima tahun lalu.

    Antrean di Bab al-Hawa juga menjadi cermin dinamika hubungan Turkiye dan Suriah yang terus berubah. Pemerintah Turkiye, yang selama bertahun-tahun menampung jutaan pengungsi, mulai mendorong repatriasi sukarela. Kebijakan ini pun bertemu dengan niat warga Suriah sendiri yang mulai melihat adanya prospek ekonomi yang lebih baik di kampung halaman. Sementara itu, otoritas Suriah mulai mengambil langkah-langkah konkrit untuk menunjukkan keseriusan dalam membangun kembali negeri yang telah hancur oleh konflik lebih dari satu dekade.

    Beberapa reformasi kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah Suriah termasuk menghapus sejumlah pungutan pajak yang selama ini memberatkan warga. Kutipan liar dari aparat yang sebelumnya menjadi momok bagi pelaku usaha juga mulai ditekan. Di beberapa kota, pemerintah daerah mengumumkan insentif fiskal bagi warga yang membuka kembali toko, bengkel, atau layanan jasa lokal. Upaya ini memberikan sinyal bahwa negara ingin menciptakan iklim ekonomi yang lebih ramah bagi warganya.

    Selain perbaikan iklim usaha, pemerintah Suriah juga mulai mengaktifkan kembali sejumlah BUMN yang sebelumnya mati suri akibat perang. Pabrik-pabrik tekstil, pengolahan makanan, serta industri logam ringan yang sempat ditinggalkan kini mulai bergeliat. Karyawan lama dipanggil kembali, sementara tenaga kerja muda yang baru lulus juga diberi peluang untuk direkrut. Hal ini berdampak pada meningkatnya rasa percaya masyarakat terhadap pemulihan ekonomi.

    Langkah yang tak kalah strategis adalah pengaktifan kembali bursa saham nasional. Dalam beberapa bulan terakhir, volume perdagangan mulai tumbuh meski belum stabil. Investor lokal mulai kembali bermain di pasar modal, sementara diaspora Suriah di luar negeri perlahan menunjukkan minat untuk menanamkan kembali modal di sektor riil. Jika tren ini berlanjut, bukan tidak mungkin bursa saham akan menjadi pilar penting dalam pembiayaan pembangunan pascakonflik.

    Selain aspek ekonomi konvensional, Suriah juga menunjukkan tekad untuk kembali bangkit di bidang teknologi dan inovasi. Salah satu lembaga yang kembali diaktifkan adalah badan antariksa nasional. Meski terdengar ambisius, kebijakan ini dinilai sebagai simbol semangat kebangkitan Suriah. Badan ini difungsikan tidak hanya untuk riset luar angkasa, tetapi juga sebagai pusat teknologi rekayasa, penginderaan jauh, dan pelatihan sains bagi generasi muda.

    Kembalinya aktivitas-aktivitas produktif itu menumbuhkan rasa optimisme di kalangan warga yang selama ini dilanda keputusasaan. Banyak yang mengaku bahwa dahulu mereka meninggalkan Suriah karena tidak melihat masa depan. Tapi kini, dengan adanya ruang kerja, penurunan tekanan militer, dan peluang membuka usaha kembali, mereka merasa memiliki alasan untuk membangun kembali kehidupan di negeri sendiri.

    Meski perjalanan masih panjang, pulangnya warga Suriah secara sukarela membawa pesan kuat kepada dunia. Pesan bahwa bangsa yang porak-poranda pun bisa bangkit bila diberi ruang untuk pulih. Hal ini juga menjadi refleksi penting bagi para pemangku kebijakan internasional bahwa solusi jangka panjang tidak selalu bergantung pada intervensi asing, tetapi juga pada dorongan dari rakyat itu sendiri.

    Warga yang pulang pun tidak datang dengan tangan kosong. Sebagian membawa keahlian, pengalaman kerja, dan jejaring usaha yang mereka bangun selama hidup di Turkiye. Hal ini bisa memperkaya ekosistem ekonomi lokal dan mendorong transfer praktik bisnis modern ke pasar-pasar lokal di Suriah. Di sisi lain, mereka juga membawa harapan baru yang bisa menjadi energi sosial dalam proses rekonstruksi nasional.

    Pemerintah Suriah menyambut kepulangan ini dengan berbagai bentuk fasilitasi. Di sejumlah titik masuk, dibuka pos pendaftaran khusus untuk mempermudah administrasi. Warga diberi informasi mengenai wilayah tujuan yang aman, prosedur bantuan awal, hingga akses ke layanan publik seperti sekolah dan rumah sakit. Walau masih terbatas, langkah ini menunjukkan kesungguhan negara dalam mengelola proses reintegrasi sosial.

    Pengamat menilai bahwa kepulangan warga ini bisa menjadi indikator penting tentang perubahan suasana politik dan ekonomi di dalam negeri. Bila gelombang ini terus berlanjut, maka secara alamiah akan memulihkan basis demografis yang selama ini kosong akibat eksodus massal. Wilayah yang dahulu sepi kini perlahan kembali terisi, roda ekonomi kembali berputar, dan kehidupan sosial pun perlahan pulih.

    Tentu tidak semua wilayah Suriah aman atau siap menerima arus balik ini. Namun fokus pada wilayah-wilayah yang relatif stabil menjadi pendekatan yang rasional untuk memulai fase rekonstruksi. Beberapa zona ekonomi khusus juga direncanakan sebagai pusat pertumbuhan baru yang mampu menampung tenaga kerja dan menarik investasi domestik maupun diaspora.

    Meski demikian, tantangan masih membayangi. Masalah infrastruktur dasar seperti listrik, air bersih, dan kesehatan masih memerlukan perhatian besar. Belum lagi ancaman sanksi internasional yang membuat pemulihan ekonomi berlangsung lebih lambat. Namun demikian, narasi positif yang muncul dari arus kepulangan ini memberi harapan bahwa luka Suriah suatu hari nanti bisa disembuhkan.

    Yang paling penting, munculnya keinginan pulang dari rakyat sendiri adalah bukti bahwa rasa memiliki terhadap tanah air belum sirna. Setelah bertahun-tahun tinggal di luar negeri, mereka tetap menyebut Suriah sebagai rumah. Kepulangan ini bukan hanya gerak tubuh, tapi juga ekspresi psikologis bahwa harapan belum mati.

    Antrian panjang di perbatasan bukan sekadar fenomena logistik, melainkan simbol perubahan iklim nasional. Ia menunjukkan bahwa di balik reruntuhan, selalu ada tangan-tangan yang ingin membangun kembali. Jika didukung dengan kebijakan yang tepat, keberanian rakyat untuk pulang bisa menjadi awal dari kebangkitan sebuah negara.

    Kisah Suriah belum usai. Namun dengan langkah-langkah seperti ini, babak baru mulai terbuka. Rakyat yang pulang bukan sekadar ingin hidup, tapi ingin hidup bermartabat di tanah sendiri. Dan itu, pada akhirnya, adalah pilar utama dalam membangun masa depan yang lebih baik.

    Admin2

    Genosida dan Pembantaian Palestina oleh Israel di Gaza Bermula Tahun 48


    Sejarah panjang penderitaan rakyat Gaza bukanlah dimulai saat roket pertama ditembakkan atau blokade diberlakukan, melainkan jauh sebelumnya—sejak tahun 1948, ketika ribuan keluarga Palestina diusir dari tanah kelahiran mereka dalam gelombang eksodus massal yang oleh bangsa Palestina disebut sebagai Nakba, atau malapetaka. Kota-kota seperti Al-Majdal Asqalan, yang kini dikenal sebagai Ashkelon di selatan Israel, menjadi saksi awal dari pengusiran sistematis terhadap penduduk Arab Palestina oleh pasukan Israel yang baru terbentuk. Warga Al-Majdal kala itu, setelah menyerah pada pasukan Zionis, tidak langsung dibunuh atau dibiarkan bebas. Mereka terlebih dahulu dikurung dalam kamp-kamp berduri yang dijaga ketat sebelum akhirnya digiring menuju selatan dan dibuang ke wilayah sempit bernama Jalur Gaza.


    Kamp-kamp ini bukan fasilitas pengungsian yang layak, melainkan zona konsentrasi sementara sebelum para pengungsi dilempar keluar dari batas negara baru yang dideklarasikan. Pemerintah Israel tidak pernah memberikan hak kembali kepada mereka yang terusir, dan justru menetapkan hukum yang menjadikan mereka sebagai orang asing di tanah sendiri. Para pengungsi yang berasal dari kota-kota seperti Jaffa, Beersheba, Lydda, Ramla, dan tentu saja Majdal, mendapati diri mereka hidup dalam tenda-tenda darurat di tanah asing, yang tak lama kemudian menjadi penjara terbesar di dunia: Gaza.


    Pasca pembantaian dan pengusiran, populasi Gaza membengkak drastis. Jika sebelum 1948 Gaza dihuni oleh sekitar 80 ribu orang, dalam waktu singkat jumlahnya melonjak menjadi lebih dari 200 ribu, lalu terus berkembang hingga dua juta jiwa lebih hari ini. Sekitar 70 hingga 80 persen penduduk Gaza adalah pengungsi atau keturunan pengungsi dari wilayah yang kini menjadi Israel. Mereka tumbuh besar dengan narasi pengusiran yang diwariskan dari generasi ke generasi, hidup di kamp-kamp pengungsi permanen seperti Jabalia, Shati, dan Khan Younis yang sampai hari ini tetap berdiri dalam kemiskinan dan keterbatasan akses.


    Keberadaan kamp-kamp ini bukan semata-mata soal fisik, melainkan juga psikis. Rasa kehilangan, ketidakadilan, dan penolakan terhadap pelupaan membentuk karakter kolektif rakyat Gaza. Mereka bukan hanya miskin karena embargo atau perang, tapi juga karena identitas mereka sebagai warga tak bertanah air ditegaskan setiap hari melalui realitas kamp yang sempit dan kumuh. Gaza menjadi semacam arsitektur penderitaan yang dipertahankan oleh sistem politik dan militer, bukan karena ketidakmampuan dunia menyelesaikannya, tapi karena keengganan untuk mengakui akar masalahnya.


    Sementara itu, di Tepi Barat, kisah pengusiran dan kolonisasi berlangsung dalam pola yang berbeda. Banyak warga Palestina di wilayah ini juga merupakan pengungsi, namun sebagian adalah penduduk asli yang berhasil bertahan di desa-desa mereka saat perang 1948. Namun setelah pendudukan Israel atas Tepi Barat pada 1967, banyak desa mengalami penyitaan tanah, pembangunan permukiman ilegal Israel, dan pembatasan gerak warga Palestina melalui pos pemeriksaan dan tembok pemisah. Kamp-kamp pengungsi seperti Balata, Jenin, dan Dheisheh didirikan oleh UNRWA sebagai tempat penampungan sementara, namun seiring berjalannya waktu berubah menjadi pemukiman permanen yang tetap dihuni oleh generasi baru pengungsi yang tak kunjung pulang.


    Di sisi lain, terdapat pula kelompok yang dikenal sebagai “Palestina 48”, yakni warga Palestina yang tidak diusir pada 1948 dan tetap tinggal di wilayah yang kini menjadi negara Israel. Mereka adalah minoritas yang memperoleh kewarganegaraan Israel, namun tetap hidup sebagai warga kelas dua, menghadapi diskriminasi sistemik dalam hak atas tanah, pekerjaan, pendidikan, dan partisipasi politik. Mereka tidak diizinkan memperingati Nakba secara terbuka di sekolah atau media publik, menciptakan lapisan tambahan dari trauma yang tersembunyi namun tak pernah padam.


    Ketiga kelompok ini—pengungsi Gaza, warga Tepi Barat, dan Palestina 48—sama-sama mengalami bentuk perampasan yang berbeda, namun bersumber dari akar sejarah yang sama: penciptaan Israel sebagai negara eksklusif Yahudi di atas tanah yang sebelumnya dihuni mayoritas Arab Palestina. Di Gaza, trauma ini terkonsentrasi dalam ruang yang paling sempit dan paling brutal. Blokade Israel sejak 2007 membuat wilayah ini menjadi semacam laboratorium penderitaan. Listrik dibatasi, air bersih langka, bantuan kemanusiaan diawasi, dan mobilitas hampir mustahil. Generasi muda Gaza tumbuh dalam lingkungan yang tidak mengenal normalitas hidup: tanpa sekolah yang stabil, tanpa masa depan yang pasti, dan tanpa kenangan yang indah akan rumah yang hilang.


    Inilah yang dimaksud Max Blumenthal ketika mengatakan bahwa Gaza bukan hanya sekadar wilayah miskin yang tertimpa malapetaka, tetapi merupakan hasil dari rekayasa demografis dan politik. Ia menegaskan bahwa Israel dengan sadar mendorong para pengungsi ke Gaza, lalu mengurung mereka di sana, dan kini memperlakukan mereka sebagai ancaman eksistensial. Gaza bukan hanya masalah kemanusiaan, tetapi luka geopolitik yang disengaja.


    Psikologi kolektif rakyat Gaza terbentuk dari ketercerabutan, ketertindasan, dan keteguhan untuk tidak melupakan. Mereka bukan korban bencana alam yang menunggu belas kasih, melainkan komunitas dengan sejarah panjang perjuangan dan perlawanan terhadap penghapusan identitas. Anak-anak Gaza tumbuh besar dengan mendengar kisah rumah di Majdal yang tak bisa dikunjungi, pohon zaitun di Beersheba yang ditebang, dan kunci rumah di Jaffa yang masih digantung di dinding sebagai simbol harapan.


    Inilah yang membuat perjuangan rakyat Gaza berbeda. Mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk menjaga narasi keberadaan mereka tetap hidup. Mereka tidak bisa menyerah, sebab menyerah berarti membiarkan diri dilenyapkan dari peta sejarah. Dalam kondisi terjepit, sering kali mereka menjadi radikal bukan karena ideologi, tetapi karena keputusasaan yang tidak pernah mendapatkan saluran diplomasi yang adil.


    Maka tak mengherankan bila perlawanan terus lahir dari Gaza, sebab wilayah ini bukan hanya sarang konflik, tetapi juga tempat berkumpulnya luka-luka yang tak kunjung sembuh. Dunia boleh membahas gencatan senjata, solusi dua negara, atau rekonstruksi ulang, tetapi selama narasi pengusiran dan penahanan ini tidak diselesaikan secara historis dan adil, Gaza akan terus menjadi titik api yang menyala dari dalam luka yang belum dijahit.


    Bagi rakyat Gaza, tanah yang mereka tinggalkan bukan sekadar lokasi geografis. Itu adalah identitas, harga diri, dan alasan untuk bertahan di tengah kehancuran. Kamp-kamp yang mereka tinggali hari ini adalah pengingat akan sejarah yang belum ditutup, bukan karena mereka tidak mau, tetapi karena pintu pulang masih terkunci.


    Gaza, dalam konteks ini, bukan semata-mata krisis kemanusiaan, melainkan cerminan dari sebuah proyek kolonial modern yang menolak bertanggung jawab atas warisannya. Dan selama dunia hanya melihat Gaza dari angka korban atau puing bangunan, bukan dari sejarah panjang pengusiran dan penolakan hak kembali, maka penderitaan itu akan terus berulang dalam siklus yang menyayat hati.

    Baca selanjutnya

    Jumat, 27 Juni 2025

    Admin2

    Yaman: Aden Harus Kejar Ketinggalan Industri Pertahanan


    Pemerintah Yaman yang berbasis di Aden kini menghadapi tantangan militer yang semakin kompleks, seiring meningkatnya kekuatan persenjataan kelompok bersenjata di Sana’a. Pasca hubungan erat kelompok bersenjata itu dengan Iran, kawasan yang dikuasai kelompok tersebut mulai bertransformasi menjadi perpanjangan langsung industri militer Iran di kawasan Semenanjung Arab. Situasi ini mengharuskan pemerintah Aden melakukan lompatan strategis dalam pengembangan alutsista nasional.

    Menteri Informasi Pemerintah Yaman, Muammar Al-Eryani, dalam pernyataan terbarunya mengungkapkan kekhawatiran mendalam atas upaya Iran memindahkan sebagian fasilitas produksi senjatanya ke Yaman. Ia menyebutkan bahwa indikasi paling nyata terlihat di wilayah Sa’dah, Hajjah, dan pinggiran Sana’a, di mana pabrik perakitan rudal dan drone mulai beroperasi. Kondisi ini, menurut Al-Eryani, menempatkan pemerintah Aden dalam posisi yang sangat rawan jika tidak segera melakukan antisipasi.

    Selama perang antara Iran dan Israel diketahui bahwa Israel mendapat pasokan senjata dari India. Meski alutsista tersebut buatan Israel tapi diproduksi massal di India. Kemungkinan hal yang sama dilakukan Iran bersama pemerintahan Houthi di Sanaa.

    Namun hal ini akan menimbulkan pergeseran keseimbangan kekuatan dengan pemerintahan Yaman di Aden.

    Untuk itu, pengamat meminta pemerintah Aden perlu segera membangun industri pertahanan domestik. Upaya ini tidak hanya sebatas impor senjata dari negara sahabat, tetapi juga mendorong lahirnya pusat riset militer dan manufaktur persenjataan dalam negeri. Tanpa langkah ini, ketimpangan kekuatan militer di dalam negeri akan terus melebar dan membuat posisi Aden semakin sulit di medan politik maupun militer.

    Selain itu, Aden perlu menjalin kemitraan strategis dengan negara-negara sahabat yang memiliki pengalaman panjang di sektor pertahanan. Negara Teluk seperti Uni Emirat Arab dll dapat diajak untuk mendirikan pabrik persenjataan bersama di wilayah Aden dan Marib. Alih teknologi menjadi syarat mutlak agar pemerintahan Yaman versi Aden tidak terus-terusan bergantung pada impor senjata dalam jangka panjang.

    Fasilitas produksi drone dan rudal jarak pendek menjadi prioritas utama yang harus dibangun. Mengingat jenis senjata ini yang paling banyak digunakan di medan tempur Yaman, kemandirian dalam memproduksi alat tempur tersebut akan memberikan keunggulan taktis sekaligus moral di tengah konflik berkepanjangan. Pemerintah Aden bisa memulai dengan memproduksi sistem mortir, drone intai, dan kendaraan tempur ringan.

    Beberapa pengamat menyarankan agar pemerintah Aden membentuk badan khusus riset dan pengembangan militer nasional. Lembaga ini bisa bekerja sama dengan universitas-universitas teknik di wilayah selatan Yaman untuk mengembangkan sistem rudal, sistem anti-drone, serta teknologi komunikasi militer. Dengan begitu, kekuatan pertahanan nasional bisa dibangun dari fondasi lokal yang berkelanjutan.

    Di sisi lain, pemerintah Aden harus memastikan bahwa program alih teknologi benar-benar diterapkan dalam setiap kontrak pembelian senjata dari luar negeri. Selama ini, ketergantungan pada pengadaan siap pakai tanpa penguasaan teknologi membuat posisi militer Aden sulit berkembang mandiri. Alih teknologi akan memungkinkan Yaman selatan memiliki kemandirian industri persenjataan dalam beberapa tahun ke depan.

    Tak hanya soal produksi, sektor pelatihan teknis bagi personel militer dan tenaga industri pertahanan lokal juga harus ditingkatkan. Pemerintah Aden bisa mengirimkan teknisi dan perwira militernya ke pusat-pusat pelatihan di luar negeri untuk mempelajari produksi, perakitan, serta pemeliharaan sistem senjata modern. Ini penting agar fasilitas produksi yang dibangun nantinya dapat dioperasikan oleh tenaga lokal.

    Konflik di Yaman telah berkembang dari sekadar perang saudara menjadi arena uji coba senjata modern. Ketertinggalan pemerintah Aden dalam aspek industri militer harus segera diatasi jika tidak ingin sepenuhnya bergantung pada bantuan eksternal. Selain menjadi persoalan militer, hal ini juga menyangkut harga diri nasional dan kedaulatan negara.

    Langkah awal yang realistis bagi pemerintah Aden adalah memperluas kemampuan bengkel militer yang sudah ada menjadi fasilitas produksi ringan. Di tempat-tempat ini, bisa diproduksi komponen peluncur roket, drone pengintai, dan kendaraan tempur lapis baja. Seiring waktu, produksi bisa ditingkatkan ke rudal jarak pendek dan sistem anti-serangan udara.

    Pemerintah Aden perlu menetapkan peta jalan industri pertahanan lima hingga sepuluh tahun ke depan. Target utamanya adalah mengimbangi kekuatan alutsista di Sana’a yang terus berkembang dengan dukungan Iran. Tanpa roadmap yang jelas, berbagai inisiatif akan berjalan sporadis dan gagal mencapai hasil strategis.

    Selain itu, pemerintah Aden perlu memperkuat kerja sama intelijen dengan mitra-mitra regionalnya. Informasi tentang jenis senjata, lokasi produksi, hingga pola distribusi alutsista di wilayah utara akan sangat membantu dalam merumuskan jenis sistem pertahanan yang perlu diprioritaskan. Data ini juga berguna untuk merancang strategi penyeimbangan kekuatan jangka menengah.

    Situasi geopolitik di kawasan Teluk dan Laut Merah membuat keberadaan industri pertahanan domestik di Aden menjadi keharusan strategis. Tidak hanya untuk menghadapi ancaman dari dalam negeri, tetapi juga untuk mengantisipasi ketegangan regional yang sewaktu-waktu bisa meluas ke Yaman. Kemandirian alutsista akan memberikan daya tawar diplomatik bagi pemerintah Aden.

    Selain memperkuat produksi rudal dan drone, pemerintah Aden juga perlu membangun fasilitas produksi alat komunikasi militer yang aman. Sistem komunikasi menjadi tulang punggung operasi tempur modern dan harus mandiri agar tidak mudah disusupi. Produksi alat komunikasi sendiri juga akan mengurangi ketergantungan pada vendor asing.

    Dalam jangka panjang, pemerintah Aden bisa mendorong terbentuknya klaster industri pertahanan di wilayah selatan Yaman. Dengan memberikan insentif kepada investor lokal dan asing di sektor ini, Aden dapat menciptakan ekosistem industri militer yang mandiri, menyerap tenaga kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi berbasis teknologi tinggi.

    Perang yang terus berlangsung menjadi katalis bagi negara-negara di kawasan untuk meningkatkan kemampuan industrinya masing-masing. Jika pemerintah Aden mampu mengambil pelajaran dari Sana’a, Yaman bagian selatan memiliki peluang untuk bangkit sebagai negara yang kuat secara militer dan mandiri dalam industri persenjataan.

    Kini pilihan ada di tangan pemerintah Aden: terus bergantung pada senjata impor, atau mulai membangun fondasi industri militer nasional yang kuat, modern, dan mampu menjadi penyeimbang di tengah konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda.

    Admin2

    Marib, Wilayah Kaya Yaman Jadi Rebutan

    Kota Marib kembali menjadi sorotan utama di tengah memanasnya situasi politik dan militer di Yaman. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa milisi Houthi telah mengirimkan konvoi kendaraan tempur dan pasukan bersenjata menuju pinggiran kota itu dalam beberapa pekan terakhir. Langkah ini memicu kekhawatiran akan pecahnya kembali pertempuran besar di wilayah paling strategis dan kaya sumber daya tersebut, yang selama ini menjadi benteng kuat pemerintah.

    Alasan mengapa Houthi terus berusaha merebut Marib tak bisa dilepaskan dari kekayaan alam yang dimiliki provinsi ini. Marib menyimpan cadangan minyak dan gas terbesar di Yaman, dengan sumur-sumur minyak aktif dan fasilitas pemrosesan gas yang memasok energi bagi sebagian besar kawasan utara negara itu. Menguasai Marib berarti mendapatkan kendali atas sumber pendapatan vital yang bisa menghidupi operasi perang dan memperkuat posisi politik kelompok mana pun yang berhasil merebutnya.

    Selain cadangan energi, Marib juga memiliki infrastruktur penting berupa jaringan pipa minyak dan pembangkit listrik yang selama ini menopang kehidupan di sejumlah provinsi sekitarnya. Bagi kelompok Houthi, keberhasilan merebut kota ini bisa menjadi kartu truf strategis untuk menekan pemerintah dan memperbesar wilayah kekuasaannya ke arah timur.

    Dari sisi kekuatan militer, pasukan pemerintah di Marib saat ini berjumlah sekitar 30.000 personel aktif. Mereka terdiri dari berbagai unit militer resmi, pasukan elite Garda Republik, hingga milisi suku-suku lokal. Pasukan ini berada di bawah komando langsung Jenderal Sagheer bin Aziz, sosok komandan veteran yang dikenal berani dan memiliki jaringan kuat di kalangan suku-suku Marib.

    Namun, yang tak kalah penting, Marib dipimpin oleh Gubernur Sultan Al Aradah, tokoh berpengaruh yang bukan hanya memegang kendali administratif provinsi, tetapi juga menjabat sebagai salah satu Wakil Presiden di Dewan Kepresidenan Yaman. Perannya strategis karena selain mengatur urusan sipil, ia juga aktif memobilisasi suku-suku setempat dalam mempertahankan wilayah mereka dari serangan Houthi.

    Sultan Al Aradah dikenal sebagai pemimpin moderat yang mampu menjaga keseimbangan antara kepentingan pemerintah pusat dan aspirasi masyarakat lokal. Di bawah kepemimpinannya, Marib tidak hanya bertahan dari gempuran milisi Houthi, tapi juga berkembang pesat secara ekonomi dan infrastruktur, bahkan di tengah situasi perang.

    Dulu dikenal sebagai daerah pengungsian, Marib kini menjadi kota maju di Yaman. Ribuan warga yang melarikan diri dari berbagai daerah konflik bermukim di kota ini, mendorong pertumbuhan ekonomi, berdirinya sekolah-sekolah baru, rumah sakit, pasar, dan pusat perdagangan. Kota ini perlahan menjadi pusat ekonomi baru di Yaman.

    Investasi besar-besaran dalam pembangunan jalan, proyek perumahan, dan sektor energi membuat Marib bangkit sebagai salah satu kota terpenting di Yaman. Sejumlah proyek infrastruktur strategis juga mulai berjalan, termasuk perluasan jaringan listrik dan perbaikan sistem distribusi air bersih, yang sebagian besar dibiayai dari hasil produksi minyak lokal.

    Kedudukan Sultan Al Aradah sebagai Wakil Presiden membuatnya memiliki akses langsung ke Dewan Kepresidenan. Namun, hal ini juga menjadi sasaran politik tersendiri, karena beberapa faksi di dalam pemerintahan menilai kekuatannya di Marib terlalu besar dan berpotensi mengganggu keseimbangan kekuasaan di tingkat nasional.

    Sejumlah analis menyebutkan bahwa ketegangan antara Dewan Kepresidenan dan Houthi di sekitar Marib bisa kembali meningkat dalam waktu dekat. Terlebih, Houthi terus memanfaatkan keretakan internal di kubu pemerintah, termasuk isu-isu persaingan antar faksi di dalam Dewan Kepresidenan yang kini terdiri dari beberapa kelompok bersenjata.

    Sementara itu, Sultan Al Aradah dituntut untuk tidak hanya mempertahankan Marib secara militer, tapi juga memperbaiki kondisi sosial-ekonomi masyarakatnya. Banyak kalangan menilai, daripada terus membuka front perang baru, pemerintah dan otoritas Marib sebaiknya lebih fokus mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan para pengungsi internal (IDP) yang kini mendominasi populasi di provinsi tersebut.

    Berbagai inisiatif kebijakan ekonomi menuju kemandirian tengah dirancang, termasuk program pelatihan kerja bagi pengungsi, pengembangan UMKM, serta pemulihan lahan-lahan pertanian di wilayah-wilayah yang selama ini terkena dampak konflik. Selain itu, proyek perbaikan infrastruktur jalan, listrik, dan sanitasi masih menjadi prioritas utama.

    Marib saat ini menampung lebih dari dua juta penduduk, hampir setengahnya adalah pengungsi dari berbagai provinsi lain di Yaman. Kondisi ini menjadikan Marib sebagai wilayah dengan tantangan kemanusiaan terbesar di negeri itu, sekaligus titik pertahanan terakhir pemerintah di kawasan utara.

    Di sisi lain, Houthi yang mengalami kesulitan ekonomi dan militer di wilayah barat, sangat berkepentingan untuk mendapatkan kendali atas Marib. Selain alasan ekonomi, kota ini merupakan gerbang ke provinsi-provinsi minyak lain seperti Shabwa dan Hadramaut, yang bisa membuka jalur logistik baru bagi Houthi.

    Pemerintah pusat kini menghadapi dilema, apakah terus mempertahankan Marib dengan kekuatan militer penuh, atau mulai menawarkan solusi diplomatik yang realistis, sembari memperkuat ketahanan sosial-ekonomi wilayah tersebut. Beberapa kalangan di Dewan Kepresidenan bahkan mulai menyarankan pendekatan yang lebih mengedepankan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat ketimbang hanya fokus pada strategi perang.

    Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa meski kekuatan militer Houthi kerap mengalami kerugian, kelompok ini tidak menunjukkan tanda-tanda melemah. Serangan sporadis dan upaya infiltrasi masih terus terjadi di sekitar garis pertahanan Marib, sehingga memaksa pasukan pemerintah dan suku-suku lokal selalu dalam kondisi siaga.

    Dengan posisi strategis dan potensi ekonominya yang sangat besar, Marib akan terus menjadi titik panas dalam konflik Yaman. Namun, suara dari masyarakat sipil dan pengungsi di kota itu kian nyaring meminta agar pemerintah pusat dan pemimpin daerah seperti Sultan Al Aradah lebih memprioritaskan kesejahteraan rakyat ketimbang kepentingan militer semata.

    Admin2

    Yaman Bisa Tiru Resep Ekonomi Kurdistan Irak


    Pertemuan di sela-sela World Economic Forum (WEF) di Davos awal tahun ini menjadi momentum penting bagi masa depan kawasan Timur Tengah. Perdana Menteri Kurdistan Irak, Masrour Barzani, bertemu langsung dengan Aidarus al-Zoubaidi, Wakil Ketua Dewan Kepemimpinan Presiden Yaman sekaligus pemimpin Dewan Transisi Selatan. Keduanya sepakat pentingnya stabilitas politik dan pembangunan ekonomi untuk membebaskan kawasan dari krisis berkepanjangan.

    Kisah Kurdistan Irak menjadi perhatian karena di tengah geopolitik Irak yang bergejolak, kawasan otonom ini mampu mengelola ekonominya relatif stabil. Pemerintahannya berhasil membangun kerangka ekonomi berbasis minyak, investasi asing, dan stabilitas sosial yang dijaga dengan kuat. Barzani bahkan memimpin delegasi perdagangan besar di Davos, menandai kiprah ekonomi Kurdistan di forum global.

    Kurdistan Irak sebelumnya juga mengalami situasi serupa dengan Yaman, yakni terjebak dalam konflik internal, perang sektarian, dan tarik ulur kepentingan kekuatan asing. Namun, sejak awal 2000-an, Kurdistan memilih jalan berbeda. Wilayah ini mulai membuka diri kepada investasi, memperkuat relasi perdagangan luar negeri, dan memanfaatkan kekayaan alam secara cerdas.

    Yaman sebetulnya memiliki potensi serupa. Kekayaan minyak, gas, pelabuhan strategis, dan warisan peradaban kuno seharusnya bisa menjadi modal utama untuk membangun ekonomi mandiri. Namun, konflik berkepanjangan antara pemerintah pusat, kelompok Houthi, STC, dan suku-suku bersenjata membuat sektor ekonomi nyaris lumpuh total.

    Pelajaran penting dari Kurdistan Irak adalah pentingnya stabilitas lokal sebelum membangun sistem ekonomi yang kuat. Kurdistan sejak awal memperkuat pemerintahan otonom yang menghormati keberagaman etnis, memperhatikan hak suku-suku tradisional, dan membangun dialog politik internal. Hal ini bisa menjadi contoh bagi Yaman yang selama ini terpecah oleh ego sektarian.

    Selain itu, Kurdistan berani mengundang investor asing tanpa takut kehilangan kontrol atas sumber daya. Pemerintah setempat membuat regulasi yang ramah bisnis sekaligus tetap melindungi kepentingan rakyatnya. Yaman bisa belajar dari pola ini, terutama untuk sektor pelabuhan, energi, dan logistik yang selama ini menjadi rebutan faksi bersenjata.

    Keberhasilan Kurdistan dalam membangun sektor pariwisata sejarah, budaya, dan alam juga patut ditiru. Yaman memiliki situs-situs bersejarah kelas dunia seperti Shibam, Hadramaut, dan kota tua Sana’a. Jika keamanan membaik, sektor pariwisata bisa menjadi penyumbang devisa besar seperti yang dialami Kurdistan dengan peningkatan kunjungan wisatawan asing.

    Masrour Barzani juga dikenal piawai dalam memanfaatkan diplomasi ekonomi. Ia rutin menghadiri forum internasional seperti Davos untuk mempromosikan Kurdistan di mata dunia. Yaman perlu mengutus figur-figur ekonominya untuk melakukan hal serupa, membuka jejaring dagang baru, dan membangun citra positif di komunitas bisnis global.

    Faktor penting lain adalah penguatan sektor energi. Kurdistan mengembangkan jaringan pipa minyak independen ke Turki dan berhasil menegosiasikan hak ekspor mandiri. Yaman bisa mengambil pelajaran untuk mengelola pelabuhan minyak di Shabwa, Marib, dan Hadramaut yang kini masih terjebak di tangan kelompok bersenjata.

    Kunci keberhasilan Kurdistan lainnya adalah keberanian mengadopsi sistem pajak modern dan sistem perbankan syariah yang transparan. Kurdistan bahkan membangun Bank Sentral regional yang terpisah dari Baghdad. Yaman perlu merancang sistem keuangan daerah yang fleksibel agar pemerintah lokal bisa menjalankan pelayanan publik tanpa menunggu dana pusat.

    Selain itu, Kurdistan mengembangkan kawasan industri terpadu yang menarik investor asing. Kawasan industri Erbil, Duhok, dan Sulaymaniyah menjadi pusat aktivitas manufaktur dan logistik modern. Di Yaman, konsep ini bisa diterapkan di Aden, Mukalla, dan pelabuhan strategis lainnya, mengingat letak geografis Yaman yang strategis di jalur perdagangan dunia.

    Masrour Barzani juga menggagas program pelatihan tenaga kerja lokal, sehingga anak-anak muda Kurdistan bisa masuk ke sektor migas, konstruksi, dan IT. Yaman yang memiliki bonus demografi juga bisa meniru kebijakan ini untuk mengurangi angka pengangguran dan mencegah anak-anak muda terjerat dalam kelompok milisi bersenjata.

    Di sektor kesehatan, Kurdistan sukses membangun rumah sakit bertaraf internasional hasil kerja sama dengan investor dari UEA dan Turki. Yaman bisa meniru skema investasi berbasis joint venture untuk membangun fasilitas medis di wilayah selatan dan timur, yang selama ini kekurangan layanan kesehatan modern.

    Kebijakan Kurdistan dalam menjaga relasi baik dengan negara-negara tetangga dan kekuatan global juga memberi dampak positif bagi stabilitas ekonominya. Yaman perlu mengurangi ketegangan sektarian dan mulai membangun komunikasi ekonomi lintas kawasan seperti Oman, UEA, dan Arab Saudi untuk membangun pasar regional bersama.

    Keberanian Kurdistan membangun pusat promosi dagang di luar negeri, termasuk di Ankara, Teheran, dan London, menjadi terobosan penting. Yaman bisa membuat kantor dagang di Dubai, Doha, dan Kairo untuk mempromosikan produk lokal seperti kopi Mocha, kurma Hadramaut, dan rempah-rempah tradisional.

    Saat ini, Kurdistan juga sukses menarik diaspora Kurdi di Eropa dan Amerika untuk berinvestasi di kampung halamannya. Yaman memiliki diaspora besar di Asia Tenggara, Afrika Timur, dan Teluk yang potensial digalang untuk membangun proyek-proyek ekonomi di negeri asalnya.

    Pertemuan Barzani dan Zoubaidi di Davos diharapkan menjadi pintu awal kerja sama ekonomi konkret. Kedua pihak sepakat bahwa tanpa stabilitas ekonomi, perdamaian politik akan sulit tercapai. Oleh karena itu, Yaman mesti mulai menyusun peta jalan ekonomi daerah seperti yang dilakukan Kurdistan sejak dua dekade lalu.

    Forum-forum investasi internasional seperti Davos bisa menjadi panggung diplomasi ekonomi Yaman. Langkah Barzani mendirikan “House of Kurdistan” di Davos bisa ditiru Yaman untuk mendirikan “House of Yemen” sebagai etalase potensi investasi, budaya, dan produk lokal di mata dunia.

    Belajar dari Kurdistan, Yaman butuh pemimpin ekonomi visioner yang tak hanya sibuk dengan kompromi politik, tetapi juga berani mengambil keputusan berisiko demi kepentingan jangka panjang rakyatnya. Dengan kekayaan alam, posisi strategis, dan warisan budaya, Yaman sebenarnya punya modal besar untuk bangkit seperti Kurdistan.

    Perumahan Islami |   • Bisnis Bakrie |   • Bisnis Kalla |   • Rancang Ulang |   • Bisnis Khairul Tanjung |   • Chow Kit |   • Pengusaha |   • Ayo Buka Toko |   • Wisata |   • Medco |   • Fansur |   • Autopart |   • Rumpin |   • Berita Aja |   • SWPD |   • Polemik |   • Perkebunan |   • Trumon |   • Legenda Putri Hijau |   • Ambalat conflictTerumbu Karang |   • Budidaya Ikan Hias Air Tawar |   • Budidaya Sawit |   • FlyDubai |   • PT Skunk Engineering Jakarta |   • Sejarah |   • They Rape Aour Grandma |   • Museum Sumut |   • Sorkam |   • Study |   • Indonesian University |   • Scholarship in Indonesia |   • Arabian InvestorsD-8 |   • BRIC-MIT |   • Negeriads-ku |   • Panen Iklan |   • PPC Indo |   • Adsensecamp |   • PPCMuslim |   • Iklan-ku |   • Iklan Buku |   • Internet Desa |   • Lowongan Kerja |   • Cari Uang Online |   • Pengusaha Indonesia |   • Indonesia Defense |   • Directory Bisnis |   • Inpire |   • Biofuel |   • Innovation |  
    loading...